Parpol Penyebab Kelanggengan Kemiskinan Rakyat

 Parpol Penyebab Kelanggengan Kemiskinan Rakyat

Susunan partai politik peserta pemilu 2019 ini hoax. Sejatinya nomor 1 adalah PKB tapi terpasang logo PAN begitu pun sebaliknya

Saya tidak tahu sejak kapan saya skeptis dan malahan muak dengan apa yang namanya Partai Politik (Parpol). Rupanya hal ini bermula saat saya melalukan penyelidikan kecil-kecilan terkait hakikat keberadaan dan karakteristik parpol sejak era pemilu dan pilpres langsung pada 2016. Saya mendapati kenyataan bahwa logika keberadaan parpol, baik parpol islam maupun parpol non islam, semuanya sama: mengejar perolehan kursi, dan untuk mendapatkan perolehan kursi tersebut, partai harus mengumpulkan sekian suara rakyat. Dan untuk meraup suara rakyat tersebut, seluruh SDM partai dikerahkan dengan berbagai cara dan jualan isu apa saja. Dan akhirnya, partai berhenti hanya sekedar mengejar perolehan kursi dan bagaimana mengamankan kursi tersebut.

Dari kursi-kursi tersebut, partai mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber-sumber keuangan dan ekonomi, baik yang tersedia pada sekujur tubuh negara maupun masyarakat, untuk dialirkan untuk kepentingan perorangan di dalam kepemimpinan masing-masing partai tersebut, maupun untuk kelangsungan dan pengembangan kapasitas finansial lembaga partai tersebut.

Walhasil, partai-partai bagaikan lintah darat raksasa predator yang bersifat parasit dan sangat egois terhadap rakyat. Tidak ada sebenarnya prioritas dalam program para elit partai tersebut untuk memperjuangkan rakyat. Yang ada ialah mengambil keuntungan dari segmen-segmen yang lowong dari arena perebutan pasar suara suara.

Pada 22 September 2016, saya menulis hal ihwal sebenarnya dari keberadaan parpol tersebut di Republika. Judulnya Logika Ekonomi Parpol. https://m.republika.co.id/amp/odw8s77

Rupanya sejak itu, saya akibatnya jadi skeptis dengan keberadaan parpol. Ekstrimnya saya menjadi sinis terhadap parpol. Karena saya lebih melihat kejujuran eksistensi korporasi yang jelas-jelas mengejar profit ketimbang parpol yang pura-pura memperjuangkan aspirasi rakyat, padahal dua-duanya, ujung-ujungnya cuma mengejar uang dan mengeruk uang.

Waktu itu (2016) saya mengambil sampel PKS. Hal ini bukan berarti bermaksud menyudutkan PKS. Tetapi, sekedar membentangkan gambaran pada umumnya parpol.

Pada 2016 itu, terdapat 20.257 kursi legislatif yang tersedia untuk diperebutkan aneka parpol dalam satu momen pemilu legislatif. Perinciannya ialah 560 kursi untuk DPR, 2.137 kursi untuk DPRD Provinsi dan 17.560 kursi untuk DPRD Kabupaten/Kota. Indonesia memiliki 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Masing-masing daerah memiliki pola dan cirinya sendiri terkait perebutan kursi legislatif maupun hasil kursi. Semakin kaya suatu daerah, semakin besar penghasilan anggota DPRD-nya.

Sekarang mari kita hitung. Diketahui jumlah kursi PKS dari DPR hingga DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 1.146 kursi. Berapakah pendapatan 1.146 anggota legislatif PKS tersebut?

Dari 560 kursi DPR, PKS memperoleh 40 kursi. Total income setiap anggota DPR 2014-2019 per tahun diperkirakan Rp 1,2 miliar. Income itu meliputi banyak aspek, gaji pokok sebesar Rp 55.294.000 per bulan, dana reses Rp 118.000.000 dalam empat kali setahun, gaji ke-13 Rp 16.400.000, tarif per rapat Rp 500.000, tunjangan komunikasi, listrik, perumahan, beras dan lauk-pauk, tanggungan anak, istri, dst.

Jadi, dalam setahun, PKS dapat mengumpulkan Rp 48 miliar dari 40 orang anggota DPR-nya di Senayan. Lalu, berapa yang diperoleh PKS dari 1.106 anggota DPRD-nya di seluruh Indonesia?

Mari kita ambil angka moderat bahwa pendapatan setiap anggota DPRD adalah Rp 30 juta per bulan. Untuk DPRD DKI dapat menjadi Rp 45 juta. Hal ini disampaikan oleh Lembaga Fitra pada suatu kesempatan.

Jika PKS memiliki 1.106 kursi DPRD, dengan pendapatan Rp 30 juta per kursi per bulan, maka dalam sebulan PKS meraup dana sebesar Rp 33.180.000.000. Dalam setahun, PKS memperoleh Rp 398.160.000.000 dari anggotanya di DPRD. Ditambahkan dengan pendapatan dari 40 orang anggota DPR dari PKS di atas, maka total dalam setahun PKS meraup dana dari lini legislatif sebesar Rp 446.160.000.000 (Empat ratus empat puluh enam milyar seratus enam puluh juta rupiah). Angka yang tidak remeh, bukan?

Bagaimana dengan PDIP dan Partai Golkar yang jumlah anggota legislatifnya jauh lebih banyak? Tentu angkanya jauh melebihi nilai dana yang disabet oleh PKS.

Hal di atas barulah pendapatan partai dari income langsung yang dihasilkan kursi-kursi legislatif. Belum ekskutif, seperti Menteri/Wakil Menteri, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

Masalahnya, keberadaan parpol inheren dalam negara. Negara diatur oleh pemerintah dan legislatif. Legislatif dan pemerintah, diisi oleh parpol. Akhirnya, negara mengabdi pada parpol. Negara pun distir untuk mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi dan bisnis bukan sebenarnya untuk rakyat. Tapi kepentingan parpol. Itulah yang terjadi.

Amat sulitlah diharapkan adanya perbaikan nasib rakyat yang bisa lepas dari kemiskinan, karena akses-akses keuangan tidak diperedarkan kepada rakyat secara terbuka, tetapi dimonopoli secara ekslusif oleh elit-elit parpol dan sekutu pengusaha mereka.

Bayangkan berapa banyak uang yang berputar hanya untuk melayani partai dan kegiatan untuk berebut kekuasaan antar partai?

Memang demikianlah kenyataan yang ada. Kenyataan tidak perlu disesali manakala rakyat tidak mampu mengubahnya. Karena sebenarnya, hidup ini kadangkala hanya soal menang – kalah, bukan soal benar – salah. Konsekwensi yang menang, kadang berbuat sesuka-sukanya.

~ Bang SED

Berita Terkait