20 Tahun Reformasi, Menarik Benang Esensi Perjuangan Gerakan Mahasiswa

 20 Tahun Reformasi, Menarik Benang Esensi Perjuangan Gerakan Mahasiswa

Febri Walanda, Ketua Umum HMI (MPO) Cabang Palembang Darussalam

Oleh: Febri Walanda, Ketua Umum HMI (MPO) Cabang Palembang Darussalam

21 Mei 1998 menjadi saksi sejarah diawalinya transisi sistem politik Indonesia dari otoritarian menuju demokrasi. Transisi sistem politik ini juga menjadi harapan besar segenap rakyat Indonesia akan transisi-transisi lainnya.

Mulai dari transisi ekonomi dari kapitalisme Orba menuju ekonomi kerakyatan yang mensejahterakan segala lapisan, hingga sampai kepada transisi kebebasan berpendapat dan keterbukaan informasi yang di masa Orba sangat termarginalkan dan penuh represi.

20 Tahun sudah negeri ini mencoba untuk mengisi ruang-ruang kosong, memenuhi janji reformasi yang digulirkan mei 1998 silam. Janji yang tercetus bukan melalui proses yang singkat. Melainkan melalui serangkaian panjang perjuangan rakyat dimana mahasiswa tergabung menjadi bagian penting di dalamnya.

Walaupun tumbangnya Orde Baru disebabkan oleh banyak faktor dan mendapat sumbangsih dari banyak aktor, namun kita tidak bisa menafikkan bahwa peran mahasiswa mengambil porsi penting yang tak bisa dipisahkan dari sejarah reformasi Indonesia.

Tahun 1974 rezim Orde Baru memukul gerakan Mahasiswa dengan praktik-praktik konfrontasi militer hingga berujung kepada pemberlakuan SK No. 028/U/1974 yang pada intinya berisi petunjuk-petunjuk pemerintah dalam rangka pembinaan kehidupan kampus. SK No. 28 ini mengebiri otonomi lembaga kemahasiswaan dengan mengharuskan setiap aktivitas kampus mengantongi ijin rektor. Terang bahwa ada upaya pembungkaman sikap kritis Mahasiswa melalui SK ini.

Memasuki tahun 1980-an rezim Orba juga tak henti-hentinya melakukan berbagai represi terhadap gerakan mahasiswa yang dinilai banyak melakukan perlawanan dan penolakan terhadap kebijakan otoriter orba. Pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila yang kemudian ditolak oleh Himpunan Mahasiswa Islam (MPO) kala itu menjadi cerita sejarah tersendiri bagaimana rezim orba memberondong aktivitas HMI (MPO) dengan bedil dan peluru serta melakukan pembubaran paksa kegiatan mereka. Namun HMI (MPO) tetap melawan walau harus bergerak “di bawah tanah”, bahkan mereka terpaksa keluar masuk hutan hanya untuk melakukan perkaderan.

Sikap otoriter dan praktik kapitalisme yang diberlakukan oleh rezim Orde Baru kala itu tidak hanya melahirkan penindasan, pembungkaman dan kemiskinan tapi juga melahirkan lawan yang sepadan untuknya berupa semangat perlawanan dari para kaum terdidik. Gerakan perlawanan inilah yang digaungkan oleh para mahasiswa mulai dari level lokal hingga skala nasional, dari tahun 1970-an hingga 1998. Api perlawanan yang digelorakan oleh para “agent of change” ini terus menjadi momok rezim kala itu.

Semakin ditekan semakin melawan, semakin dibakar semakin berkobar. Benarlah ucapan Mao Tze Tung, “Bakarlah rumput dari yang paling kering”. Rumput kering itu adalah gerakan mahasiswa, dan kesalahan rezim kala itu adalah membakarnya.

Tahun 2018, kini reformasi belumlah usai, masih banyak janji yang belum tertunai. Semangat reformasi yang bergulir sejak 20 tahun lalu masih tersandung berbagai persoalan bangsa. Kemiskinan, kesenjangan, pengangguran, korupsi, kolusi, nepotisme, ketimpangan hukum dan berbagai problema multidimensi lainnya seakan menjadi badai topan yang tak kunjung henti mendera. Kesemua itu mau tidak mau mengharuskan gerakan mahasiswa tetap hadir ditengah-tengah bangsa sebagai bentuk panggilan sejarah dan aktualisasi peran kaum muda.

