Isu Pernikahan Politik: Membaca Relasi Fikar dan Falih dalam Perspektif Politik Kekerabatan di Sulawesi Selatan
Baharuddin Hafid, Dosen Tetap Universitas Megarezky Makassar (foto: pribadi)
Oleh: Baharuddin Hafid, Dosen Tetap Universitas Megarezky Makassar
Pendahuluan
Dalam dinamika politik lokal di Indonesia, terutama di wilayah yang memiliki sejarah panjang kepemimpinan berbasis patronase seperti Sulawesi Selatan, setiap peristiwa sosial yang melibatkan keluarga elite hampir selalu dibaca publik dalam kerangka politik. Salah satu isu yang berkembang belakangan adalah anggapan bahwa hubungan antara Fikar, putra dari Ilham Arief Sirajuddin (IAS), dan Falih, putri almarhum Ihsan YL, merupakan bentuk “pernikahan politik”.
Narasi ini berkembang meskipun tidak pernah ada verifikasi atau pernyataan resmi dari keluarga kedua belah pihak. Namun sebagai fenomena sosial-politik, isu ini menarik untuk dianalisis, bukan untuk memvalidasi kebenarannya, melainkan untuk memahami mengapa publik mudah mengaitkan hubungan personal dengan kepentingan politik.
1. Politik Kekerabatan dan Budaya Elite: Kerangka Teoretik
Kajian politik Indonesia sering menggarisbawahi kuatnya model elite formation yang dipengaruhi ikatan keluarga, patron-klien, dan jaringan kekerabatan. Dalam literatur politik lokal, hal ini dikenal sebagai kinship politics atau politik kekerabatan, yang memadukan: basis genealogis, kepentingan ekonomi-politik, serta reproduksi kekuasaan antargenerasi.
Sosiolog Robert Hefner dan Aspinall menekankan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan tinggi untuk membaca ruang publik melalui relasi personal. Karena itu, setiap hubungan keluarga elite hampir otomatis diberikan makna politis, bahkan jika faktanya bersifat privat.
2. IAS dan Ihsan YL: Dua Figur dengan Jejak Publik yang Kuat
IAS adalah salah satu tokoh kuat di Golkar Sulawesi Selatan, dengan sejarah panjang dalam pemerintahan dan partai, termasuk pernah menjadi Ketua DPD Golkar Sulsel selama 16 bulan. Reputasi politiknya membuat nama keluarga IAS selalu berada dalam radar politik publik.
Di sisi lain, mendiang Ihsan YL juga merupakan figur berpengaruh di Makassar, pernah menjabat bupati Gowa dua periode memiliki jaringan sosial dan kultural yang luas. Dua keluarga ini memiliki jejak pengaruh di ruang publik, sehingga wajar jika publik melihat interaksi antar anggota keluarga mereka melalui lensa politis.
Namun, pengaruh politik orang tua tidak otomatis menjadi parameter orientasi anak-anak mereka. Ada ruang otonomi personal yang tidak bisa diredusir menjadi kepentingan politik.
3. Dari Fakta ke Persepsi: Mengapa Narasi “Pernikahan Politik” Mudah Muncul?
Narasi “nikah politik” biasanya muncul ketika tiga faktor bertemu:
a. Keterbatasan informasi
Dalam konteks politik lokal, keterbatasan dan ketertutupan informasi sering membuka ruang bagi asumsi dan spekulasi. Publik menambal kekosongan data dengan interpretasi sendiri.
b. Jejak kekuasaan keluarga
Jika dua keluarga memiliki posisi strategis, publik akan membaca setiap relasi sebagai potensi konsolidasi kekuasaan.
c. Budaya politik patronase
Masyarakat dengan pengalaman historis terhadap politik patronase cenderung melihat hubungan personal sebagai strategi politik.
Dengan kata lain, yang sedang beroperasi bukan fakta objektif, melainkan pola pikir kolektif yang dibentuk sejarah politik Indonesia.
4. Realitas Sosial: Otonomi Individu dan Pembentukan Identitas Baru
Generasi Fikar dan Falih merupakan generasi baru politik Sulsel. Mereka tumbuh dalam konteks berbeda dari generasi orang tua mereka.
Dalam perspektif sosiologi keluarga, hubungan personal pada generasi muda tidak dapat secara otomatis dianggap sebagai reproduksi kekuasaan politik orang tua. Ada ruang otonomi, preferensi pribadi, serta orientasi hidup yang tidak bisa diidentikkan dengan proyek politik generasi sebelumnya.
Menganggap hubungan mereka sebagai “pernikahan politik” tanpa landasan faktual justru mereduksi kompleksitas: psikologis, emosional, dan identitas personal keduanya.
5. Analisis Media dan Opini Publik: Antara Fakta, Tafsir, dan Imajinasi Politik
Isu ini menjadi contoh bagaimana politik persepsi bekerja. Media sosial mempercepat pembentukan opini, tetapi tidak selalu didukung fakta. Dalam teori agenda-setting, hal yang sering dibicarakan dianggap penting, meskipun tanpa bukti kuat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa: ruang politik kita masih rentan terhadap narasi spekulatif, publik mudah membaca peristiwa personal sebagai strategi kekuasaan, bahkan tanpa intensi politik dari para pihak.
Dalam konteks itu, isu “pernikahan politik” lebih tepat dibaca sebagai konstruksi opini publik, bukan realitas empiris.
6. Penutup: Menata Cara Pandang Kita terhadap Politik Lokal
Penting untuk menegaskan bahwa tidak ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa hubungan Fikar dan Falih merupakan rekayasa politik. Narasi tersebut lebih banyak muncul dari pola pikir masyarakat mengenai politik kekerabatan yang sudah mengakar lama.
Sikap yang lebih akademik dalam membaca fenomena ini adalah dengan memisahkan: fakta personal dari interpretasi politis yang berkembang.
Dengan demikian, kita dapat membangun budaya politik yang lebih sehat—yang menilai politisi dari rekam jejak, gagasan, dan kinerjanya, bukan dari spekulasi yang mengaburkan ruang privat mereka.
Allahu a’lamubissawab