Menyoal Partisipasi Pemilih Pilkada

Achmad Fachrudin/Pimpinan Bawaslu DKI Jakarta
Oleh: Achmad Fachrudin*
Di tengah-tengah keberhasilan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada Rabu 9 Desember 2015 di 264 daerah yang berlangsung relatif dengan demokratis, aman dan damai serta menuai apresiasi positif sejumlah kalangan pengamat asing (observers) yang menilai penyelenggaraan Pilkada Serentak di Indonesia sebagai sebuah eksperimen demokrasi yang demikian mengagumkan dan patut ditiru.
Terbersit hal yang menganggu dan merisaukan, yakni: rendahnya partisipasi pemilih. Berdasarkan data dari KPU hingga Sabtu (12/12), tingkat partisipasi pemilih secara umum hanya sekitar 64,23 persen. Atau lebih rendah daripada target yang dipatok oleh KPU, sekitar 75,5 persen.
Sejumlah Kabupaten/Kota yang tingkat partisipasinya rendah, diantaranya kota Medan, Sumatera Utara (26,88%), Kabupaten Serang (50,84%), Kota Surabaya (52,18%), Kabupaten Jember (52,19%), dan Kabupaten Tuban (52,25%).
Sedangkan sejumlah daerah yang cukup tinggi partisipasi pemilihnya diantaranya: Kabupaten Mamuju Tengah (92,17%), Kabupaten Sorong Selatan Papua Barat (89,92%), Bolaang Mangondow Timur, (88,83%), kota Tomohon, Sulawesi Utara (88,47%), dan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (88,24%).
Dari Regulasi Hingga MKD
Rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak kali ini, tentu saja tidak berdiri sendiri, melainkan berasal dari banyak faktor. Diantaranya pertama, faktor regulasi (UU No. 8 tahun 2015 tentang Pilkada maupun PKPU No. 7 tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Walikota) yang membatasi ruang gerak calon untuk melakukan sosialisasi hanya oleh KPU Kota/Kabupaten/Provinsi, khususnya terkait pemasangan alat peraga kampanye di ruang terbuka.
Regulasi semacam ini bukan hanya dianggap menguntungkan incumbent karena tanpa sosialisasi yang maksimalpun dengan kedudukannya sebagai petahana pasti akan lebih dikenal masyarakatnya, juga berakibat kampanye Pilkada menjadi kurang meriah dan akhirnya tidak menarik minat masyarakat.
Kedua, sejumlah partai politik yang berhak mengusung calon/kandidat dalam Pilkada tengah mengalami konflik internal dan belum ada putusan yang berkuatan hukum tetap (inkrah), seperti yang dialami oleh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan.
Konflik internal dalam tubuh kedua partai politik tersebut bukan saja menyulitkan keduanya dalam memproses dan mengajukan kandidat yang benar-benar memiliki tingkat elektabilitas dan popularitas tinggi, juga mengakibatkan pemilih khususnya konstituennya menjadi tidak terlalu bergairah untuk mendukung sepenuh hati.
Ketiga, calon atau kandidat yang diusung oleh partai politik maupun yang berasal dari calon independen dianggap kurang memiliki nilai jual tinggi (marketable), greget dan mendorong sentimen positif masyarakat untuk datang berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Keempat, terjadinya trend penurunan tingkat kepercayaan masyarakat/pemilih (public trust) terhadap Pilkada, institusi politik maupun kandidatnya sebagai instrumen perubahan dan perbaikan masyarakat.
Keempat, adanya 5 (lima) daerah yang ditunda pelaksanaan Pilkada karena keputusan sengketa dari pengadilan yang terlambat dan 2 (dua) daerah (Kabupaten Tasikmalaya dan Kafamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur) dengan calon tunggal. Hal ini sedikit banyak membuat animo masyarakat untuk datang ke TPS menjadi berkurang.
Kelima, menurunya partisipasi pemilih bisa jadi bukan karena masyarakat tidak datang ke TPS, melainkan lebih disebabkan karena faktor-faktor yang sifatnya teknis, baik disengaja maupun tidak disengaja. Misalnya, ada keluarga dari pemilih meninggal, ketiduran, atau secara teknis keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
Keenam, masyarakat tidak datang ke TPS akibat kelalaian dan kekeliruan dari aparat KPU di tingkat bawah, seperti masyarakat yang mempunyai hak pilih tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau tidak mendapat surat undangan untuk memilih (C6). Dalam regulasinya, sebenarnya sepanjang pemilih terdaftar dalam DPT tanpa C6 tetap dapat memilih. Namun sebagian pemilih, cenderung enggan datang ke TPS tanpa mendapat C6.
