MAFIA TANAH: Sekelas JK Saja Jadi Korban, Bagaimana Nasib Rakyat Biasa

 MAFIA TANAH: Sekelas JK Saja Jadi Korban, Bagaimana Nasib Rakyat Biasa

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin, Makassar / Direktur LAPSENUSA (Lembaga Advokasi dan Pengenbangan Sosial dan Ekonomi Nusantara)

Apakah hukum di negeri ini masih menjadi pelindung bagi yang benar, atau sekadar alat bagi yang berkuasa?

Apakah keadilan kini hanya menghampiri mereka yang punya nama besar, sementara rakyat kecil dibiarkan berjuang dalam sunyi melawan tembok tebal birokrasi dan uang?

Pertanyaan ini mencuat kembali setelah publik menyaksikan kisah yang menggemparkan: Jusuf Kalla (JK), mantan Wakil Presiden, tokoh nasional, sekaligus pengusaha besar, menjadi korban dugaan mafia tanah di Makassar.

Jika sekelas JK bisa dipermainkan oleh sistem dan jaringan kepentingan, bagaimana nasib petani di pelosok yang bahkan tidak paham cara membaca peta sertifikatnya?

Jika seorang yang pernah duduk di jantung kekuasaan bisa “dirampas haknya”, maka betapa rapuhnya keadilan yang kita banggakan selama ini.

Kasus sengketa lahan seluas 16,4 hektar di Tanjung Bunga, Makassar, yang diklaim sebagai milik keluarga Jusuf Kalla, menjadi sorotan publik nasional. JK menuduh adanya praktik mafia tanah di balik penerbitan sertifikat yang tumpang tindih, dan menuding salah satu pengembang besar yang berafiliasi dengan grup Lippo sebagai pihak yang berperan dalam penguasaan lahan tersebut.

Dalam sejumlah pernyataan, JK menegaskan: “Ini bukan soal saya tidak punya tanah, ini soal keadilan dan hukum yang dilanggar.”

Ucapan itu menohok kesadaran publik. Sebab, JK bukanlah orang yang kekurangan tanah atau uang.

Perlawanan yang ia lakukan bukan karena nilai ekonomis dari lahan tersebut, tetapi karena nilai moral, etis, dan prinsip keadilan yang ia yakini sebagai dasar kehidupan bernegara dan bermartabat.

Ia melawan bukan karena ingin menang, tetapi karena ingin menunjukkan bahwa kebenaran tidak boleh kalah oleh kekuasaan.

Kemarahan JK bukanlah amarah orang kaya yang tanahnya terganggu, tetapi amarah seorang Bugis-Makassar yang merasa harga dirinya diinjak.

Dalam falsafah Bugis-Makassar, terdapat nilai luhur yang disebut Siri’ na Pacce. Siri’ berarti harga diri dan kehormatan, sedangkan pacce bermakna empati sosial yang mendalam.

Bagi orang Bugis-Makassar, kehilangan harta bukan aib, tetapi kehilangan harga diri adalah kematian.

Seperti pepatah tua yang selalu dipegang teguh: “Taro ada na taro gau”, letakkan kata dan perbuatan pada tempatnya.

Artinya, kebenaran tidak boleh berhenti di bibir; ia harus diwujudkan dalam tindakan. Itulah yang kini diperlihatkan JK di hadapan publik, bahwa kehormatan tidak bisa dibeli, dan kebenaran tidak boleh dikompromikan.

Dalam Islam, mempertahankan hak adalah bagian dari iman, dan melawan kezaliman adalah bentuk ibadah sosial. Allah SWT.menegaskan dalam Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak, dan apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia hendaklah kamu memutuskan dengan adil.” (Q.S. An-Nisa’: 58)

Ayat ini seolah menjadi panggilan abadi bagi siapa pun yang memegang jabatan, kuasa, atau pena untuk tidak mempermainkan amanat rakyat.

