Kontrol Ekstra Parlementer

 Kontrol Ekstra Parlementer

Oleh: Rusdiyanta (Pusat Studi Kebijakan Publik Universitas Budi Luhur)

Salah satu fungsi DPR adalah fungsi pengawasan pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah. Ketika para anggota Dewan yang terhormat sudah terpilih, idealnya tidak terkotak-kotak karena mereka adalah Dewan Perwakilan Rakyat, bukan perwakilan partai meskipun dalam pencalonannya ditentukan oleh partai politik. Mereka fokus pada tugas dan fungsinnya agar terjadi check and balance dalam kekuasaan.

Namun faktanya menunjukkan bahwa konstelasi dukungan DPR terhadap pemerintah sebesar 81,19% (471 kursi), sementara oposisi sebesar 18,1% (104 kursi). Komposisi ini sulit terjadinya pengawasan dan terbukti DPR menjadi kurang kritis terhadap kebijakan pemerintah, cenderung menjadi lembaga stempel atau legitimator kebijakan pemerintah. Banyaknya produk UU yang kemudian digugat ke MK menunjukkan hal tersebut.

Misalnya UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang mendapat penolakan sangat luas dari berbagai kalangan, dimajukan Judicial Review ke MK dan dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat. Belakangan RUU Ibu Kota Negara (IKN) yang sudah disetujui DPR mendapat resistensi dari berbagai pihak.

Kondisi lemahnya kontrol DPR makin diperparah oleh kurang berfungsi media massa, matinya nalar akademisi, hilangnya suara-suara kritis dan sebagainya. Mereka ini seharusnya menyuarakan kepentingan publik.

Lemahnya pengawasan tersebut, mendorong munculnya fungsi kontrol ekstra parlementer seperti netizen, mural, LSM dan kelompok-kelompok. Karena tersumbatnya akses untuk menyampaikan aspirasi mereka, publik harus berjuang sendiri, parlemen kehilangan makna sebagai wakil rakyat. Kemudian, pertanyaannya mengapa harus memilih wakil rakyat, jika tidak mewakilinya? Situasi seperti ini sangat riskan karena akhirnya rakyat menjadi apolitis, tidak peduli lagi dengan pemilu.

Dukungan mereka hanya untuk kepentingan kekuasaan, padahal seharusnya kekuasaan hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar seperti kemakmuran, keadilan, keamanan, demokrasi, dan sebagainya. Kasus Desa Wadas menjadi contoh yang mana warganya mayoritas memilih partai yang berkuasa, memilih presiden dan gubernur yang sedang berkuasa ternyata kebijakannya kurang memihak kepadda mereka.

Di era digital ini, terjadi perubahan dalam model media. Menurut Vincent Miller (2020) dalam buku berjudul ‘Undertanding Media Culture’ menjelaskan perubahan model broadcast menjadi model internet. Jika sebelumnya pemberitaan hanya dilakukan oleh wartawan atau reporter yang disesuaikan dengan kepentingan industri media, maka dalam model internet ini semua masyarakat dapat menyampaikan informasi, berita, aspirasi, kritik terhadap pemerintah atau jurnalis warga.

Dalam model broadcast, masyarakat hanya sebagai konsumen, sedang dalam model internet masyarakat berperan sebagai produsen sekaligus konsumen. Dengan demikian, netizen dapat melakukan kontrol atas kebijakan pemerintah pada saat media massa arus utama tidak menjalankannnya.

Sebagai pilar ke-4 demokrasi—selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif—media massa harus menguatkan demokrasi dengan menjalankan fungsinya sebagai ruang diskursus publik, pendidikan, menyampaikan informasi, hiburan, monitoring dan kontrol kebijakan pemerintah. Namun, fenomena akhir-akhir ini media massa kurang melakukan amanah tersebut (meski tidak semua), bahkan justru menjadi caterpillar (ulat) demokrasi yang memakan hijaunya daun demokrasi dan merusak demokrasi yang sedang berkembang.

Permufakatan pemilik indutri media massa dengan kekuasaan berakibat hilangnya daya kritis media massa, bahkan secara perlahan media massa menjadi kaki tangan kekuasaan. Informasi dan berita hanya dukungan kebijakan pemerintah tanpa tuntutan dan kritik oposisi. Kondisi ini menjadikan media arus utama sudah tidak dapat lagi diharapkan sebagai saluran aspirasi masyarakat, dan ditinggalkan pembacanya. Jika berlarut-larut, maka akan terjadi distrust terhadap media arus utama. Oleh karenanya, independensi media massa mutlak diperlukan dan kembali ke khittahnya.

Media sosial sebagai platform media berbasis internet dan teknologi web seperti twitter, facebook, IG, youtube, tiktok dan sebagainya dapat menjadi sarana kontrol. Keberadaan netizen dengan media sosialnya menjadi sangat penting, karena ketika lembaga-lembaga yang seharusnya melakukan kontrol atas kebijakan pemerintah tidak berdaya. Penggunaan medsos juga efektif sebagai sarana kontrol, selain penyebarannya cepat dan massive.

Apalagi pengguna internet di Indonesia tahum 2021 sangat besar yaitu 76,8% atau 202,35 juta pengguna. Banyak kebijakan dan penanganan kasus bukan karena disuarakan oleh wakil rakyat, tetapi karena diviralkan media sosial. Viral tidaknya kasus kemudian menjadi tolok ukur kepentingan publik. Banyak juga media arus utama justru menjadikan status tokoh atau publik figur di media sosial sebagai berita.

Meski tidak bisa dipungkiri adanya pelanggaran fungsi medsos seperti hoak, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, penipuan dan sebagainya. Selain itu, banyak pengguna media sosial yang tidak bertanggung jawab dengan menjadi BuzzerRp demi uang.

Pada akhirnya, agar terjadi check and balance dalam kekuasaan maka dibutuhkan penguatan kapasitas kontrol DPR. Para akademisi melakukan kritik secara jujur berbasis keilmuannya untuk membangun kemajuan bersama. Media massa harus independen menjalankan fungsinya.

Netizen menggunakan media sosial secara cerdas dan bertanggung jawab mengontrol kebijakan pemerintah. Aktifitas-aktifitas tersebut sebagai bentuk partisipasi politik guna memengaruhi kebijakan agar berorientasi pada kepentingan publik, kepentingan nasional dan bukan kepentingan sekelompok oligarki. ****

Facebook Comments Box