Memperpanjang Masa Jabatan Presiden, Memperpanjang Rusaknya Demokrasi

 Memperpanjang Masa Jabatan Presiden, Memperpanjang Rusaknya Demokrasi

Wacana perpanjangan masa jabatan presiden kembali ramai digaungkan, wacana ini terdengar menyedihkan terlebih dihembuskan di alam demokrasi.

Reformasi yang diperjuangkan dengan susah payah hingga memakan korban jiwa yang kemudian mampu menghasilkan konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden selama dua periode, ingin diutak-atik demi hasrat kekuasaan belaka, beberapa ketua umum partai politik mulai bernyanyi, katanya masa jabatan presiden perlu diperpanjang dengan alasan bla..bla..bla..sayup-sayup terdengar rumor oknum istana telah memanggil para ketua parpol.

Instruksinya gaungkan perpanjangan masa jabatan presiden. Skenario nampaknya disusun dengan sangat sistematis, menteri tertentu yang tupoksi kerjanya sama sekali tidak berhubungan dengan pemilu maju lebih awal, selanjutnya disusul ketum parpol.

Nalar demokrasi kita dibuat semakin tidak sehat, logika dibuat menjadi terbalik, demokrasi mengabdi pada kekuasaan, bukan kekuasaan yang tunduk pada sistem demokrasi. Wacana perpanjangan masa jabatan presiden merupakan kelanjutan dari wacana presiden tiga periode.

Wacana presiden tiga periode adalah jurus tes ombak, memetakan reaksi yang berdiri di pihak kontra, sebab reaksi penolakannya besar maka dimunculkan lah wacana perpanjangan masa jabatan presiden, logika sesat yang berupaya dibangun adalah ingin mengesankan bahwa tidak ada penambahan periode jabatan presiden melainkan perpanjangan saja.

Logika ini sebenarnya bukan hanya menyesatkan, lebih dari itu, logika ini justru semakin menurunkan tingkat kecerdasan kita dalam berdemokrasi, jatuh hingga ke titik nihil, tujuan utama yang ingin dicapai yakni ingin terus merawat kekuasaan dengan cara yang inkonstitusional.

Pada saat yang sama, wacana perpanjangan masa jabatan presiden semakin menegaskan kuatnya pengaruh oligarki politik di lingkaran kekuasaan, dalam konsep oligarki politik menaati sistem demokrasi bukanlah sesuatu yang penting, yang penting adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan sepanjang kekuasaan itu menguntungkan kelompoknya.

Bila kekuasaan berpihak kepada kelompoknya maka harus terus dipertahankan, tidak peduli bagaimanapun caranya, sebaliknya, jika kekuasaan tidak berpihak kepada kelompoknya maka segera jatuhkan pemimpin yang berkuasa walaupun waktu pergantian kepemimpinan belum tiba.

Oligarki adalah musuh utama demokrasi, saat oligarki menguat secara otomatis demokrasi akan semakin melemah, kekuatan oligarki didapatkan dengan cara mempreteli sendi-sendi kekuatan demokrasi. Di negara yang demokrasinya kuat, oligarki tidak bisa berbuat banyak.

Munculnya beragam isu yang ramai belakangan ini tidak lepas dari upaya untuk memuluskan wacana perpanjangan masa jabatan presiden, mulai isu minyak goreng sampai toa mesjid. Skenarionya publik diarahkan agar sibuk berdebat tentang isu itu sehingga wacana perpanjangan masa jabatan presiden tidak terlalu disorot oleh publik.

Jika minim sorotan secara otomatis spektrum penolakan tidak akan seluas sebelumnya, minimal bisa dipersempit, bila skenario ini berjalan mulus maka upaya sesat untuk memperpanjang masa jabatan presiden dengan menunda pemilu akan berjalan tanpa hambatan berarti. Di bagian inilah publik tidak boleh terkecoh, publik harus menyadari bahwa dibalik timbulnya beragam isu yang muncul secara bersamaan, ada isu besar yang berusaha ditutupi.

Publik mesti bersuara nyaring menolak perpanjangan masa jabatan presiden, ini bukan saatnya diam, diam saat kita harus bersuara sama halnya memberikan tiket gratis kepada kezaliman untuk terus memegang kendali.

Zaenal Abidin Riam,
Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute

Facebook Comments Box