FSPI Heran Nahdiana Diangkat Lagi Jadi Kadisdik DKI, Singgung Politisasi dan Rekam Jejak Kontroversial

JAKARTA – Pengangkatan kembali Nahdiana sebagai Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) DKI Jakarta oleh Gubernur Pramono Anung menuai sorotan tajam. Forum Silaturahmi Pemuda Islam (FSPI) mempertanyakan keputusan tersebut karena menilai rekam jejak Nahdiana selama menjabat sebelumnya penuh kontroversi dan sarat dugaan politisasi birokrasi.
“Kami sangat heran. Kenapa justru figur yang sebelumnya memicu banyak persoalan publik diangkat lagi? Padahal, Disdik DKI adalah institusi strategis dengan anggaran fantastis yang seharusnya dipimpin oleh sosok profesional, berintegritas, dan bebas dari kepentingan politik,” ujar Zulhelmi kepada wartawan, Sabtu (17/5/2025).
Zulhelmi menyoroti sejumlah catatan yang melekat pada kepemimpinan Nahdiana di masa lalu. Salah satunya adalah kasus pungli penerimaan ribuan guru kontrak individu (KI) dengan tidak para pelakunya masih bebas tidak ada sanksi hukum tegas dan kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2020.
“Saat itu, sistem zonasi berbasis usia dinilai diskriminatif karena banyak siswa berprestasi justru tersingkir akibat usia yang lebih muda. Protes besar dari orang tua siswa sempat terjadi di depan Balai Kota Jakarta,” jelasnya.
Lanjutnya, masih di tahun yang sama, nama Nahdiana ikut terseret dalam kontroversi anggaran lem Aibon sebesar Rp 82,8 miliar yang muncul dalam RAPBD DKI.
“Meski disebut kesalahan input, publik terlanjur menilai lemahnya verifikasi dan pengawasan internal di bawah kepemimpinan Dinas Pendidikan saat itu”, tandasnya.
Tak hanya soal teknis kebijakan dan anggaran, FSPI juga mengungkap dugaan politisasi jabatan yang terjadi di masa Nahdiana. Salah satu kasus yang disorot adalah pengangkatan istri seorang politisi PKS berinisial T sebagai Kepala Satuan Pelaksana (Kasatlak) Pendidikan di salah satu wilayah, meskipun saat itu belum memenuhi persyaratan administratif.
“Proses tersebut dinilai tidak transparan dan terindikasi kuat sebagai akomodasi politik,” tegasnya. ini berbahaya jika dibiarkan. Kita bicara tentang jabatan publik yang seharusnya diberikan kepada yang terbaik melalui mekanisme objektif. Bukan karena afiliasi partai,” tegasnya.
Lebih jauh, FSPI juga mencatat adanya kecenderungan eksklusivitas ideologis dalam sejumlah kebijakan pendidikan yang dijalankan saat itu.
“Beberapa program dinilai lebih mengakomodasi kelompok tertentu yang dikenal dekat dengan PKS, yang dikhawatirkan mencederai prinsip inklusivitas dan netralitas sekolah negeri di Jakarta,” ujarnya.
FSPI mendesak agar Gubernur Pramono Anung meninjau ulang keputusan ini dan membuka proses seleksi Kadisdik secara transparan dan berbasis merit.
“Disdik DKI mengelola anggaran puluhan triliun. Tidak boleh dikelola secara sembarangan atau dipolitisasi. Masa depan pendidikan Jakarta tidak boleh jadi korban tarik-menarik kepentingan,” pungkasnya.