HNW: MPR Garda Terdepan Jaga Konstitusi

 HNW: MPR Garda Terdepan Jaga Konstitusi

Anggota Komisi I DPR RI Hidayat Nur Wahid (foto: twitter HNW)

JAKARTA – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid (HNW) menyatakan bahwa MPR adalah garda terdepan untuk menjaga dan menyelamatkan ketentuan konstitusi UUD NRI 1945.

Hal itu menurut dia terbukti ketika MPR menegaskan sikap untuk taat dan laksanakan konstitusi sekalipun ada berbagai desakan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden hingga tiga periode.

“MPR sudah tegas menyatakan bahwa semua pihak harus taat konstitusi dan semangat reformasi, karenanya MPR menyatakan tidak ada amandemen UUD NRI Tahun 1945 pada periode MPR saat ini (2019-2024),” kata HNW kepada wartawan, Senin (29/8/2022).

Hal itu dikatakan HNW dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan Forum Pesantren Alumni Gontor di Pondok Pesantren Modern (PPM) Baitussalam, Prambanan, Sleman, DIY, Sabtu (27/8).

Baca juga: HNW harap dana abadi pesantren segera terwujud

Pernyataan HNW itu menjawab pertanyaan salah seorang peserta yang menyebutkan adanya isu bahwa MPR sedang mengupayakan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, melalui perubahan UUD 1945.

HNW menegaskan bahwa tidak benar MPR sedang mengupayakan perpanjangan masa jabatan presiden.

Menurut dia, MPR secara tegas menyatakan bahwa sesuai ketentuan konstitusi, masa jabatan presiden adalah maksimal dua kali masa jabatan dan pemilihan umum harus diselenggarakan lima tahun sekali.

“MPR sudah ketok palu tidak ada amandemen UUD NRI Tahun 1945 pada periode ini, sehingga dipastikan masa jabatan presiden hanya dua periode saja,” ujarnya.

Karena itu menurut dia, masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir pada 2024 dan tidak ada pengunduran Pemilu, karena sesuai dengan ketentuan Konstitusi UUD NRI 1945 pasal 22 E ayat 1, Pemilu harus diselenggarakan lima tahun sekali.

Hidayat mengakui memang ada pihak-pihak di luar MPR yang tepat mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden.

“Saya berpendapat wacana itu boleh-boleh saja kalau sesuai dengan konstitusi. Namun, kalau wacananya tidak sesuai dengan konstitusi, seperti masa jabatan Presiden 3 periode, lebih konstruktif kalau jangan diwacanakan kecuali konstitusinya diubah dahulu,” ujarnya.

Dia menjelaskan, sesuai aturan tentang masa jabatan presiden sudah jelas dalam konstitusi yaitu dalam Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Dia mengatakan, latar belakang munculnya amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan wacana Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) karena sudah tidak ada lagi GBHN dan salah satu kesepakatan reformasi adalah menguatkan sistem presidensial.

Namun menurut dia, UU itu adalah produk presiden terpilih, bukan produk representatif dari cabang-cabang kekuasaan negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.

“Karena itu UU tersebut tidak komprehensif sehingga perlu dikoreksi apalagi UU itu tidak mutlak mengikat sehingga bisa tidak dilaksanakan oleh presiden berikutnya. Kondisi ini membuat Indonesia seperti menari ‘poco-poco’ karena presiden, gubernur, bupati, serta walikota, bisa dari partai yang berbeda-beda dengan program dan janji kampanye yang berbeda-beda,” katanya.

Hidayat mengatakan, karena itu MPR merekomendasikan untuk mengkaji GBHN sehingga dibentuk Badan Pengkajian MPR yang mengkaji tentang PPHN.

Namun menurut dia, perdebatan terjadi ketika menentukan dasar hukum atau bentuk hukum PPHN, apakah dimasukkan dalam UUD sehingga perlu perubahan UUD, dalam bentuk Ketetapan MPR juga memerlukan amandemen UUD, dan dalam bentuk UU.

Laporan: Gia

Editor: Adip

Berita Terkait