Eni Maulani Saragih, Perempuan Parlemen yang Patut Diteladani dalam Perjuangan

Wakil Ketua Komisi VIII dan Banggar DPR RI Eni Maulani Saragih (foto pribadi)
Bagi kalangan aktivis perempuan bernama lengkap Eni Maulani Saragih tidak asing lagi. Sebab, ia malang melintan berkecimpung di sejumlah organisasi.
Eni Maulani bahkan pernah satu periode menjabat sebagai Bendahara Umum (Bendum) Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) Periode 2002-2005 di era kepemimpinan Idrus Marham yang saat ini menjabat Menteri Sosial.
Eni asli kelahiran Jakarta 13 Mei 1970. Ia istri dari Muhammad Al khadziq. Keduanya dikaruniai dua orang anak.
Eni kecil memasuki bangku sekolah dasar (SD) di usianya 7 tahun di SDN Joglo Jakarta Barat (1977-1983). Kemudian melanjutkan di SMPN 142 Jakarta Barat 1983 – 1986, SLTA SMAN 70 Bulungan 1986-1990. Sementara mengahabiskan waktu kulia S1 di IKIP JAKARTA 1990-1994 dan STIE Adhy Niaga/Manajemen 2004-2008 hingga S2 MM Universitas Trisakti 2011-2013.
Sejak muda, Eni sangat aktif di sejumlah organisasi kepemudaan hingga kemasyarakatan seperti di Depinas SOKSI. Pada 2010-2015, ia menjabat sebagai Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (DPP LPM).
Sebagai salah satu kader terbaik Golkar, saat pemilih legislatif (pileg) 2014, ia dicalonkan sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019. Sebagai legislator di parlemen, ia sudah banyak berkontribusi pada negara. Wanita asal Dapil Jawa Timur X yang meliputi Lamongan, dan Gresik itu diamankan oleh Partai Golkar mempimpin Komisi VII yang membidangi energi sumber daya mineral dan lingkungan hidup.
Bela Gas Negara untuk Rakyat
Soal kinerja, Eni yang dikenal vocal ini menagih janji Direktur Jenderal (Dirjen) Migas saat digelar rapat terkait revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 37 tahun 2015 di ruang rapat Komisi VII DPR RI.
Di mana sebelumnya, Dirjen Migas berjanji akan memberikan prioritas alokasi dan penyaluran gas alam kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Namun faktanya tidak demikian di lapangan.
“Sesuai dengan janji Dirjen Migas beberapa waktu yang lalu, terkait Permen Nomor 37 tahun 2015 yang menjanjikan telah menyelesaikan revisinya. Kok sampai saat ini belum direalisasikan,” tanya Eni Maulani ke Dirjen Migas, Wiratmaja Puja kala itu.
Eni mengaku, persoalan revisi Permen Nomor 37 tersebut mendesak dilakukan untuk segera diselesaikan. Pasalnya, Permen sangat merugikan pihak swasta sebagai pengusaha yang harus didukung.
“Setelah dicermati, sangat kelihatan jika Permen ini berpihak pada BUMN yang dalam hal ini PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Dari segi BUMN kita tidak permasalahkan PGN-nya, tapi seperti yang diketahui bahwa 40 persen saham PGN justru dimiliki oleh asing. Sementara badan usaha swasta sebagai perusahaan anak negeri tidak bisa bersaing,” terang Eni.
Ia mencontohkan, misalnya di Sumatera Utara harga gas di wilayah itu sangat mahal, tidak hanya paling mahal di Indonesia, tetapi menjadi paling mahal di dunia. Padahal disana tidak ada perusahaan gas swasta, yang ada adalah PGN.
Selain itu, pada saat Presiden Joko Widodo Selasa (18/10/2016) lalu meresmikan Program BBM Satu Harga di seluruh Indonesia agar berkeadilan di Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua.
Eni sangat mendukung hal itu. Karena hal itu untuk menunjukan unsur berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apalagi, pada kesempatan itu, Jokowi memerintahkan bawahannya bahwa harga premium dan solar di Jawa Rp 6.450/liter dan Rp 5.150/liter, sehingga warga Papua hingga di pelosok-pelosok juga harus bisa membeli dengan harga yang sama.
Harga BBM selama ini di daerah pegunungan Papua sangat mahal sekitar Rp 60.000-100.000/liter. Hal itu juga membuat pertumbuhan ekonomi Papua dan sekitarnya lambat bergerak menuju berkemajuan seperti yang diinginakan Presiden Jokowi sebagaimana termuat dalam Nawa Cita.
