Terima Kasih Kepada Mereka yang Mengkritisi PPP

 Terima Kasih Kepada Mereka yang Mengkritisi PPP

Anggota Komisi III DPR RI dan Sekjen DPP PPP Asrul Sani

Oleh: Arsul Sani, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) danĀ Alumni FH-UI dan Glasgow School for Business & Society, GCU – Scotland U.K.

Pasca Pilkada DKI tahun lalu banyak akademisi atau pengamat sosial yang mengkritisi dengan tajam langkah PPP. Tentu setajam atau senyinyir apapun kami anggap sebagai jamu pahit untuk memperbaiki PPP ke depan.

Hanya saya juga perlu memberikan beberapa catatan bahwa ketika bicara tentang PPP, segelintir akademisi ataupun pengamat sosial tidak hanya menggunakan basis keilmuannya tetapi juga aspek emosionalitasnya dalam melihat persoalan yang ada di PPP. Bahkan aspek emosionalitas pada diri akademisi atau pengamat sosial-politik yang bersangkutan sering kali lebih dominan dari pada aspek rasionalitas-empiris yang seharusnya menjadi hal yang paling melekat dalam analisis atau hasil pengamatannya.

Mengapa keadaan seperti ini terjadi? Tentu prasangka baik (khusnudzon) yang harus kita kembangkan adalah karena mereka itu sesungguhnya “cinta” terhadap PPP, hanya sedang “kecewa” mengingat latar belakang mereka juga sebagai (mantan) aktivis ormas pemuda atau mahasiswa Islam atau sekarang berafiliasi dengan ormas Islam tertentu yang garis dan sikap politiknya sedang berbeda dengan PPP.

Meski ada juga di antara kami yang di dalam berprasangka tidak baik (suudzon) bahwa mereka adalah bagian dari kelompok yang sedang melakukan proses pemojokan atau peminggiran terhadap PPP karena berharap suara pemilih PPP beralih kepada partai berbasis umat Islam lainnya yg lagi mereka “nge-fans” atau gandrungi.

Sekali lagi jamu pahit dari sekelompok akademisi atau pengamat sosial politik ini mudah-mudahan dikirimkan sebagai obat, bukan racun untuk mematikan PPP. Sekarang ijinkan saya untuk merespon hal-hal yang terkait dengan subatansi atau ramuan (ingredients) yang terkandung dalam jamu pahit tersebut.

Pada umumnya jamu pahit dari sekelompok akademisi atau pengamat tersebut diramu dengan bahan dari reaksi sebagian umat Islam terhadap sikap Djan Faridz, dkk-nya sejak putaran pertama Pilkada DKI dan sikap PPP DKI Jakarta di putaran kedua Pilkada DKI serta sikap PPP dalam soal Perpu Ormas.

Bahwa ada reaksi yang negatif dari sebagian ummat Islam dalam soal Pilkada DKI dan Perpu Ormas, dan kemudian belakangan ditambah dengan isu internal PPP di Pilkada Sumut tahun 2018 yang akan datang, maka itu merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri.

Persoalannya dalam tataran analisis dan pengamatan, akademisi dan pengamat sosial politik tersebut melibatkan emosionalitas pribadi dan cenderung meninggalkan rasionalitas-empiritas (fakta empiris) yang seharusnya juga mewarnai pikiran mereka.

Salah satu tanda ditinggalkannya aspek rasionalitas dan fakta empiris tersebut adalah mereka tidak melakukan analisa, pengamatan dan menghitung faktor-faktor relasi internal-external PPP ketika “terpaksa” ikut mendukung Ahok di Pilkada DKI. Jika mereka mempertimbangkan faktor relasi ini, khsusunya yang dihadapi PPP dibawah kepemimpinan Romahurmuziy. Maka tentu terbuka perbedaan hasil analisis dan pengamatan mereka, kecuali niat mereka dari awal memang untuk meneggelamkan PPP.

