Penggantian Massal Gas LPG ke DME Batubara, Persis Penjajahan Beroperasi di RI

Indonesia memang empuk puk puk untuk dijajah, dijarah, dicacah dan dijajal. Diapain aja oleh penjajah, rakyatnya nrimo. Mental kalah dan menyerah, mengurat akar di dalam negeri hampir 300 juta jiwa ini. Cukup pegang kasta penguasanya. Masyarakat bawah bisa sendiri mencari pembenaran dan hiburan atas kesengsaraan hidup yang dipaksakan penjajahnya.
Masih ingat Anda bagaimana dulu rakyat dipaksa beralih dari kompor minyak tanah ke gas elpiji. Pasti ingat dong. Cara mereka memaksakannya. Pake bawa-bawa subsidi rakyat kismin segala, kan? Maka migrasi besar-besaranlah rakyat ke gas. Pemain usaha ciptaan paksa pemerintahan saat itu, tentu pesta pora.
Sekarang mereka mau tukar ke batubara. Katanya tabung gasnya tidak berubah. Tapi isinya berubah.
Begitulah cara penjajah di Indonesia. Di Indonesia jangan terperdaya dan rabun mata. Kelihatannya negara baru muncul setelah Belanda hengkang. Tapi seperti kasus gas LPG ke DME ini, begitu juga adanya. Bule boleh tidak di istana Bogor lagi, tapi cara kerja dan misinya, yaitu menjajah, memeras dan menjual rakyat dan tanah air guna keuntungan segelintir manusia licik, tetap diadopsi.
Jadi, bagi kita, kasus paksa rakyat lagi untuk bermigrasi dari Gas LPG ke DME yang direncanakan pada 2022 ini, cermin besar untuk melihat wajah penjajahan masa kini terhadap rakyat Indonesia yang lemah dan terpuruk. Jangan tersesat, walaupun batok kepalanya peyang, hidungnya pesek dan kulit mereka hitam, tapi otak dan cara kerja mereka tetap melanjutkan sifat penjajahan Belanda. Menguras, memeras, menciptakan ketergantungan dan ketakutan pada rakyat.
Satu saja kok urusannya itu. Yaitu pemain tambang batubara ingin memperpanjang kuasa oligarkinya di Indonesia dengan memaksa rakyat sebagai penyerap batu bara mereka, dengan secara licik mengendarai otoritas negara. Dengan begitu, keuntungan dan surplus mereka dapat mereka pertahankan.
Di bawah ini, bacalah baik-baik kasus yang akan segera berdampak besar ini.
…
Serupa Tapi Tak Sama, Ini Lah Pengganti LPG
Jumat, 12/11/2021 12:40 WIB
Jakarta, CNBC Indonesia – Liquefied Petroleum Gas (LPG) memang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, terutama sejak pemerintah memulai program konversi minyak tanah ke LPG pada 2007 lalu. Namun seiring dengan melonjaknya konsumsi energi masyarakat, ini berdampak pada lonjakan impor LPG. Pasalnya, produksi LPG yang ada di kilang dalam negeri tidak bisa mencukupi kebutuhan warga yang kian melesat. Alhasil, kenaikan impor LPG setiap tahun pun tak terhindarkan.
Demi menekan impor LPG, salah satu upaya pemerintah adalah dengan mendorong hilirisasi batu bara.
Nantinya batu bara kalori rendah akan diolah melalui proses gasifikasi menjadi Dimethyl Ether (DME) yang bisa digunakan untuk substitusi LPG. Bila LPG yang ada saat ini merupakan berbasis minyak bumi, maka DME ini berbasis batu bara.
Lalu, seperti apa bentuk akhir DME yang akan menggantikan LPG di masa depan?
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, berdasarkan rencana saat ini, nantinya DME akan disalurkan sama seperti LPG dalam bentuk tabung.
“Kalau dalam perencanaan sekarang seperti LPG, didistribusikan dalam tabung,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (12/11/2021).
Selain opsi didistribusikan sama persis dengan LPG, namun menurutnya ada juga opsi mencampur DME dengan LPG. Namun dia berpandangan, akan lebih mudah dalam pelaksanaannya jika DME disalurkan sendiri secara terpisah, tanpa dilakukan pencampuran dengan LPG.
“Ada juga memang opsi dicampur, tapi akan lebih simpel dalam pelaksanaannya kalau hanya DME (tidak dicampur),” lanjutnya.