Baginya di Komisi VII DPR, kebijakan Jokowi itu sangat baik untuk mengangkat unsur keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apalagi Presiden Jokowi telah menetapkan 122 kabupaten sebagai daerah tertinggal 2015-2019. Dan mayoritas wilayah di Papua yang dilansir tertinggal dari daerah lainnya di Indonesia.
“Kami mengapresiasi kebijakan Presiden Jokowi yang telah mengeluarkan kebijakan yang luar biasa itu, dan kami sangat mendukungnnya,” kata Eni yang juga Banggar DPR RI ini pada Lintasparlemen di Gedung DPR RI, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (25/10/2016) lalu.
Yang menjadi pertanyaan politisi Partai Golkar ini adalah, apakah kebijakan itu bisa bertahan hingga 2-10 tahun ke depannya. Apalagi selama ini PT Pertamina kerap mendapatkan kerugian besar sebagai dalih untuk menaikan harga BBM beberapa tahun terakhir ini.
Karena itu, Eni meminta Pemerintah dalam hal ini Pertamina berusaha untuk terus menyamakan harga BBM di Papua dengan di Jawa. Jangan sampai kebijakan Presiden Jokowi itu dianulir lagi beberapa bulan ke depan sehingga ada kesan kebijakan pemerintah itu hanya sebatas pencitraan belaka.
“Makanya kita meminta pada Pemerintah atau Pertamina mencari strategi jitu agar benar-benar kebijakan ini terus berjalan, dan jangan dianulir lagi. Karena bisa saja dianulir karena alasan bisnis di Pertamina tidak mengalami pertumbuhan,” pungkas Eni.

Listrik untuk Rakyat
Eni meminta pemerintah dan PLN mengevaluasi penerapan kenaikan tarif listrik untuk golongan miskin 900 VA. Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan pendataan yang dilakukan PLN, masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi miskin dan rentan miskin golongan 900 VA adalah 4,1 juta.
Namun, lanjut Eni yang juga politisi Partai Golkar ini menjelaskan, dari 4,1 juta rakyat miskin golongan 900 VA yang berhak memperoleh subsidi disinyalir banyak yang tidak mendapat subsidi di lapangan.
“Seharusnya mereka tetap mendapatkan subsidi, tapi ternyata ada di antara mereka yang harus membayar kenaikan tarif normal,” kata Eni pada lintasparlemen.com, Jakarta, Ahad (4/6/2017) lalu.
Eni yang pernah menjabat Bendahara Umum DPP KNPI ini menilai, penerapan subsidi untuk golongan 900 VA di lapangan banyak permasalahan. Sebab, banyak masyarakat miskin yang tidak disubsidi pemerintah.
“Di dapil saya masyarakat kecil mengeluhkan kenaikan tarif listrik ini. Akibat kenaikan tersebut kehidupan masyarakat miskin semakin prihatin. Jadi saya minta pemerintah memperhatikan fakta ini,” ujar politisi asal Dapil Gresik dan Lamongan ini.
Ketua Umum Lembaga Pemberdayaan Masyarakat ini juga mengingatkan, seharusnya masyarakat miskin pengguna 900 VA disubsidi oleh PLN. Terlebih, negara telah mengalokasikan anggaran subsidi listrik untuk golongan lemah.
“Katanya dana subsidi untuk rakyat miskin akan tepat sasaran, tapi buktinya mana? Kok masyarakat yang miskin di dapil saya banyak yang harus membayar tarif normal,” tegasnya.
Eni berharap, PLN mengevaluasi penerapan subsidi listrik bagi golongan miskin 900 VA. perlu ada verifikasi data pengguna di lapangan dengan akurat.
“PLN harus lakukan evaluasi, sehingga sinkron data riil yang ada di lapangan. Buat apa ada anggaran subsidi dari negara, kalau PLN tetap memberlakukan tarif normal kepada rakyat kecil,” katanya.
Eni mengingatkan, data yang tidak akurat PLN bisa memicu gejolak di masyarakat. Tidak hanya itu angka kemiskinan bisa bertambah.
“Saya harap pemerintahan Jokowi memperhatikan betul masalah subsidi listrik ini. Jangan sampai dana subsidi yang dikeluarkan pemerintah dipergunakan tidak tepat sasaran. Bagi masyarakat kecil kenaikan tarif listrik 100 ribu per bulan sangat memberatkan,” papar Eni.
