Airlangga Hartarto dan Etika Politik Kekuasaan
Oleh: Dr. syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
Setelah ditunjuk jadi Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto (AH) berencana mempertahankan kekuasaannya untuk memimpin partai Golkar (PG). Perebutan ketua PG ini telah menjadi kosentrasi utama AH belakangan ini. Setidaknya mungkin untuk beberapa saat, namun, bisa juga untuk selama 5 tahun ke depan.
Pembicaraan kita pada tulisan ini adalah melihat sisi moral politik atau etika yang seharusnya dimiliki AH sebagai pejabat tinggi negara, yang saat ini bertanggung jawab menyelamatkan ekonomi 260 juta rakyat Indonesia. Kenapa isu ini muncul dan penting? Kenapa dia memecah kosentrasinya untuk mengurus perekonomian nasional dengan juga memikirkan partai politik?
*Krisis Ekonomi*
Professor Stiglitz, eks ekonom legendaris World Bank, dalam wawancaranya dengan Euro News TV, 14/11/19, mengatakan bahwa ekonomi dunia, di mana2 sedang stagnan. Dia merespon pertanyaan pewawancara terkait padangan presiden Prancis, Macron, yang menyebut ekonomi dunia dalam keadaan krisis (unprecedented crisis). Ketika Stiglitz ditanya apakah akan kembali mengabdi pada politik?, dia menjawab Ya, jika Capres Partai Democrat mengalahkan Trump, di USA, tahun depan. Secara moral, Stiglitz menunjukkan bahwa orang2 hebat harus turun gunung memberi konsultasi pada sebuah pemerintahan, agar situasi ekonomi dapat membaik.
Krisis ekonomi dunia maupun stagnan dalam istilah Stiglitz telah menjadi pembicaraan seluruh tokoh2 dunia dan ekonom kelas dunia. World Bank-IMF telah memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya sekitar 3%, tahun ini. Turun dari 3,6% tahun lalu. Sebuah survei terhadap 226 ekonom/ahli seluruh dunia, oleh the National Association of Bussiness Economics”, dinyatakan bahwa 38% meyakini resesi terjadi tahun depan di Amerika dan 34% meyakini resesi terjadi di tahun 2021. China sendiri sudah memasuki perlambatan. Pertumbuhan ekonomi China diprediksi hanya 5,8%, jauh dari kejayaan lama dua digit. Kedua negara adidaya ini punya hubungan ekonomi, perdagangan, investasi dan politik yang kuat dengan Indonesia.
Lalu bagaimana ekonomi Indonesia?
Bank Dunia sebelumnya, 9/9/19, telah membocorkan prediksi atas ekonomi Indonesia yang memburuk ke depan.
Entah karena Airlangga Hartarto sibuk dengan Golkar, lihatlah fenomena ini: deputi yang mewakilinya memberi ceramah progresif pada Indonesia Bussiness Forum, 20/11/19, menyatakan bahwa Indonesia akan mengejar pertumbuhan ekonomi 7% selama 5 tahun “steady growth” & akan mencapai GDP total $7 Triliun (https://en.tempo.co/read/1274589/indonesia-pursuing-us7tn-gdp-7-growth).
Ini adalah sebuah ironi akal sehat. Karena seluruh dunia dan pelaku bisnis terkait Indonesia, justru sedang kosentrasi melihat rilis bocoran Bank Dunia itu, bahwa ekonomi Indonesia tidak mencapai 5% tahun ini, lalu menurun lagi tahun depan sebesar 4,9%, lalu menurun lagi tahun 2022 hanya 4,6%. LPEM UI juga dalam Economy Outlooks 2020 memperkuat sinyal perlambatan ini. Begitu juga indikasi yang dikeluarkan pemerintah terkait buruknya pendapatan pajak.
Buruknya ekonomi kita ke depan menunjukkan pemimpin negara harus mempunyai “senses of crisis”. Pengertian sense of crisis adalah 1) memikirkan anggaran penghematan. Apakah menggemukkan kementerian dengan belasan Wamen itu bukan simbol penghamburan uang pembayar pajak? Apakah mengangkat stafsus Presiden kelas magang, bukan simbol pemborosan? 2) membuat program2 yang realistis. Projek2 mercusuar sudah harus di stop. 3) Berorientasi lapangan kerja. Krisis akan menghantam sisi lapangan kerja. Pemerintah harus bekerja keras memikirkan projek2 yang tepat untuk “labor intensive” selama situasi krisis. 4) Bebas Korupsi. Pemerintah harus meningkatkan ancaman terhadap koruptor lebih keras. Bila perlu hukuman mati diberlakukan pada pejabat koruptor dalam masa 5 tahun ke depan.