Memasuki era milenial ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi kalangan mahasiswa masa kini dalam mengawal jalannya reformasi. Kelas mahasiswa yang memang sudah dari dulu mayoritas berasal dari kalangan menengah keatas yang cenderung tidak ikut merasakan secara langsung penderitaan rakyat kecil, kerap kali membuat sedikitnya jumlah mereka yang mau peduli dan turut serta mengawal pemenuhan janji reformasi.

Apalagi ditambah dengan serbuan globalisasi yang acapkali memanjakan sebagian mahasiswa menjadi kaum borjuis kecil yang lupa diri. Ditambah dengan biaya studi yang semakin menggunung akibat penerapan Uang Kuliah Tunggal dan beban masa studi yang semakin dipersingkat (kuliah maksimal 5 tahun) menambah deretan panjang tantangan gerakan mahasiswa masa kini.

“Beda zaman beda pula tantangannya”, begitulah ungkapan sederhana yang kerap hadir dalam setiap perguliran masa. Namun walau berbeda tantangan, tetap masa lalu tak bisa dibuang begitu saja. Untuk menghadapi masa kini perlu kiranya kita belajar dari masa lalu dan mengemasnya dalam sebuah wadah yang kita beri label “kontemplasi” lalu kemudian menuangkannya dalam secarik eksperimen gerakan yang berhadapan langsung dengan masa kini.

Setidaknya ada beberapa pelajaran penting berharga dari sejarah masa lalu gerakan mahasiswa era prareformasi yang bisa dimasukkan dalam wadah kontemplasi kita. Pertama adalah keberanian, yang oleh Pramoedya Ananta Toer dianggap sebagai unsur paling pokok dalam perjuangan melawan Orba Soeharto dan menurutnya ini hanya dimiliki oleh pemuda dan mahasiswa. Tanpa keberanian, sepintar apapun kita, tak akan ada yang namanya perubahan. Kedua adalah pengorbanan.

Tanpa adanya kesadaran untuk berkorban dan mengesampingkan kesenangan dirinya sebagai kelas menengah rasanya tidak akan mungkin gerakan mahasiswa akan dapat memiliki gaung yang signifikan. Ketiga, konsistensi dan semangat kontinuitas dalam menyambung nafas gerakan. “Maka tetaplah (istiqamahlah) kamu pada jalan yang benar,” (Q.S. Hud : 112).

Dari 1970 ke 1998 bukanlah waktu yang singkat, perjalanan panjang pasang surut gerakan mahasiswa dalam periodesasi itu menjadi saksi bahwa nafas gerakan terus menyambung dan berpilin walaupun gelombangnya fluktuatif. Sempat mengecil lalu membesar kembali namun nafasnya tak pernah mati.

Lalu yang terakhir adalah daya kreatifitas yang diejewantahkan dalam eksperimen gerakan yang terus tumbuh dan berkembang sesuai tuntutan zaman dan medan perjuangan.
Keberanian, pengorbanan, konsistensi dan kreatifitas. Keempat esensi ini menjadi pembelajaran penting yang bisa kita ambil dari para pelaku sejarah gerakan mahasiswa pra-reformasi.

Walaupun pra-reformasi dan pasca-reformasi memiliki tantangan tersendiri, namun bukankah dalam studi objek kajian filsafat telah mengajarkan kita bahwa tiap-tiap perkara mempunyai esensinya (mahiyyah) yang tetap, meskipun sifat-sifat indrawinya berubah dan keadaanya berbeda-beda. Tinggal bagaimana nantinya kita bisa meramu esensi itu dalam sebuah eksperimen gerakan dengan menghadapkannnya pada kondisi zaman yang tengah dihadapi.

Selamat berkontemplasi ria wahai para penerus estafet perjuangan reformasi, semoga kelak nafasmu terus menyambung sampai janji-janji reformasi terpenuhi!
Panjang umur perjuangan.
Hidup mahasiswa!
Hidup rakyat Indonesia!

 

Berita Terkait