Memahami Kedudukan Geopolitik Singapura: Singapura Resah dengan Perkembangan Geopolitik dan Konsekwensinya untuk Indonesia

Suatu ketika, sesaat setelah Singapura dikeluarkan oleh Malaysia sebagai anggota federasinya, Lee Kwan Yeuw, pendiri Singapura tersebut, demam dan sakit berhari-hari. Datanglah pejabat Inggris menghiburnya.
Kira-kira pejabat Inggris itu meyakinkan Lee, agar jangan hawatir tentang siapa yang akan menopang ekonomi Singapura, bahwa jaringan korporasi internasional dari Barat akan menempatkan cabang-cabang dan administrasi korporasi tersebut di Singapura. Singapura akan didesain sebagai hub bagi Asia, sekurang-kurangnya Asia Tenggara. Lee pun lega.
Jadi sejak awal, Singapura hanya mengandalkan posisi Singapura sebagai hub untuk lalu lintas barang yang mengalir dari Asia Pasifik ke Asia Selatan, terus ke Timur Tengah, Afrika hingga Eropa. Demikian sebaliknya. Seperti kedudukan Sriwijaya di masa lalu. Buntutnya, Singapura pun menjadi pusat keuangan.
Perkembangan zaman berkata lain. China bangkit sebagai pesaing Amerika dan Barat. Zaman digital muncul yang memperpendek waktu dan mempersingkat jarak segalanya. Indonesia dan Malaysia juga mulai menengok dirinya. Sebab dalam beberapa dekade, Indonesia dan Malaysia merasa puas dengan kedudukan Singapura yang menguntungkan dan mengefesienkan ekonomi mereka.
Tapi lama kelamaan disadari, ditunjang pula meningkatkan kesadaran dan terbukanya informasi tertutup selama ini, dimana perselingkuhan korporasi yang berpusat di Singapura dengan elit-elit Indonesia, ternyata yang untung bukan negara, tapi hanya memperkaya elit-elit. Semuanya tak mungkin lagi ditutupi.
Sorotan terhadap Petral yang berbasis di Singapura dan kini, Wilmar, merupakan refleksi dari permasalahan ini. Sementara itu, korporasi China daratan, tidak memerlukan Singapura sebagai perantara dan hub untuk berdagang dengan Indonesia. Maka akibatnya, kedudukan Singapura mulai kehilangan relevansinya.
Orientasi bisnis China yang efesien dari segi pengiriman, membuat Singapura kelabakan. Andalan Singapura dalam dagang layanannya, hanya diletakkan pada pelanggan korporasi Barat dan pejabat-pejabat korup dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia, yang senantiasa menjamin keberadaan Singapura sebagai hub, kini tampaknya mulai goyah. Sementara sumber daya alam, Singapura sangat kering. Ketergantungan yang tinggi pada korporasi asing dan pejabat-pejabat korup dari Indonesia, di antaranya, menjadi simalakama.
Inilah sebabnya, rakyat Indonesia perlu berterima kasih kepada kebangkitan China yang membayangi Amerika dan Barat, karena dengan itu, Singapura sebagai “negara vassal Barat” menjadi terdegradasi relevansi dan kedudukan hubnya sehingga konsekwensinya, pejabat-pejabat korup dari Indonesia yang berselingkuh dengan korporasi-korporasi raksasa yang menguras kekayaan alam Indonesia yang banyak berbasis di Singapura dan menempatkan dananya di negeri tersebut, mulai goyah dan dilematik.
Jika terus menopang Singapura sebagai hub, sama saja merugikan diri sendiri, karena sudah terdapat pilihan yang lebih rasional dan menguntungkan bagi diri mereka sendiri tanpa harus berbagi rente dan keuntungan dengan Singapura akibat tantangan China yang progresif. Selain itu, meningkatnya kesadaran nasionalisme ekonomi Indonesia akibat tantangan China dan geopolitik yang multipolar, maka mempertahankan Singapura sebagai hub buat komoditi alam dan ekspor import serta lalu lintas dana Indonesia, makin tidak relevan.
Tapi jika peran Indonesia cabut dari layanan bisnis Singapura, negara kota tersebut niscaya akan merosot. Nasib Singapura pun makin serba tidak pasti, jika isu terusan di Thailand yang langsung menghubungkan Laut China Selatan dengan Lautan India terwujud, yang tentu saja menguntungkan Thailand, niscaya mendegradasi Singapura.
Hal itu bukan tidak mungkin di hadapan China yang mudah menciptakan proyek-proyek spektakuler. Karena bagi China, terusan semacam itu dapat membawa China mengontrol langsung arus barang dan terbuka membangun pelabuhan, dan sekaligus merugikan korporasi-korporasi yang berbasis di Singapura.
Jadi dapat dipahami, betapa cemasnya Singapura memandang masa depannya sehingga sampai PM Wong berkata, Singapura akan mencari cara untuk merespon perkembangan geopolitik yang selama ini menguntungkan dan menjamin Singapura dengan keberadaan Amerika sebagai polisi dunia demi kelangsungan negara tersebut.
Rakyat Indonesia sendiri, mungkin diuntungkan dengan pergeseran geopolitik yang menimpa Singapura, tetapi elit-elit korup yang puas sebagai centeng dan perpanjangan tangan korporasi besar pengeruk sumberdaya alam dan penyaji pasar Indonesia, akan rugi dan bagaikan makan buah simalakama.