Opini : ‘Ahok’ & Deparpolitisasi ; Tamparan Partai Politik ?
Oleh :
Saifuddin al Mughniy (*)
Politik terkadang memang tidak selalu menawarkan sesuatu yang baik, namun ajaran politik sesungguhnya sesuatu yang baik. Masyarakat tanpa politik maka berkecendrungan memiliki sifat apolitis, apriori, hedonis, sebab budaya telah mengasahnya untuk menjadi homo prematur sosial. Bukan tidak mungkin suatu ajaran politik menjadikannya terjebak pada ritme hedonisme dan oportunisme yang berlebihan sehingga mereka akan terbawa pada ruang materialisme. Sementara yang kita pahami adalah bahwa politik itu sebuah sistem atau mekanisme dimana proses pelaksanaan sebuah demokrasi haruslah di warnai sebuah mekanisme yang ada, bukan tanpa syarat atau non prosedural.
Dikalangan para ilmuwan politik memandang, bahwa, ilmu politik itu berkembang secara linear mengikuti perkembangan sains dan tehnologi. Transformasi informasi juga turut ambil andil di dalamnya sebagai media sosialisasi bagi figuritas, visi, misi serta agenda pemikiran lainnya yang dianggap bersenggama dengan konsep politik yang coba dilakoninya. Perspektif nampak sulit untuk dihindari mengingat terminologi perkembangan ilmu telah menggeser sebagian hal dalam ilmu pemerintahan dan politik. Katakanlah misalnya bagaimana perilaku itu terbentuk karena kekuasaan yang dominan. Bahkan perilaku masyarakatpun menjadi sesuatu yang hanif skaligus naif dalam sejarah perkembangan demokrasi.
Ya, sekali lagi demokrasi. Banyak tempat dan situasi di mana perbincangan tentang demokrasi tidak akan pernah usai, sebab demokrasi ditafsirkan dalam sudut pandang yang berbeda dan belum lagi dalam persektif kepentingan sehingga demokrasi terdefenisikan sesuai kebutuhan bukan lagi berdasarkan konsep, sejarah, serta implikasi dari sejarah perkembangan ilmu politik dan demokrasi itu sendiri.
Dari fase perkembangan demokrasi termasuk didalam menegejawantahkan dalam proses politik nyaris demokrasi menjadi “jualan” politik yang sangat laku untuk dipasarkan, walau penuh dengan kebohongan, dan hanya sekedar pencitraan belaka. Politik pencitraan sepertinya mewarnai kondisi politik nasional, terbukti dengan kemenangan Jokowi di DKI pada Pemilu Gubernur tahun 2013, kemudian kemenangan Jokowi JK di Pemilu Presiden ditahun 2014, yang dikenal dengan politik blusukan. Realitas ini kemudian diikuti oleh hampir semua kontestan politik baik itu pilkada di tingkat kabupaten/ kota maupun propinsi. Yah, sekedar menceburkan figuritas ditengah masyarakat dalam rangka pemilu, saya kira tak lebih dari itu.
Fakta politik demikian tentu tidak salah, sebab itu juga adalah bagian dari kerja-kerja politik, sekalipun memang kajian seputar ini hanya sebatas kontekstualisasi bukan pada naskah akademik. Nah, yang jadi persoalan saat ini adalah, ketika AHOK ingin maju dalam pemilu gubernur DKI tahun 2017 mendatang, tiba-tiba secara heboh muncul istilah “ DEPARPOLITISASI “. Sebagian orang berkomentar bahwa deparpolitisasi itu adalah sebuah ketidakpercayaan terhadap eksistensi partai politik. Berikutnya ada lagi yang berpendapat bahwa deparpolitisasi itu tak lebih sebuah tamparan bagi partai politik. Bahkan secara ekstrim ada yang punya perspektif yang lain kalau deparpolitisasi itu adalah untuk menghindari biaya mahar politik yang mahal karena harus membeli partai sebagai kendaraan politiknya, selanjutnya untuk menghindari adanya tekanan secara politis sekaligus bagi-bagi kekuasaan (distribution of power).
