Nasionalisme dan Agama sebagai Identitas Politik
(Suatu Opini dalam Perspektif Akademik)
Oleh : Baharuddin Hafid, Dosen Tetap Universitas Megarezky Makassar
Pendahuluan
Perdebatan mengenai hubungan antara nasionalisme dan agama sebagai identitas politik terus menjadi tema penting dalam kajian ilmu politik kontemporer, khususnya di negara-negara multikultural seperti Indonesia. Fenomena ini relevan karena nasionalisme dan agama sama-sama memuat energi simbolik, normatif, dan emosional yang kuat dalam membentuk orientasi politik masyarakat. Keduanya dapat saling menopang, tetapi juga dapat saling menegasikan jika tidak dikelola secara sehat. Dengan demikian, memahami hubungan antara keduanya bukan hanya penting secara akademik, tetapi juga strategis bagi konsolidasi demokrasi Indonesia.
1. Nasionalisme sebagai Proyek Kebangsaan Inklusif
Secara akademik, nasionalisme dipahami sebagai konstruksi sosial yang muncul dari “imagined community” (Benedict Anderson), yaitu kesadaran kolektif bahwa suatu kelompok manusia terikat dalam komunitas politik yang sama meskipun tidak saling mengenal secara personal. Di Indonesia, nasionalisme tidak berdiri di atas fondasi homogenitas etnis, budaya, atau agama, melainkan berakar pada pluralitas historis yang diikat dalam kesadaran kebangsaan.
Sejak era pergerakan nasional, para pendiri bangsa merumuskan nasionalisme sebagai proyek inklusif dan non-sektarian. Pancasila, khususnya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menjadi titik temu yang mampu mengakomodasi keragaman keyakinan tanpa menjadikan negara bersifat sekuler dalam pengertian Barat, tetapi juga tidak menjadikannya negara agama. Nasionalisme Indonesia dirancang sebagai ruang publik yang memberi jaminan eksistensi kepada seluruh identitas kultural dan religi.
Dalam kerangka ini, nasionalisme tidak bersifat eksklusif atau superioristik, melainkan bertujuan menjaga integrasi sosial sekaligus stabilitas politik. Namun, dalam dinamika politik kontemporer, konsep nasionalisme sering kali direduksi menjadi retorika kampanye atau instrumen simbolik untuk menciptakan batas-batas “kita versus mereka”, terutama ketika digunakan tanpa basis pemahaman historis dan etis yang kuat.
2. Agama sebagai Identitas Politik: Antara Moralitas dan Mobilisasi
Agama, dalam analisis identitas politik, merupakan sumber nilai dan otoritas moral yang sangat kuat. Sebagai sistem kepercayaan, agama mempengaruhi cara berpikir, bersikap, dan bertindak suatu komunitas. Ketika identitas keagamaan memasuki arena politik, ia dapat berfungsi sebagai:
1. Sumber moralitas politik, yang menuntut praktik politik yang jujur, adil, dan etis.
2. Instrumen mobilisasi massa, karena sentimen keagamaan memiliki kemampuan untuk menggerakkan dukungan dengan cepat dan emosional.
3. Penanda identitas kolektif, yang dapat memperkuat kohesi internal suatu kelompok namun sekaligus menciptakan jarak dengan kelompok lain.
Dalam kajian sosiologi-politik, agama dipandang sebagai identitas yang “tak netral” dalam politik. Ia membawa beban historis, teologis, dan psikologis yang bisa melahirkan politik inklusif maupun eksklusif. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa agama memiliki potensi besar dalam proses demokratisasi, tetapi juga berpotensi memicu konflik horizontal bila dikapitalisasi secara elektoral.
3. Interaksi Nasionalisme dan Agama dalam Politik Indonesia
Dalam konteks Indonesia, hubungan nasionalisme dan agama bersifat dialektis dan dinamis. Beberapa poin penting dapat dicatat:
a. Sinkretisme politik nasional
Indonesia tidak menganut pemisahan mutlak antara agama dan negara (seperti model sekuler Prancis), tetapi juga tidak menerapkan negara agama. Model yang dihasilkan adalah hibrida: negara memberikan peran tertentu bagi agama dalam ruang publik, namun tetap mempertahankan supremasi konstitusi sebagai pijakan politik.
b. Agama sebagai penentu orientasi politik publik
Sejumlah studi menunjukkan bahwa identitas keagamaan merupakan salah satu faktor penentu perilaku pemilih. Hal ini wajar dalam masyarakat religius. Namun persoalan muncul ketika agama digunakan sebagai alat segmentasi politik yang menghasilkan polarisasi identitas.
c. Nasionalisme sebagai korektor politik identitas
Ketika politik berbasis agama cenderung mengarah pada eksklusivitas, nasionalisme hadir sebagai kerangka yang menegaskan batas-batas etika kebangsaan: semua warga negara memiliki hak politik yang sama, tanpa syarat identitas keagamaan.
4. Tantangan dan Risiko Politisasi Identitas
Menguatnya politik identitas berbasis agama dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya kegamangan masyarakat dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi. Agama menawarkan kepastian nilai, sementara nasionalisme memberi rasa aman kolektif. Namun, terdapat beberapa risiko:
1. Reduksi agama menjadi retorika politik
Agama yang universal dan spiritual dapat tereduksi menjadi slogan elektoral yang dangkal.
2. Polarisasi sosial dan delegitimasi politik
Narasi identitas kerap membelah masyarakat ke dalam blok “agama yang benar versus yang lain”, atau “nasionalis versus tidak nasionalis”.
3. Delegitimasi nalar publik
Rasionalitas politik berpotensi melemah ketika keputusan diambil lebih karena sentimen identitas daripada argumentasi yang deliberatif.
5. Mencari Titik Keseimbangan: Politik Etis dan Berkeadaban
Kunci utama relasi nasionalisme dan agama adalah etika politik. Baik agama maupun nasionalisme harus dilihat sebagai sumber inspirasi nilai, bukan sebagai alat perebutan kekuasaan. Titik keseimbangan itu dapat dicapai melalui:
Penguatan pendidikan politik yang menempatkan agama sebagai sumber etika, bukan sentimen.
Revitalisasi nasionalisme inklusif yang menghargai keragaman internal bangsa.
Pembatasan instrumentalitas identitas oleh elite politik melalui regulasi kampanye dan penegakan etika politik.
Peningkatan ruang dialog antaragama untuk memperkuat solidaritas kebangsaan.
Permadani kebangsaan Indonesia hanya bisa terjaga jika agama, nasionalisme, dan politik bergerak dalam harmoni yang menegakkan keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia.
Penutup
Nasionalisme dan agama sebagai identitas politik merupakan dua pilar penting dalam pembentukan karakter politik Indonesia. Keduanya dapat saling menguatkan apabila dikelola dalam kerangka etika kebangsaan yang inklusif dan demokratis. Sebaliknya, keduanya bisa menjadi sumber konflik sosial bila direduksi menjadi alat polarisasi identitas.
Tanggung jawab terbesar ada pada elite politik, akademisi, dan masyarakat sipil untuk menjaga keseimbangan tersebut. Pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia ditentukan oleh kemampuan kita menempatkan agama sebagai sumber moralitas, nasionalisme sebagai ruang inklusi, dan politik sebagai arena kompetisi gagasan yang berkeadaban.
Allahu A’lamubissawab