Hal senada disampaikan oleh Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting. Dia mengatakan, DME merupakan produk yang bisa mensubstitusi LPG. Menurutnya, DME juga bisa dicairkan sebagaimana LPG, sehingga bisa dikemas dalam bentuk tabung ke masyarakat.
“DME merupakan produk yang dapat mensubstitusi LPG. DME juga dapat dicairkan seperti halnya LPG dan dapat didistribusikan ke konsumen dalam bentuk kemasan tabung seperti halnya LPG,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut Indonesia telah meraih komitmen investasi sekitar US$ 13 miliar-US$ 15 miliar atau sekitar Rp 185 triliun sampai Rp 213 triliun (asumsi kurs Rp 14.200 per US$) dari Air Products and Chemicals Inc (APCI).
Komitmen investasi Air Products ini tak lain untuk proyek hilirisasi pertambangan batu bara yang akan mengolah batu bara berkalori rendah menjadi DME, methanol atau produk kimia lainnya untuk menggantikan LPG.
Hal ini tertuang dalam Nota Kesepahaman (MoU) yang telah ditandatangani antara BKPM dan APCI pada pekan lalu, Kamis (04/11/2021) di Dubai, UEA, dan disaksikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
“Arahan Pak Presiden yang disampaikan dalam visi besarnya salah satu poinnya transformasi ekonomi, kita artikan industrialisasi ciptakan nilai tambah agar batu bara gak hanya kirim-kirim terus,” ungkapnya saat konferensi pers, Kamis (11/11/2021).
Sebagai langkah konkret dari Nota Kesepahaman dengan Kementerian Investasi/BKPM ini, Air Products juga langsung menandatangani Nota Kesepahaman dengan BUMN dan perusahaan nasional.
Sejumlah proyek bersama perusahaan nasional di antaranya proyek batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) antara PT Indika Energy Tbk dan APCI, proyek gas alam menjadi amonia biru antara PT Butonas Petrochemical Indonesia dan APCI, proyek batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) antara PT Batulicin Enam Sembilan dan APCI. Serta, proyek gasifikasi batu bara untuk produksi metanol antara PT Bukit Asam dan APCI.
“Maka Air Products dengan beberapa BUMN kita dan swasta nasional hilirisasi dalam rangka dapatkan pengganti LPG dari batu bara DME. Ini kita lakukan karena impor (LPG) kita sampai 5-6 juta (ton), cadangan devisa keluar tidak kurang dari Rp 55-70 triliun,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Suryo Eko Hadianto sempat mengatakan bahwa proyek gasifikasi menjadi salah satu proyek utama perusahaan.
“Gasifikasi ini akan menjadi salah satu pilar bisnis (perusahaan) ke depan,” kata Suryo pada diskusi yang diselenggarakan via Instagram Live Kementerian ESDM, Jumat (23/7/2021).
Meski PTBA masih menguasai cadangan batu bara lebih dari 3 miliar ton dan mampu digunakan hingga 100 tahun mendatang dengan rata-rata produksi 30 juta ton per tahun, Suryo meyakini pemenuhan kebutuhan energi saat itu tak lagi bersandar pada batu bara.
“Seratus tahun yang akan datang, batu bara akan ditinggalkan. Maka harus kami berdayakan secepatnya, salah satu terobosannya adalah gasifikasi batu bara,” jelasnya.
Dalam catatan Suryo, Indonesia masih mengimpor LPG sekitar 7 hingga 8 juta ton per tahun. Untuk itu, proyek gasifikasi diharapkan mampu menjawab kemandirian energi.
“Apa yang sudah dilakukan PTBA (gasifikasi) sejalan dengan program Presiden Jokowi dalam mengurangi impor,” urainya.
Suryo memastikan proyek gasifikasi dipastikan segera berjalan. Kepastian berlanjutnya proyek gasifikasi tersebut ditandai dengan penandatanganan Amandemen Perjanjian Kerja Sama Pengembangan DME antara PTBA, PT Pertamina, dan Air Products & Chemicals Inc (APCI).
“Operational agreement dan processing agreement sudah ditandatangani,” tegasnya.
Rencananya, proyek ini akan dilakukan di Tanjung Enim selama 20 tahun. Dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun sehingga dapat memperbaiki neraca perdagangan. Adapun untuk proyek DME bersama PTBA ini saja diperkirakan membutuhkan dana sekitar US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 30 triliun.
Adapun pembangunan fisik proyek DME ini diperkirakan memakan waktu sekitar 3-4 tahun, sehingga ditargetkan paling cepat akan beroperasi pada 2024. (cnbc Indonesia)