Demokrasi Digital, Demokrasi Bagi Orang yang Siap Jadi “Bukan Siapa-Siapa”
Indonesia memasuki era baru berdemokrasi, demokrasi digital, demikian orang biasa menyebutnya. Ada beragam defenisi tentang demokrasi digital, secara sederhana demokrasi digital bisa dipahami sebagai perpaduan antara demokrasi dan arus digitalisasi yang merambah Indonesia bahkan dunia secara umum.
Demokrasi digital bisa disebut memunculkan gaya baru dalam berdemokrasi, terjadi pergeseran aktivitas berdemokrasi yang awalnya dalam ruang realitas empirik (dunia nyata) bergeser ke dunia maya. Memang tidak semua aktivitas demokrasi berpindah ke dunia Maya.
Namun hal yang paling mudah diidentifikasi adalah aktivitas dialog, dialog yang merupakan salah satu ciri demokrasi kini banyak berlangsung di ruang digital dengan menggunakan platform medsos, dalam banyak kesempatan dialog antara netizen mampu merubah kebijakan pemerintah, khususnya saat dialog tersebut menjadi viral di dunia maya.
Istilah demokrasi digital bagi banyak kalangan memang masih asing, namun sebenarnya mereka yang masih asing dengan demokrasi digital telah berada dalam ruang demokrasi digital itu sendiri. Penggunaan media sosial yang menjadi tren di seluruh Indonesia mempercepat proses demokrasi digital itu sendiri.
Saat anda masuk ke ruang media sosial dan melibatkan diri dalam polemik sebuah isu, atau sekadar memberikan komentar singkat maka sebenarnya anda telah menceburkan diri ke dalam dinamika demokrasi digital, dan kita ketahui bersama, hal yang paling susah dihindari netizen adalah menahan diri untuk tidak berkomentar, sebab jari tangan sering mendahului keputusan otak.
Demokrasi pada setiap masa selalu memiliki keunikan tersendiri, di fase awal demokrasi diterapkan, masyarakat zaman itu tidak terpikir bahwa akan muncul suatu masa dimana demokrasi dipengaruhi oleh digitalisasi, tetapi hal itu terjadi sekarang. Sebuah pertanyaan sederhana bisa diajukan, Apakah demokrasi digital meruntuhkan sendi utama demokrasi itu sendiri? Nampaknya tidak, demokrasi digital justru menawarkan format baru dalam berdialog dengan pengambil kebijakan, demokrasi digital mampu memutus proses birokrasi yang panjang dan berbelit saat rakyat ingin menyampaikan pandangan kepada pemimpinnya, dalam demokrasi digital rakyat bisa berdialog langsung dengan pemimpin yang bertindak sebagai pengambil kebijakan tanpa dihambat oleh sekat birokrasi.
Sejauh mana demokrasi digital akan bertahan? Hal ini sangat dipengaruhi oleh gaya kehidupan manusia, pertanyaan tersebut sangat bergantung pada sampai kapan ruang digital mempengaruhi kehidupan manusia.
Sepanjang kehidupan manusia masih berada di abad digital, maka boleh jadi sepanjang itu pula demokrasi digital akan terus berlangsung, kiranya penjelasan ini lebih rasional. Satu hal yang perlu diingat, bila anda masuk ke dalam ruang demokrasi digital maka anda wajib melepas semua atribut yang melekat pada diri anda, termasuk atribut kepangkatan dan jabatan, sebab demokrasi digital tidak mengenal atribut, anda akan diperlakukan sama dengan netizen lainnya yang “bukan siapa-siapa”. Masuk dalam ruang demokrasi digital adalah siap untuk menjadi “bukan siapa-siapa”.
Zaenal Abidin Riam,
Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute