Yang Kita Beli Bukan Barangnya, tapi Gengsinya…

Oleh Muhammad Risal, S.Si., M.M, Pengamat Pasar Global
Beberapa waktu lalu saya menemani seorang kolega dari Guangzhou, Tiongkok, melakukan survei pasar furnitur mewah di Jakarta. Ia cukup terkejut melihat harga berbagai produk rumah tangga seperti sofa dan meja makan yang bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Dengan nada heran, ia berkata, “Barang seperti ini di China harganya sangat murah. Tapi di sini bisa jadi sangat mahal. Berarti orang Indonesia cukup kaya, ya?”
Pernyataan itu membuka percakapan panjang mengenai struktur ekonomi dan budaya konsumsi di Indonesia. Saya menjelaskan bahwa tingkat kesenjangan di Indonesia tergolong tinggi, dan harga barang tidak selalu mencerminkan daya beli masyarakat secara umum. Sering kali, kemewahan yang tampak tidak sejalan dengan realitas ekonomi mayoritas penduduk.
Negara Konsumen yang Rentan Terhadap Persepsi
Saya juga menyampaikan bahwa Indonesia tidak pernah benar-benar mengalami fase industrialisasi yang kuat, sebagaimana terjadi di negara-negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, atau Jepang. Tanpa basis industri yang kokoh, Indonesia lebih dahulu berkembang sebagai pasar konsumen dibandingkan sebagai negara produsen.
Konsekuensinya, sebagian besar masyarakat tidak memiliki keterhubungan langsung dengan proses produksi barang. Kita lebih akrab dengan barang dalam bentuk jadi, yang dipajang di pusat perbelanjaan, bukan dengan proses pembuatannya. Inilah yang membuat kita mudah sekali terbentuk persepsinya—terutama dalam menilai harga dan kemewahan.
Konsumsi sebagai Simbol Status
Teman saya itu kemudian menyampaikan bahwa banyak furnitur yang ia lihat di Jakarta sebenarnya juga diproduksi secara massal di pabrik-pabrik di Tiongkok. Produk-produk tersebut dijual dengan harga jauh lebih murah di sana. Namun, ketika masuk ke pasar Indonesia, barang-barang itu dikemas ulang, diberi label premium, dan diposisikan sebagai simbol status sosial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa yang dijual bukan lagi fungsinya, tetapi citranya. Konsumen membeli barang bukan karena kebutuhan, tetapi karena ingin menunjukkan kelas sosial. Dengan kata lain, yang dibeli bukan barangnya, tapi gengsinya.
Data dan Fakta Ekonomi
Kesenjangan sosial ekonomi di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Gini ratio Indonesia per September 2024 tercatat sebesar 0,381. Angka ini menunjukkan ketimpangan distribusi pendapatan yang cukup tinggi.
Di sisi lain, struktur ekonomi Indonesia juga menunjukkan dominasi sektor konsumsi. Ketergantungan terhadap barang impor masih besar, dan kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cenderung stagnan. Artinya, mayoritas barang yang dikonsumsi masyarakat bukan hasil produksi dalam negeri.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat kita rentan terhadap budaya konsumsi simbolik, yaitu konsumsi yang bertujuan untuk membangun citra, bukan memenuhi kebutuhan riil. Gaya hidup dibentuk oleh apa yang tampak dari luar, bukan dari nilai atau makna barang itu sendiri.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita benar-benar sedang membeli barang, atau kita sedang membeli ilusi tentang siapa diri kita?
Jika kita tidak memiliki kesadaran kritis sebagai konsumen, maka kita tidak hanya berisiko membayar terlalu mahal, tetapi juga kehilangan kemampuan untuk menilai secara rasional.