Tito Kapolri, Kemenangan Ahok dan Langgengnya Kekuasaan Jokowi
Ferdinand Hutahaen*
Kemarin, Rabu 15 Juni 2016 resmi sudah Presiden Jokowi mengusulkan Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri yang akan menggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang akan memasuki masa pensiun Juli nanti. Sungguh langkah catur yang menghentak meski sudah bisa ditebak sejak Tito dinaikkan pangkat menjadi bintang 3 mendahului lettingnya angkatan 87 bahkan meloncati seniornya angkatan 83 hinga 86.
Apakah keputusan Jokowi ini akan mulus diinternal Polri?. Biarlah waktu yang akan menjawab karena tulisan ini tidak akan membahas tentang internal Polri akan tetapi sekedar berimajinasi tentang kisah apa yang sedang dirancang dan apa yang akan terjadi kedepan sebagai dampak kebijakan loncat kijang Jokowi ini.
Pengajuan Tito sebagai calon tunggal Kapolri yang masih akan berdinas aktif hingga 10 tahun lagi tentu bukan sesuatu yang biasa, karena Tito akan menjabat hingga 2026 jika tidak diganti, dan kalau diganti akan dikemanakan posisi Tito kemudian? Mungkin Jokowi tidak perduli tentang kondisi Polri nanti atas kebijakannya ini.
Namun yang paling menikmati dan merasa menang serta mungkin terbahak atas pengajuan ini adalah Ahok sang Gubernur DKI Jakarta yang menjadi Gubernur atas hibah jabatan dari Jokowi yang meloncat jadi Presiden. Ahok pasti sumringah atas kebijakan ini karena Tito semasa menjabat Kapolda DKI sangatlah berhubungan akrab dan bahkan Tito pernah beberapa kali memuji Ahok. Dengan kondisi Tito jadi Kapolri maka Ahok pasti menatap kemenangan pilkada gubernur DKI. Maka sempurnalah rancangan oligarki dinegara ini dan mulus tanpa perlawanan berarti dari anak anak bangsa.
Keputusan Jokowi yang loncat kijang melompati senior senior Tito di Polri sangat terlihat demi kepentingan kekuasaan Jokowi dan bukan untuk kepentingan Bangsa dan Negara. Jokowi juga bisa diartikan menganggab Jendral-jendral Polisi angkatan 83 hingga 86 tidak layak memimpin Polri atau dianggab Jendral buruk, ataukah mungkin Jokowi ketakutan kepada Jendral-jendral senior Tito seperti Budi Gunawan, Budi Waseso dan lain-lain? Jokowi mungkin kuatir dengan sesuatu dan dianggab menjadi ancaman kekuasaannya.
Jokowi sedang merancang jalan melanggenggkan kekuasaannya hingga 2024, tanpa perduli situasi nasional yang sedang terancan bangkrut, dan Jokowi tidak juga sadar tentang kapasitas dan kapabilitasnya yang ternyata tidak memadai untuk memimpin bangsa sebesar ini. Jokowi tidak perduli bangsa ini hancur yang penting baginya tetap menjadi Presiden, dan tetap memainkan peranya sebagai ujung tombak oligarki yang akan menguasai negara ini tanpa sisa bagi anak cucu bangsa ini. Meski banyak teriakan dari rakyat ketelinga Jokowi, sayangnya teriakan itu pecah membentur angin.
Ferdinand Hutahaen, eks Relawan Jokowi