Demokrasi Uang dan Korupsi

Oleh: Musni Umar, Sosiolog dan Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
Pada saat Musyawarah Besar Pemuka Agama Untuk Kerukunan Bangsa (8-10/2/2018) di Hotel Sahid Jakarta, saya berbincang dengan banyak pemuka agama. Salah satu yang saya ajak bicara paa saat makan siang ialah seorang pemuka agama dari Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Saya bertanya tentang pengamalan demokrasi di Kepri?
Dia menjawab dengan sangat prihatin bahwa rakyat pada umumnya hanya mau memilih seseorang kalau dibayar. Transaksinya antara Rp 100.000-150.000 satu suara.
Saya tanya lagi apakah bapak sebagai pemuka agama sudah menyampaikan kepada rakyat bahwa menerima sogokan dan menyogok tidak boleh. Undang-undang melarang dan agama melarang. Dia menjawab sudah, tetapi rakyat tetap melakukannya.
Dari Mana Dapat Uang?
Para pakar, analis sosial dan politik serta pemuka agama selalu menyalahkan para calon yang bersaing untuk merebut kekuasaan di semua tingkatan. Mulai dari Presiden-Wakil Presiden, Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati, Walikota-Wakil Walikota, Anggota Parlemen di semua tingkatan termasuk anggota DPD RI, tidak punya pilihan kecuali mengikuti maunya rakyat sebagai pemilih (pemilik kedaulatan).
Tidak mengikuti maunya rakyat tidak akan dipilih. Mengikuti maunya rakyat dari mana mendapatkan uang untuk membayar pemilih, belum lagi biaya sosialisasi, biaya publikasi, biaya konsumsi, biaya saksi di TPS dan lain-lain.
Para calon pada umumnya memilih tiga opsi. Pertama, bagi petahana memanfaatkan kedudukan untuk mendapatkan uang bisa melalui komisi proyek pemerintah, pemberian izin untuk kegiatan usaha, promosi jabatan harus membayar dan lain sebagainya. Pada tataran inilah yang menyebabkan para calon kepala daerah dari petahana, Ketua KPK menyebut 80 persen diantara mereka korupsi.
Kedua, para calon kepala, calon Presiden, calon anggota parlemen di support oleh para pengusaha besar. Dengan imbalan kalau menang dalam pemilihan akan memberi berbagai proyek, fasilitas dan kemudahan dalam berusaha.
Praktik semacam ini pada akhirnya rakyat yang rugi karena mereka yang memenangkan pertarungan tidak memihak kepada rakyat yang memilih mereka, tetapi kepada yang memberi dana untuk bertarung dalam pemilihan.
Ketiga, membiayai sendiri kegiatan kampanye yang dilakukan. Calon semacam ini tidak banyak, pada umumnya dari latar belakang pengusaha. Mereka sudah kaya, kemudian terjun ke dunia politik.
Cara Menyetop
Tidak mudah menyetop demokrasi uang, karena rakyat kita masih sangat banyak yang miskin, kurang pendidikan dan kurang penghayatan agama.
Setidaknya ada tiga cara menyetop demokrasi uang, demokrasi sembako dan korupsi. Pertama, mengubah sistem demokrasi langsung kepada demokrasi perwakilan. Cara ini sesuai sila keempat dari Pancasila.
Kedua, memberi pendidikan kepada rakyat supaya tidak memilih seorang calon yang memberi uang karena pada akhirnya kalau terpilih akan korupsi dan tidak memihak kepada rakyat yang memilih karena rakyat sudah mendapatkan bagian sebelum pemilihan berupa uang atau sembako.
Ketiga, menghukum seberat-beratnya kepada pemberi suap dan penerima suap. Cara ini kita setuju, tetapi dalam praktik sulit diwujudkan karena suap bagaikan angin, kita merasa ada angin tapi sulit membuktikannya karena penyuap dan penerima suap tutup mulut, sulit menghadirkan saksi apalagi kalau semuanya menerima uang atau sembako dalam serangan fajar.
Menurut saya, demokrasi uang, demokrasi sembako dan demokrasi perut serta korupsi harus di stop dengan penegakan hukum yang tegas, berani dan tanpa pandang bulu. Pada masa mendatang sebaiknya demokrasi kita dikembalikan kepada demokrasi perwakilan.
Dengan melakukan hal-hal tersebut diharapkan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak di 171 tahun 2018 dan pemilu serentak tahun 2019, demokrasi uang, demokrasi sembako dan korupsi bisa diminimalisir. Betapapun beratnya pengamalan demokrasi ditengah masyarakat kita yang masih banyak miskin, kurang ilmu dan kurang penghayatan agama, sebagai bangsa kita harus tetap optimis dan yakin bisa.
Allahu a’lam bisshawab