Sebab setiap penyimpangan terhadap hak dan kebenaran, sekecil apa pun, adalah bentuk pengkhianatan kepada Tuhan dan sesama manusia.

Rasulullah SAW.juga mengingatkan dalam hadits sahih:
قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: “لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ”
“Tidak boleh berbuat bahaya dan tidak boleh saling mencelakai.” (HR. Ibn Majah)

Prinsip “La ḍarar wa la ḍirar”, ini adalah fondasi keadilan sosial Islam. Dalam konteks mafia tanah, kezaliman terjadi ketika seseorang atau kelompok menggunakan hukum untuk mencelakai hak orang lain, baik dengan memalsukan sertifikat, merekayasa data, atau memanfaatkan jabatan.

Bahkan Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
الْعَدْلُ أَسَاسُ الْمُلْكِ
“Keadilan adalah dasar tegaknya kekuasaan.”

Kekuasaan tanpa keadilan adalah tirani. Negara tanpa integritas adalah bayangan kosong dari keadilan itu sendiri.

Maka, ketika JK berbicara lantang tentang keadilan, sesungguhnya yang ia perjuangkan bukan hanya hak pribadinya, tetapi hak moral bangsa untuk tidak tunduk kepada sistem yang cacat.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga menegaskan:
الظلم مؤذن بخراب العمران
“Kezaliman adalah tanda kehancuran peradaban.”

Jika mafia tanah dibiarkan tumbuh, maka yang hancur bukan hanya institusi hukum, tapi juga struktur moral bangsa.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa mafia tanah bukanlah mitos. Mereka adalah jaringan nyata yang beroperasi dengan canggih: memalsukan dokumen, bersekongkol dengan oknum pejabat, memanfaatkan kelemahan hukum, bahkan kadang memonopoli aparat untuk menekan pemilik sah.

Kasus yang menimpa JK hanyalah puncak dari gunung es. Data dari Kementerian ATR/BPN menunjukkan ribuan kasus serupa menimpa rakyat kecil di berbagai daerah.

Mereka yang tidak mampu membayar pengacara atau mengakses media, terpaksa pasrah menyaksikan rumah dan kebunnya diserobot tanpa daya.

Dalam analisis sosial, mafia tanah adalah cerminan kegagalan sistemik, lemahnya tata kelola pertanahan, korupsi struktural, dan birokrasi yang tidak transparan.

Selama sertifikat tanah masih bisa digandakan, selama pejabat masih bisa disuap, selama hukum masih bisa ditawar, maka tanah yang seharusnya sumber kehidupan, akan terus menjadi ladang perampokan legal.

Islam memandang kepemilikan tanah bukan hanya urusan ekonomi, melainkan juga amanah sosial. Nabi SAW. bersabda:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ
“Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa kepemilikan sah bukan diperoleh melalui tipu daya atau kekuasaan, tetapi melalui kerja, penghidupan, dan tanggung jawab sosial terhadap bumi.

Maka, mafia tanah yang merebut tanah tanpa hak adalah perampok yang menodai amanah Tuhan.

Kemarahan JK bukanlah luapan emosi sesaat. Ia adalah simbol spiritual dari rasa siri’ (harga diri) yang disandingkan dengan iffah, yaitu kehormatan diri untuk tidak tunduk kepada kezaliman.

JK sedang memberi pelajaran penting kepada bangsa ini, bahwa melawan bukan berarti mencari musuh, melainkan menegakkan prinsip yang diwariskan oleh agama dan leluhur.

Dalam konteks Islam, perlawanan terhadap kezaliman bukan hanya hak, tapi juga kewajiban moral. Rasulullah SAW. bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud).

Tentu spirit yang mendasari pak JK juga dilatar belakangi oleh upaya beliau untuk memberantas kemungkaran dan kesewenang-wenangan dalam bentuk pelanggaran terhadap ajaran agama, sebagai rangkaian menegakkan jihad. Rasulullah menegaskan dalam sebuah sabdanay:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ:
«مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا طَوَّقَهُ اللَّهُ إِيَّاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ»

“Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan melilitkan (mengalungkan) kepadanya tanah itu pada hari kiamat dari tujuh lapis bumi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dan inilah bentuk jihad yang kini dilakukan JK , yaitu jihad sosial, jihad moral, jihad keadilan. Bukan dengan pedang, tapi dengan suara dan keberanian.