Saya juga begitu heran ketika Ahok ( Basuki Tjahya Purnama ) yang saat ini menjabat gubernur DKI, kok tiba-tiba ada istilah itu, apa ini adalah bagian dari sebuah proses penggembosan secara politik untuk Ahok, atau sekedar improvisasi bahwa partai politik tak lagi dibutuhkan. Sebenarnya kalau melihat statement politik dari Gubernur DKI ini, harus-lah diapresiasi sebab itu juga adalah pilihan politiknya yang sesuai ajaran demokrasi. Pertanyaannya adalah kenapa sejak pemilu secara langsung ditahun 2005 yang lalu tidak disoroti hal demikian, padahal dari pilkada ke pilkada tidak sedikit juga calon memilih jalur independen, namun situasi saat itu perdebatan deprpolitisasi tidah hangat dan muncul dipermukaan.
Ini saya anggap sebagai bentuk kesalahan kita memahami esensi demokrasi, ada kelataan politik di dalamnya sehingga ketika seseorang itu kita tidak suka untuk maju dalam konteks politik, maka ada kecenderungan alibi untuk menolak dengan cara menyerang sesuatu yang kita tidak pahami baik secara prosedural maupun secara teoritis. Kalau misalnya Undang-Undang Pemilu atau Undang-Undang tentang kepartaian ada bagian nomenklaturnya mengatakan bahwa barang-siapa calon peserta pemilu yang tidak memlih partai politik sebagai kendaraannya maka dinyatakan diskualifikasi dan tidak dapat diikutkan dalam proses politik yang ada. Nah, kalau demikian adanya maka secara esensial ini sudah melakukan pelanggaran secara konstitusional maupun secara demokrasi.
Mungkin kita sama-sama paham bahwa demokrasi itu adalah sebuah kebebasan. Jalur independen tentu bukan inkonstitusional, tetapi saya melihat lebih pada muatan dendam politik dan faktor suka atau tidak suka dengan calon atau figur yang ada. Disatu sisi mungkin kita bisa melihat bahwa deparpolitisasi muncul akibat fakta politik, dimana hampir semua partai politik berkonflik, belum lagi dengan agenda-agenda kegaduhan yang seringkali mewarnai jantung politik di negeri ini. Gonjang ganjing yang tak menentu, justru membingungkan masyarakat. Semua ini bisa menjadikan sosok ‘Ahok’ atau figur lainnya memilih jalur independen, terlepas perkara ideologi dan keyakinan sebagi calon peserta dalam proses demokrasi.
Kalau menurut pernyataan singkat dari Buya Syafii Maarif (Mantan Ketua PP Muhammadiyah), bahwa deparpolitisasi itu tak lebih sebuah tamparan bagi partai politik. Artinya kenapa seseorang memilih jalur independen, sebab boleh jadi karena partai politik begitu mahal mahar untuk satu calon, bisa saja karena partai politik sibuk dengan agenda konflik, yang kemudian partai politik banyak yang tersandung kasus korupsi, belum lagi sentimental legislative terhadap eksekutif, yang pada akhirnya menjadikan calon memilih jalan lain yaitu jalur independen sebagai kekuatan politik rakyat.
Saya kira ‘Ahok’ berada dalam ritme tersebut, bagaimana ia diserang oleh ketua DPR DKI Lulung, dan elemen yang lain yang “like in this like” terhadap gaya kepemimpinan ‘Ahok’. Semua fakta politik dapat terbaca di permukaaan, sebab secara terbuka perang itu seringkali muncul di head-lines di berbagai media.
Oleh sebab itu, bukan berarti fenomena deprpolitisasi itu adalah bentuk “ketidakpercayaan” kepada partai politik, sebab eksistensi partai politik di negara demokrasi seperti Indonesia masih sangat dibutuhkan untuk melanjutkan tradisi demokrasi. Hanya saja memang perlu transformasi serta upaya konstruktif untuk menata system politik yang baik, ideal demokratis, bermartabat tanpa kegaduhan. (*)
*Saifuddin al Mughniy : Direktur Eksekutif LKiS Institute/Anggota Forum Dosen Makassar