Eni yang Peduli
Wakil Ketua Umum Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) Eni Maulani Saragih ikut mencermati dugaan keterlibatan seorang perempuan warga negara Indonesia (WNI) yang bernama Siti Aisyah, pada skandal pembunuhan warga Korea Utara, di Malaysia, Kim Jong-Nam, beberapa waktu lalu.
Menurut Eni, terbunuhnya Kim Jong-Nam, menyita perhatian dari seluruh dunia. Maka bersama ini Dewan Pengurus Pusat Kesatuan Perempuan Partai Golkar (DPP-KPPG) cukup prihatin dengan peristiwa tersebut.
“Bahwa sangat disayangkan dan sangat disesalkan jika benar terbukti ada seorang perempuan WNI terlibat dalam aksi penghilangan nyawa seseorang, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebab hal tersebut jelas-jelas bukan saja merupakan pelanggaran hukum melainkan juga merupakan bentuk perlawanan terhadap hak untuk hidup yang merupakan hak dasar azasi manusia,” jelas Eni seperti keterangan tertulisnya, Jakarta, Ahad (26/2/2017).
Pihaknya menyampaikan, dugaan keterlibatan Siti Aisyah pada kasus tersebut merupakan pukulan berat bagi kaum perempuan Indonesia. Apalagi ketika kasus tersebut kemudian menyita perhatian dari seluruh dunia dan menjadi tajuk utama media massa internasional.
“Tetapi kami juga menyadari bahwa kondisi yang tidak kalah peliknya kini sedang dihadapi oleh Siti Aisyah, dan keluarganya, dan KPPG sebagai bagian dari elemen gerakan perempuan di Indonesia dapat merasakan betul betapa kepedihan dan keruwetan yang sedang dihadapi oleh Siti Aisyah, dan keluarganya, dalam menghadapi persoalan tersebut,” paparnya.
Oleh karena itu, DPP KPPG berencana memberikan pendampingan kepada Siti Aisyah, dan keluarganya, dalam menghadapi persoalan ini. Pendampingan secara hukum dan pendampingan secara psikologis kepada yang bersangkutan di Malaysia maupun pendampingan kepada keluarganya dalam mengurus dan menghadapi persoalan ini.
Eni berjanji waktu dekat ini DPP-KPPG akan mengirimkan tim untuk berangkat ke Malaysia untuk memberikan pendampingan kepada Siti Aisyah dan keluarganya. Tentu hal ini akan dilakukan dengan menjalin koordinasi semaksimal mungkin dengan Kementerian Luar Negeri RI, Kedubes RI di Malaysia, pihak keluarga, dan juga pihak berwenang di Malaysia.
“Langkah pendampingan ini dilakukan atas praduga tak bersalah, karena bukan tidak mungkin Siti Aisyah justru hanyalah seorang korban. Bukan tidak mungkin keterlibatan ini dikarenakan yang bersangkutan telah dimanfaatkan oleh pihak lain, atau bukan tidak mungkin ia merupakan korban dari lingkaran setan human traficking,” ujarnya.
DPP KPPG meminta kepada pemerintah untuk terus memberikan pendampingan dan perlindungan kepada Siti Aisyah dan keluarganya. Karena sudah diamanatkan oleh UUD 1945 bahwa salah satu tugas negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia di manapun ia berada.
“Kami juga meminta pemerintah dengan kasus ini hendaknya ke depan perlu lebih serius memperhatikan masalah human trafficking dan pengawasan terhadap WNI di luar negeri, serta merumuskan kebijakan mengenai hal ini secara lebih komprehensif dengan melibatkan berbagai kalangan,” terangnya.
Atas kejadian itu, ia meminta kepada seluruh perempuan anggota KPPG, dan seluruh kaum perempuan Indonesia untuk memberikan doa kepada Siti Aisyah dan keluarganya, agar diberi kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi persoalan rumit ini.

Aparatur Itu Efektif
Eni yang dikenal wanita berpikir efektif dan efisien, ia mengusulkan agar posisi wakil direktur utama (Wadirut) PT Pertamina dihapus saja.
Alasannya, bahwa orang kedua di perusahaan milik negara itu berpotensi menimbulkan tumpang tindih mekanisme kerja dan pola kepemimpinan di dalam perusahaan.