Dalam pandangan masyarakat Bugis-Makassar, sikap seperti itu adalah bentuk nyata dari taro ada na taro gau, artinya menempatkan kata dan tindakan pada keseimbangan yang benar. Tidak berlebihan, tidak pula takut.

Maka, ketika publik melihat JK berdiri tegak di tengah badai kasus ini, banyak yang melihat bukan hanya seorang pengusaha atau politisi, tapi simbol keberanian moral di tengah zaman yang kehilangan rasa malu.

Reaksi masyarakat terhadap kasus ini menunjukkan bahwa publik mulai sadar bahwa mafia tanah adalah musuh bersama.

Dari media sosial hingga kelompok aktivis, dari akademisi hingga pengusaha, banyak yang mendukung langkah JK untuk membawa kasus ini ke jalur hukum.

Bahkan pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN mengakui adanya kesalahan administratif dalam penerbitan sertifikat, dan berjanji melakukan audit menyeluruh.

Dukungan ini menandakan kebangkitan kesadaran baru, bahwa keadilan bukanlah milik elite, melainkan milik setiap warga.

Bahwa jika yang kuat saja bisa diperdaya, maka kita semua wajib bersatu untuk menegakkan sistem hukum yang jujur dan bersih.

Tidak cukup hanya mengutuk mafia tanah, bangsa ini perlu berbenah secara struktural.

Pertama, negara harus memperkuat transparansi dan digitalisasi sertifikat tanah agar tidak ada ruang untuk manipulasi dokumen.

Kedua, pemerintah harus membentuk lembaga independen yang berwenang menindak pelaku mafia tanah lintas instansi.

Ketiga, aparat penegak hukum harus diberi pelatihan etik dan spiritual agar hukum tidak hanya berbasis pasal, tetapi juga nurani.

Yang paling penting, masyarakat harus ikut mengawasi. Sebab keadilan tidak bisa tumbuh tanpa keberanian rakyat untuk menjaga dan menuntutnya.

Dalam istilah Islam, keadilan bukan sekadar keputusan hakim, tetapi “maqashid syariah” (tujuan luhur dari hukum itu sendiri), yaitu melindungi hak, menjaga jiwa, dan menegakkan kebenaran.

Kasus JK mungkin akan diselesaikan lewat pengadilan. Namun gema moralnya jauh lebih luas daripada sekadar batas hukum.

Ia menegaskan kembali pertanyaan yang harus kita jawab bersama, apakah bangsa ini masih memiliki keberanian moral untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu?

JK telah memberi teladan, bahwa harga diri lebih mahal dari tanah, dan keadilan lebih berharga dari kekuasaan.

Dari Makassar, dari seorang putra Bugis yang dikenal tegas dan berani, kita belajar, tanah bisa diambil, tapi kehormatan tidak boleh dirampas.

Allah SWT. berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
“Dan janganlah engkau mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang dilakukan oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Dia menangguhkan mereka hingga suatu hari di mana mata-mata terbelalak (ketakutan).” (Q.S. Ibrahim: 42)

Ayat ini adalah penutup bagi setiap tirani yang merasa aman dengan kekuasaannya.

Pada akhirnya, kebenaran akan menang , bukan karena kuatnya kuasa, tapi karena tegaknya nurani dan keberanian.

Dan mungkin, di situlah makna sejati dari perlawanan seorang Jusuf Kalla, mengembalikan wajah keadilan agar bangsa ini tidak kehilangan siri’-nya, tidak kehilangan iffah-nya, dan tidak kehilangan Tuhan dalam hukum yang seharusnya suci.

#Wallahu A’lam Bis-Shawab

Facebook Comments Box