Pemerintah Tak Cermat, Kenaikan BBM Ancam APBN 2018

 Pemerintah Tak Cermat, Kenaikan BBM Ancam APBN 2018

Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS

JAKARTA – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Komisi VII Rofi Munawar memandang kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi terjadi karena mitigasi pemerintah terhadap kenaikan International Crude Price (ICP) tidak maksimal. Tren produksi lifting minyak nasional terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir dan bersamaan dengan itu konsumsi publik semakin tinggi. Anehnya, tidak ada terobosan baru dari Pemerintah.

Rofi menyadari bahwa kenaikan harga BBM non subsidi merupakan konsekuensi logis dari naiknya harga minyak secara global dan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Puncaknya jika ini dibiarkan terus menerus dipastikan akan berpengaruh kepada besaran Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN).

“Pemerintah selama ini terlena dengan rendahnya harga minyak dunia. Pun atas dasar itu pula subsidi energi ironisnya lebih banyak dialokasikan kepada sektor non energi seperti infrastruktur. Akibatnya saat harga minyak kembali tinggi seperti saat ini, APBN kita terancam mengalami defisit semakin dalam,” kata Rofi Munawar yang disampaikan dalam keterangan tertulisnya Ahad, (25/2/2018).

Legislator asal Jawa Timur ini menambahkan,sejatinya sejumlah kalangan sudah memberikan pandangan bahwa harga minyak dunia akan mengalami kenaikan secara signifikan didasarkan kepada perkembangan teknis dan non teknis dari negara-negara produsen minyak.

Rofi menambahkan, kondisi geopolitik negara-negara produsen minyak di timur tengah cenderung terus memanas dan tidak stabil.

Saat ini harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan. Untuk harga minyak acuan Brent (ICE) berkisar USD 67,31 per barel. Sementara WTI Crude Oil berada di harga USD 63,55 per liter. Sedangkan kurs rupiah berada di angka Rp 13.685 per USD.

“Kenaikan harga BBM non subsidi hampir tidak bisa dicegah karena Pemerintah telah menyerahkan mekanisme penentuan harga kepada pasar.” Jelasnya.

Rofi meminta Pemerintah segera merumuskan formula dan strategi yang tepat dari setiap kenaikan angka ICP yang berkembang. Terlebih kenaikan harga minyak ini secara faktual tidak sesuai lagi dengan alokasi anggaran energi yang telah dipatok pada Anggaran Peneriman Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar 46 dolar per barel.

Selain itu, lanjutnya, Pemerintah harus secara efektif meningkatkan produksi migas nasional.

“Kenaikan harga BBM menunjukan bahwa Pemerintah tidak punya instrumen efektif dan terobosan yang baik dalam mencegah, bukti bahwa kita sangat lemah dalam membendung proses liberalisasi di sektor migas” lugas Rofi.*

Sebagaimana diketahui, Kenaikan Harga BBM tidak hanya dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) semata. Namun juga dilakukan oleh Vivo dan Shell sebagai penyedia stasiun pengisian bbm umum (SPBU). Harga jual BBM Vivo jenis Revvo 90 atau setara Pertalite dari sebelumnya Rp 7.500 per liter menjadi Rp 8.350 per liter. Sementara untuk jenis Revvo 92 atau setara Pertamax juga naik dari Rp 8.250 menjadi Rp 9.100 per liter. Keduanya naik Rp 850 per liter. (Heryadi)

Berita Terkait