“Ketika kita lihat kewenangan dari Wadirut itu sangat terlalu besar sekali. Dari situ, kita sangat khawatir dengan kondisi itu bisa mengganggu di kemudian hari, khususnya pada proses kerja organisasi di Pertamina selama ini. Ini bahkan bisa menciptakan dua poros kepemimpinan di internal Pertamina, antara Pak Dirut dengan Waadirut,” kata Eni saat dihubungi, Jakarta, Rabu (22/3/2017) lalu.
Eni yang juga politisi Partai Golkar ini mengungkapkan, aturan di perusahaan pelat merah itu memberikan ruang kepada Wadirut dengan leluasa mengambil keputusan sejajar dengan wewenang Dirut Pertamina.
“Kewenangan itu telah diatur di AD/ART Pertamina Pasal ll ayat 19, yaitu “Jika direktur utama berhalangan hadir, maka wakil direktur utama bisa menggantikan tugas-tugasnya dan kewenangan dengan mengatasnamakan direksi,” terang Mantan Bendum DPP KNPI ini.
“Wadirut memiliki kewenangan kuat seperti itu, kalau dilihat ke depannya bisa mengganggu kinerja Dirut Pertamina. Ini bisa menjadi masalah ke depannya, khususnya jika keduanya tidak saling memberi kepercayaan satu dengan lainnya,” bebernya.
Eni memberi contoh saat Dirut Pertamina sebelumnya yang dipegang oleh Dwi Soetjipto dan Wadirut Pertamina Ahmad Bambang sering terjadi ketidakharmonisan dalam dalam proses pengambilan keputusan.
Bagaimana sebaiknya Pertamina ke depan? Eni menilai, sebaiknya Dirut Penamina hanya cukup didampingi oleh direksi selama menjalankan roda organisasi perusahaan tersebut.
Untuk itu, Ketua Umum DPP Lembaga Pemberdayaan Masyarakat ini sangat optimistis Direktur Utama Pertamma yang baru Elia Massa Manik bisa membawa Pertamina lebih baik lagi dan kapabel menjalankan roda perusahaan tanpa adanya Wadirut seperti selama ini.
“Jika dilihat dari pengalaman yang ada, Pak Elia saya yakin bisa mewujudkan Pertamina lebih baik lagi, dan lebih kompak dalam satu komando dalam mengelola manajemen organisasi perusahaan,” ujar politisi perempuan asal Dapil Jawa Timur X ini.
Di akhir perbincangannya mengatakan, Pertamina saat ini menghadapi tantangan lebih besar di era globalisasi saat ini. Sehingga Pertamina membutuh pemimpin kuat.
”Pertamina itu perlu orang-orang smart dan wonderfull dalam mengelola potensi perusahaan tersebut. Sehingga Dirut bisa dibantu oleh direktur-direktur dalam menyelesaikan masalah teknis, karena direktur yang ada sudah berpengalaman,” pungkasnya.
Sangat Peduli Freeport
Eni juga sebagai anggota Komisi VII DPR RI, ia ikut mencermati Keputusan pemerintah. Kepeduliannya ditampilkan sejumlah masukan melalui masukan-masukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Dalam perjuangannya, ia tak sepakat memperpanjang izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia menuai kritik dari berbagai pihak.
Eni menilai, sikap pemerintah itu sangat mengagetkan banyak pihak. Pasalnya kewajiban PT Freeport selama ini belum direalisasikan di dari janji yang ada, termasuk kewajiban pembangunan smelter, tetapi pemerintah kemudian justru memberikan kemudahan izin ekspor tetap eksis di Indonesia.
“Jadi begini, membangun smelter itu kan amanah undang-undang nomor 4 tahun 2009, jadi itu sudah menjadi kewajibannya dan mestinya dilarang melakukan ekspor ke luar,” papar Eni, Rabu (9/2/2018) seperti dikutip dari aktual.co.
Eni menuturkan, terkait dua syarat yang diberikan pemerintah sebelum mendapatkan surat rekomendasi perpanjangan ekspor kepada Freeport yaitu uang jaminan sebesar USD530 juta dan bea tambahan keluar sebesar 5 persen memang tidak diatur dalam kesepakatan kontrak karya dengan PT Freeport.
Tetapi kebijakan itu dikeluarkan karena selama ini PT Freeport tidak menunjukkan komitmen yang baik untuk menyelesaikan pembangunan Smelter di Gresik, Jawa Timur. Padahal pembangunan smelter itu adalah kewajibannya sesuai amanah undang-undang.