Ketujuh, terdapatnya data ganda dalam DPT sehingga ketika DPT direkapitulasi secara total menambah jumlah pemilih yang tidak menyalurkan hak pilihnya.
Kedelepan, faktor eksternal berupa milio politik nasional dimana menjelang hari pencoblosan langit-politik di Indonesia justeru tengah diwarnai dan didominasi kegaduhan politik, khususnya terkait dengan kasus perekaman pembicaraan yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto (SN) dengan Komisaris Freeport Maroef Syamsuddin (MS) dan pengusaha M. Riza Chalid yang mencatut sejumlah pembesar negeri ini.
Tayangan live sejumlah televisi swasta terhadap persidangan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas SN dan MS dengan berbagai bumbu konflik, intrik, tendensi dan kepentingannya menyedot perhatian masyarakat kepada skandal Freeport dan mengakibatkan masyarakat menjadi muak dan alergi dengan prilaku politisi, termasuk politisi yang berkompetisi dalam Pilkada Serentak
Legitimasi dan Kinerja
Partisipasi memang sangat penting dalam Pemilu/Pilkada. Demikian urgen dan signifikannya, teoritisi ilmu politik seperti Herbert McClosky, Norman H. Nie, Sidney Verba, Samuel Huntington, Joan M, Nelson, Miriam Budiardjo, Ramlan Surbakti untuk menyebut beberapa nama menjelaskan makna penting dari partisipasi politik bagi individu, kelompok, masyarakat maupun suatu negara.
Subtansinya, keterlibatan di bidang politik dipandang positif untuk masyarakat, karena membuat demokrasi lebih berarti dan mengakibatkan pemerintahan lebih tanggap—dan positif bagi peorangan karena mengembangkan kepribadian menjadi manusia susila dan warga negara yang bertanggungjawab.
Bahkan pakar politik itu sepakat dengan konstatasi, keberhasilan Pemilu ditentukan atau dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya tingkat partisipasi warganya (voter turn out).
Dalam konteks global, hak pilih diakui secara universal merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dilindungi. Pasal 21 ayat 1, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan: (a) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas;
(2) setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya; dan (3) kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilh yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.
Dengan demikian dapat dikatakan, makin tinggi tingkat partisipasi pemilih dalam suatu Pemilu/Pilkada, akan berdampak positif terhadap legitimasi dari kandidat atau calon terpilih. Tingkat partisipasi dan legitimasi yang tinggi akan menjadi amunisi atau modal yang amat bermanfaat bagi kandidat terpilih dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah.
Sebaliknya, manakala tingkat partisipasi pemilihnya rendah dan apalagi suara yang diperoleh calon terpilih kalah dibandingkan dengan suara yang tidak menyalurkan hak pilihnya (Golput), maka legitimasi calon terpilih menjadi rendah dan patut dipersoalkan. Partisipasi dan legitimasi politik yang rendah tentu akan menyulitkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam menjalankan fungsi dan perannya.
Meskipun demikian, sesungguhnya tingkat partisipasi pemilih tidak selalu identik atau berkorelasi positif dengan kinerja kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih. Sebab, bisa saja meski suatu kandidat Kepala Daerah dipilih dengan partisipasi pemilih signifikan (dalam kisaran 70 hingga 90 persen), kinerjanya buruk.
Sebaliknya, meskipun tingkat partisipasi pemilihnya dalam Pilkada hanya menembus 60 persen, kinerja Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Terpilih bisa saja kinerjanya memuaskan masyarakat. Jika terakhir yang direngkuh, dipastikan persepsi publik akan positif. Manakala mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, besar kemungkinan bakal terpilih kembali.
Kalaupun dalam realitas politik terdapat suatu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang kinerjanya buruk dan berprilaku koruptif dan maju kembali dalam Pilkada. Lalu terpilih (kembali) menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk kedua kalinya, kemungkinan hal tersebut diperoleh melalui Pilkada yang tidak Jurdil dan tidak Luber serta sarat dengan politik uang.
Jika ini menjadi realitas politik, pastilah hal ini hanya terjadi dalam suatu masyarakat yang secara psiko politik tengah sakit atau negara/daerah yang secara politik penuh anomali. “Bagaimana tidak dikatakan sakit/anomal, kandidat yang terbukti track recordnya buruk, justeru terpilih menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah”.
Penulis: Achmad Fachrudin/Pimpinan Bawaslu DKI Jakarta (dikutip dari http://www.bawaslu-dki.go.id/)