Kedua, dalam soal Perpu Ormas. PPP memang mendukung disahkannya Perpu tersebut menjadi UU. Namun dukungan diberikan secara bersyarat yangĀ dituangkan dalam bentuk catatan atau yang dulu dikenal sebagai “minderheids nota“. Mengapa PPP bersikap begitu?

Jawaban atas pertanyaaan mengapa PPP setuju Perpu Ormas diundangkan walau dengan “minderheids nota” tadi, maka paling tidak bisa disampaikan dua hal. Pertama, PPP adalah partai Islam yang berkomitmen terhadap keutuhan NKRI dan menerima Pancasila sebagai dasar dan falsafah bernegara.

Oleh karena itu siapapun dan organisasi apapun yang punya agenda tidak menjaga NKRI dan tidak bisa menerima Pancasila, maka PPP setuju ada jalur khusus untuk bisa dibubarkan. Terlepas apakah organisasi tersebut berasosiasi dengan gerakan transnasional apapun, termasuk yang mengenakan baju Islam untuk diperhadapkan dengan Pancasila.

Namun demikian, PPP juga harus mengkritisi Pemerintah yang dalam merumuskan isi dan norma hukumnya terkesan serampangan. Karena itulah PPP mensyaratkan revisi dalam penerimaann Perpu Ormas tersebut. Saat ini kami bekerja bersama beberapa elemen masyarakat sipil sedang menyusun naskah akademik dan draft RUU Perubahan atas UU yang mengesahkan Perpu Ormas tersebut.

Fakta ini tidak dilihat sama sekali oleh akademisi atau pengamat sosial politik, bahkan untuk sekedar menghubungi dan bertanya saja kepada kami yang di PPP mereka tidak mau melakukannya.

Terkait Pilkada Sumatera Utara (Sumut,), suara segelintir akademisi dan pengamat hanya “co-pas” saja suara yang berkembang di sebagian intermal PPP di Sumut. Lagi-lagi mereka gagal untuk mencari tahu atau bertanya, dan hanya langsung bikin analisis dan pengamatan berbasis situasi saat ini saja.

Seyogianya seorang akademisi atau pengamat mengembangkan aspek empirisnya sebelum membuat analisis. Ia bisa bertanya kedalam untuk melengkapi bahan analisisnya, misalnya bagaimana proses-proses komunikasi politik terjadi sebelum akhirnya sampai pada keputusan bisa menerima pasangan calon Djarot- Sihar untuk Pilkada Sumatera Utara 2018. Mereka juga sepantasnya mengkaji apakah dari sisi idiologi PPP dan prinsip memilih pemimpin secara Islam ada yang salah ketika pilihannya Djarot-Sihar. Mereka juga seyogianya menengok sisi kebangsaan PPP ketika PPP juga mempertimbangkan realitas demografi di Sumut yang penduduknya sekitar 32% non-muslim.

Terakhir, saya ingin merespon mereka yang bicara PPP akan tenggelam di Pemilu 2019 dengan merujuk pada hasil survey yang di bawah 3 persen. Padahal ambang batas parlemen menurut UU Pemilu adalah 4%. Pasti yang menganalisis seperti ini tidak pernah melihat hasil-hasil survey tentang PPP di tahun 2013 ketika menjelang Pemilu 2014.

Silakan diriset kembali, maka akan ditemukan bahwa PPP pada survey-survey sepanjang tahun 2013 tingkat elektabilitasnya di kisaran 1,5 – 2,5 %, jadi diprediksi tidak akan lolos ke DPR RI karena ambang batas parlemen di Pemilu 2014 adalah 3%. Hasil nyatanya setelah perhitungan suara Pemilu 2014, PPP malah mendapatkan kenaikan suara dua juta dengan prosentase suara 6,160%. Jadi terlalu dini untuk menyimpulkan PPP akan tenggelam di Pemilu 2019. Apalagi kalau yang menyimpulkan tidak tahu bagaimana “geliat” PPP saat ini.

Wallahu’alam bishawab…

 

Berita Terkait