Etika Airlangga Hartarto
Kenapa kita persoalkan etika ini?
Isu etika politik telah dibahas lama sejak jaman Aristotle, Plato dan Socrates. Yang paling ekstrim dalam soal etika adalah Machiavelli, dari Florence. Namun, semua pembicaraan mereka penting untuk mengaitkan kebajikan seseorang dalam ruang publik. Moralitas politik seseorang tidak lagi hak individual orang tersebut ketika dia menjadi pejabat publik.
Professor Emeritus Arthur Dobrin dalam “3 Approaches to Ethics: Principles, Outcomes and Integrity” (psychologytoday. com) mengetengahkan 3 jenis etik yang perlu kita lihat, yakni “Virtue Ethics, Consequentialist Ethics dan Deontological Ethics”. Virtue Ethics terkait kebajikan yang ingin dicapai seseorag, secara pribadi.
Consequentialist Ethics terkait pertanyaan “What is good”. Etik jenis ini sudah menyangkut hubungan perbuatan kita terhadap orang lain. Apa dampak perbuatan kita itu pada masyarakat. Sedang Deontological Ethics terkait pertanyaan “What is rights?” hal ini berhubungan dengan pertanyaan: “What duties do I owe? How do I decide between conflicting duties?”
Etik jenis ini juga sudah berhubungan dengan perbuatannya terhadap orang lain.
Jadi urusan etika bukan hanya urusan pribadi seseorang, melainkan juga urusan kita semua, apalagi untuk pejabat publik seperti Airlangga Hartarto.
Urusan Airlangga Hartarto menjadi penting kita kaitkan dengan etika untuk melihat integritas dan moral politik dia dalam kehidupan publik. Dahulu, ketika Hatta Rajasa, merangkap Menko Perekonomian dan Ketua Partai, selama 2010-2014, trend pertumbuhan ekonomi terus menurun selama 5 tahun, ironisnya, sebaliknya pencapaian jumlah suara partainya meningkat. Namun, situasi ekonomi saat itu masih “menguntungkan”, karena trend ekonomi dunia belum seburuk saat ini. Lalu, apakah tega seorang Airlangga Hartarto membagi kosentrasinya untuk 260 juta rakyat yang membutuhkan kepastian dan kestabilan ekonomi dengan urusan partai yang membutuhkan perhatiannya untuk memenangkan pilkada 2020 dan berbagai urusan lainnya?
Jika melihat peliknya situasi ekonomi ke depan, fokus Airlangga seharusnya tertuju pada penyelamatan ekonomi naisonal. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila 100% kehidupan dia ditujukan pada usaha itu. Quote terkenal dari Manuel Quezon, mantan Presiden Filipina, “My Loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins”. Quote ini sangat penting menunjukkan integritas dan moralitas politik seseorang. Namun, sayangnya, tetap saja bagi orang politik, godaan etika politik ajaran Machiavelli, “rebut dan pertahankan kekuasaan dengan segala cara”, sangat menggoda.
Penutup
Situasi ekonomi dunia memburuk. World Bank sudah memprediksi pertumbuhan ekonomi kita juga terus menurun. Pada saat bersamaan ADB (Asia Development Bank) merilis 20 juta rakyat kita kelaparan. Lalu apakah etik menteri kordinator perekonomian memecah kosentrasinya antara urusan bangsa versus urusan partai?
Di mana etika Airlangga dalam politik kekuasaan? Kita lihat segera ke depan, apa yang dipilihnya: apakah tetap bertahan untuk maju sebagai calon ketua umum Golkar? pada Munas Golkar bulan Desember 2019. Ataukah memilih kosentrasi pada penyelamatan ekonomi bangsa?
Hal itu terpulang pada seorang Airlangga Hartarto. Namun, ingatlah bahwa manusia pada akhirnya akan lebih dikenang integritas dan moral politiknya, ketimbang politisi tanpa etik.