“Nah sekarang justru pemerintah melalui Kementerian ESDM memberikan kelonggaran, dengan tetap mengeluarkan surat rekomendasi izin perpanjangan ekspor meski Freeport tak beri uang jaminan USD530 juta, hanya membebankan 5 persen bea keluar. Lalu kenapa syarat itu dibuat jika hanya untuk dilanggar,” bebernya.
Eni me yampaikan, PT Freeport tidak mempunyai itikad dan komitmen yang baik untuk menyelesaikan pembangunan smelter. Apalagi, menurutnya sampai saat ini realisasi pembangunan smelter tersebut belum nampak secara fisik di lapangan.
“Gresik itu Daerah Pemilihan (Dapil) saya, jadi tahu kalau di sana itu belum ada tanda-tanda pembangunan smelter. Jangankan secara fisik, persoalan tanah yang disebut-sebut oleh Freeport sebagai lokasi pembangunan smelter juga belum tuntas sepenuhnya . Jadi saya ragu Freeport mau mewujudkan pembangunan smelter beberapa tahun ini,” paparnya.
Selain itu, Eni menyebut, kalau smelter tidak dibangun oleh PT Freeport, lalu uang jaminan juga tidak diserahkan, lalu kenapa surat izinnya mesti dikeluarkan.
“Ini ada apa dengan pemerintah kita. Freeport seakan-akan diistimewakan, banyak perusahaan lain justru diperlakukan berbeda dengan PT Freeport,” sebutnya.
Eni sempat meluapkan kemaraannya pada PT Freeport Indonesia, karena ia merasa PT Freeport Indonesia telah ‘menipu’ pemerintah Indonesia terkait pembangunan alat pemurnian konsentrat (Smelter) yang berada di Gresik, Jawa Timur.
Kewajiban yang harusnya telah ditunaikan oleh Freeport sejak tahun 2014 dengan dasar Undang-Undang No 4 tahun 2009 ternyata secara sengaja tidak dilakukan oleh Freeport, dan menjadi pemicu pecahnya amarah DPR adalah ternyata lahan untuk pembangunan smelter tersebut diputus kontrak atau tidak diperpanjang oleh Freeport.
Dengan demikian secara otomatis proses pembangunan smelter menjadi terhenti, padahal di sisi lain rekomendasi izin ekspor konsentrat terus dikeluarkan oleh pemerintah.
Kendatipun rekomendasi dan ekspor konsentrat tersebut melanggar UU, namun selama ini pemerintah percaya bahwa Freeport akan komitmen untuk membangun smelter. Dengan dasar itu juga rekomendasi izin ekspor dikeluarkan oleh Kementerian ESDM hingga 5 kali sejak tahun 2014.
“Waktu kemarin saya reses, saya ketemu dengan salah satu Direksi Petro Kimia. Kita kan tahu semua bahwa Freport punya kerja sama dengan Petro Kimia. Ketika rapat di Komisi VII DPR, Freeport selalu mengatakan akan memakai lahan Petro Kimia untuk membagun smelter, dan pada kenyataannya waktu saya reses itu saya tanya kepada Direksi Petro Kimia, ternyata MOU itu tidak diperbarui atau tidak diperpanjang. Jadi tidak mungkin smelter dikerjakan seperti yang dijanjikan Freeport dengan lahan yang habis kontrak,” jelas Eni dalam Rapat Kerja dengan Kementerian ESDM di Senayan Jakarta, Kamis (1/9/2017) lalu.
Riwayat Pendidikan
SDN JOGLO 03 Jakarta Barat 1977 – 1983
SMPN 142 Jakarta Barat 1983 – 1986
SLTA SMAN 70 Bulungan 1986-1990
IKIP JAKARTA. Tahun: 1990 – 1994
S1 SE STIE Adhy Niaga/Manajemen 2004-2008
S2 MM Universitas Trisakti 2011-2013
Karir Politik
2009-2014 Anggota Deptartemen Kesra DPP Partai Golkar
2002-2005 Bendahara Umum DPP KNPI
2010-2015 Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
2005-2010 Departemen Pengabdian Masyarakat Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) SOKSI
Riwayat Pekerjaan
Pt Raya Energy Indonesia, Sebagai: KOMISARIS 2011 – 2014
Pt Nugas Trans Energy, Sebagai: KOMISARIS 2011 – 2014
Riwayat Organisasi
Wakil Ketua Umum MKGR 2015 – 2019
Bendahara Umum LPM 2010
Ketua DPP KETUA 2008
Wakil Bendahara Pengajian Al Hidayah 2004 – 2009