Kasus Dugaan Ijazah Palsu Jokowi: Pertarungan Epistemologis yang Unik

Emistomologi adalah persoalan bagaimana dan darimana kebenaran suatu data dan ilmu pengetahuan diperoleh dan dibuktikan. Epistemologi merupakan hal yang paling mendasar dari bangunan suatu ilmu pengetahuan.
Epistemologi dapat berfungsi mengidentifikasi, merinci, mengklasifikasi dan mengkategorisasi kebenaran yang dihasilkan suatu cabang ilmu. Karena itu, epistemologi terlalu penting untuk tidak diabaikan terlibat dalam menangani dan menilai persoalan isu ijazah palsu Jokowi.
Sejauh ini, soal palsu tidaknya ijazah Jokowi didekati dalam dua “mazhab”: (1) pendekatan pembuktian saintifik empirik dan (2) pendekatan argumentatif logis berbasis otoritas.
Pertentangan dua pendekatan ini membawa kita kepada kasus kebenaran ilmiah dalam ilmu hadits (mustalahul hadits).
Dalam ilmu hadits, sahih tidaknya suatu informasi yang dihubungkan kepada Nabi Muhammad Saw, juga mengandalkan pendekatan kedua, yaitu pendekatan argumentatif logis dan otoritas. Misalnya, penggunaan argumen kualitas sanad yang adil (periwayat yang bersangkutan dikenal terpelihara kejujurannya) dan dhobit (dikenal cermat dan jujur), ditambah ketidakmungkinan bermufakat banyak pihak dalam satu zaman dan berada dalam beragam lokasi tempat tinggal menyampaikan matan hadits serupa. Masalahnya, bagaimana dan siapa yang otoritas memverifikasi seseorang adil dan dhobit, kecuali perawi (penulis) terakhir hadits itu sendiri: seperti Bukhari, Muslim, Nasai, Tirmidzi, dan Imam-imam hadits lainnya, termasuk belakangan, biarpun hadits-hadits itu sudah dibukukan oleh Bukhari, Muslim, dst, masih “ditangani” lagi oleh ulama seperti Nashiruddin Al Albani.
Singkatnya, kewibawaan dan argumentasi ilmiah suatu hadits sepenuhnya berdasarkan otoritas imam seperti Bukhari, Muslim, dst.
Kasus semacam ini, konstruk argumentasi kebenarannya terjadi pada kasus dugaan ijazah palsu Jokowi, dimana dasar kebenaran argumentatifnya diandalkan pada otoritas, dalam hal ini UGM jika pada tingkat diskursus ilmiah dan polisi jika pada tingkat pengadilan, dan kelogisan argumentasi.
Tapi kalau kasus hadits yang tidak menimbulkan pertentangan dua pendekatan ini (pembuktian empirik versus argumen logis dan otoritas), dapat dipahami dan dimengerti karena periwayatan tertulis (penulisan) hadits terjadi tidak sezaman dengan Nabi Muhammad Saw sebagai objek yang diriwayatkan. Lagi pula kasus hadits berbeda dengan kasus dugaan ijazah palsu Jokowi. Hadits (segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi, tapi bukan Wahyu sesuai perintah Nabi) dalam beberapa waktu memang dilarang oleh Nabi untuk ditulis oleh para sahabat guna menghindari percampuran antara Wahyu fan bukan Wahyu. Seiring perkembangan zaman dan keadaan serta meningkatnya kebutuhan ilmu fikh, terpaksa hadits Nabi ditelusuri, dikumpulkan, diseleksi mana yang sahih dan tidak, hingga dibukukan oleh imam-imam seperi Bukhari, Muslim, dst.
Kembali kepada kasus ijazah Jokowi untuk membuktikan dari segi epistemologi pendekatan verifikasi kebenarannya, sebenarnya mudah sekali dipecahkan. Toh yang bersangkutan masih hidup (Jokowi). Karena masih hidup, tidak membutuhkan dukungan pihak otoritas (UGM atau Polisi) untuk membuktikan kebenaranya. Jokowi apa susahnya sama-sama menyaksikan sendiri dokumen ijazahnya diuji secara saintifik empirik, sebelum dibawa ke ranah pengadilan yang kerap diputuskan benar tidaknya berdasarkan faktor otoritas.
Kealotan Jokowi untuk mempublikasikan ijazahnya secara transparan, memang mengherankan. Lagi pula, hal semacam ini muncul, aspek adil dan dhobit (konteks ilmu hadits tentunya) Jokowi yang terekam selama ini, memang wajar jika muncul kasus semacam ini.
Sekali lagi saya kira, pengujian suatu kebenaran dalam kasus dugaan ijazah Jokowi, pilihan mengandalkan pendekatan argumentasi logis dan otoritas, tidak relevan untuk kasus dugaan ijazah Jokowi, karena yang bersangkutan masih hidup dan yang bersangkutan kabarnya masih memegang material ijazahnya. Tidak ada kebutuhan menyandarkan kebenaran pada argumentasi logis dan otoritas seperti UGM dan otoritas polisi, jika pendekatan pembuktian saintifik empirik tidak terkendala untuk dilakukan.
Tapi bagaimana pun, kasus ini harus membawa budaya pengetahuan Indonesia agar lebih dominan kepada saintifik empirik ketimbang sebaliknya. Karena hal itulah yang dapat membawa kepada kamajuan dan kedinamisan. Siapa tahu, saintifik empirik masih berkembang dan kaya akibat dari kasus ini, yang tidak saja mengandalkan metode forensik, dst.