HSI: Tarif Sewa Mahal Utilitas Publik Jadi Beban Masyarakat

 HSI: Tarif Sewa Mahal Utilitas Publik Jadi Beban Masyarakat

JAKARTA – Direktur Human Studies Institute (HSI) soroti polemik pengenaan tarif sewa yang tinggi atas jaringan utilitas publik Kota Surabaya berdampak pada beban masyarakat semakin tinggi.

“Pengenaan sewa dengan tarif komersial atas jaringan listrik, PDAM, gas dan telekomunikasi yang melintas di seluruh wilayahnya oleh Pemkot Surabaya jadi potensi ancaman hak akses digital masyarakat,” kata Rasminto berdasarkan keterangan tertulisnya, Jakarta, Ahad (15/10/2023).

Rasminto menjelaskan dasar Pemkot Surabaya menerapkan pengenaan tarif sewa komersial terhadap jaringan utilitas publik.

“Kebijakan pengenaan tarif sewa komersial terhadap jaringan utilitas publik tertuang berdasarkan Perda Kota Surabaya No.5/2017 tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas dan Perwali 80/2016 tentang Formula Tarif Sewa BMD berupa tanah dan atau bangunan sebagaimana diubah dengan Perwali 1/2022,” jelas Rasminto.

Rasminto menyatakan regulasi dari Pemkot Surabaya tersebut bertentangan dengan UU 1/2022 dan UU 28/2009.

“Regulasi yang diterbitkan oleh Pemko Surabaya tersebut bertentangan dengan UU No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, selain itu konsideran dalam perdanya pun terdapat bertentangan dengan UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berupa pengenaan sewa atas pemanfaatan lahan yang tidak mengubah fungsi lahan,” jelasnya.

Rasminto mengatakan imbas regulasi tersebut berimbas pada beban hidup masyarakat semakin tinggi.

“Regulasi tersebut jadi polemik pengembangan Smart City, selain itu akan membuat high cost operasional operator, pada akhirnya lagi-lagi masyarakat yang dirugikan dengan biaya mahal untuk mendapatkan akses publik akan internet dan layanan lainnya,” pungkasnya.

Lebih lanjut Rasminto menerangkan, kebijakan pengenaan tarif sewa jaringan utilitas publik oleh Kota Surabaya ditiru oleh Pemda lainnya.

“Tak pelak dampak kebijakan Pemkot Surabaya akan menjadi contoh bagi 514 Kabupaten/ Kota lainnya membentuk regulasi yang sama”, pungkasnya.

Lanjut Rasminto, hingga kini terdapat 70 perda di 59 Kabupaten/Kota yang berdampak pada mahalnya biaya gelaran utilitas jaringan telekomunikasi.

“Pasca Kota Surabaya, kini sudah 59 Kabupaten/Kota meniru, dampaknya tentu akan memaksa operator telekomunikasi mengenakan pungutan tinggi dalam menyediakan infrastruktur digital,” papar Rasminto.

Rasminto berharap Pemda lebih kreatif dan inovatif dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

“Pada prinsipnya kita setuju bila Pemda dapat tingkatkan PAD nya, tapi perlu lebih kreatif dan inovatif lagi, jangan ujung-ujungnya masyarakat yang jadi korban,” harapnya.

Ia menyarankan agar ada evaluasi regulasi yang menghambat pembangunan smart city.

“Pemkot Surabaya perlu mendengar aspirasi masyarakat dan pelaku usaha dalam melakukan evaluasi terhadap regulasi yang menghambat pembangunan infrastruktur smart city, karena tentunya akan menghambat kepentingan publik,” tegas Rasminto.

Berita Terkait

1 Comment

  • kowe pikir2 dulu klo bikin kebijakan donk!
    jangan bikin kami wong cilik makin kejepit!!

Comments are closed.