HIJRAH 1447 H: Meretas Jalan Menuju Umat yang Tahan Uji

 HIJRAH 1447 H: Meretas Jalan Menuju Umat yang Tahan Uji

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin Makassar

Ketika Fajar Membelah Gelap Tatkala cakrawala mencairkan malam dan embun suci Muharram menyentuh bumi, umat ini kembali disapa oleh gema sejarah. Bukan sekadar narasi, tapi nubuat agung yang melintasi lintasan zaman.

Hijrah Nabi Muhammad SAW. bukan pelarian dari luka, ia adalah mahakarya perubahan. Ia membelah sejarah menjadi sebelum dan sesudah, membangun dari reruntuhan ke agungnya peradaban.

Madinah menjadi rahim lahirnya masyarakat tauhid, tempat di mana ukhuwah bukan sekadar wacana, dan keadilan bukan sekadar retorika.

Hijrah sebagai Metafora Kehidupan

Hijrah adalah jalan sunyi yang ditempuh jiwa-jiwa berani.
Ia bukan sekadar berpindah dari satu kota ke kota lain, tetapi berpaling dari kebiasaan lama menuju cahaya.

Ia adalah gerak diam yang mengguncang jagat, dan suara hening yang menumbuhkan peradaban.

Kini, 1447 tahun kemudian, umat ini kembali diuji bukan oleh pedang, tapi oleh ilusi.
Oleh derasnya arus globalisasi yang meminggirkan nilai; oleh gemerlap dunia maya yang melemahkan makna.

Namun, sebagaimana Nabi SAW. menaklukkan lembah tandus dengan iman yang tak lekang, maka kita pun dituntut untuk meretas jalan, menuju umat yang tahan uji.

Hijrah Kesadaran: Membangunkan Umat dari Tidur Panjang

Hijrah pertama adalah hijrah dari kealpaan.
Bangun, wahai umat! Tidakkah kau dengar rintih sejarah yang menyeru?
Masa lalu adalah telaga pelajaran, bukan ranjang kemalasan.
Andalusia tak akan hidup kembali dengan nostalgia semata, ia butuh tangan yang kembali menulis, mulut yang kembali menyampaikan, dan hati yang kembali berniat.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Hijrah Literasi: Pena Lebih Tajam dari Pedang

Hijrah kedua adalah hijrah ilmu.
Kita pernah menjadi lentera dunia karena tinta. Maka jangan biarkan jari jemarimu hanya menggulirkan layar tanpa makna.

Bangun peradaban huruf, bukan hanya hiburan semu.
Jadilah generasi yang tidak hanya ‘melek digital’, tapi juga paham alur logika dan hikmah.
Sebab musuh peradaban bukan hanya kebodohan, tapi malas berpikir dalam derasnya informasi.

Hijrah Kepemimpinan: Menumbuhkan Jiwa Penanggung Amanah

Kepemimpinan hari ini sering lahir dari sorak massa, bukan dari perenungan nilai.
Padahal, hijrah mengajarkan kita:
Bahwa seorang pemimpin harus menjadi mata air, bukan bendungan;
Menjadi jalan, bukan sekadar penunjuk arah;
Menjadi pelita, meski dirinya terbakar.

Hijrah Ekonomi: Membebaskan dari Perbudakan Modern

Ketergantungan ekonomi adalah rantai yang tak terlihat tapi membelenggu.
Umat Islam harus hijrah dari pola konsumsi menjadi produsen,
dari bergantung pada pasar menjadi penentu pasar.

Bukan untuk tamak, tapi untuk berdaya.
Agar zakat bisa mengalir dari tangan yang memberi, bukan yang meminta.

“Dan pada harta mereka terdapat hak bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat: 19)

Hijrah Sosial: Menyulam Empati dalam Robeknya Ukhuwah

Di tengah dunia yang semakin bising, kata-kata sering menyakiti lebih dalam dari senjata.

Hijrah sosial adalah kembali pada kelembutan Islam,
yang memeluk meski berbeda, yang menyapa meski terpecah, yang mendoakan meski dicaci.

Marilah kita kembali bersalaman dengan kemanusiaan.

Sehingga dengan demikian maka hujrah sejatinya adalah Janji, Bukan Hanya Kenangan Hijrah adalah jalan panjang menuju Allah yang tak selesai dengan satu langkah. Ia dimulai dari langkah kecil, tapi bernilai kekal.

Tahun baru ini bukan hanya putaran waktu, tapi panggilan jiwa, untuk hijrah dari diri yang lama menjadi insan yang lebih mulia.

Selamat Tahun Baru 1447 Hijriah
Mari kita langkahkan kaki, bukan sekadar ke depan, tapi ke dalam menuju hati yang lebih suci dan tekad yang lebih menyala. Karena hijrah adalah lentera yang tak pernah padam, selama umat ini masih berani melangkah.# Wallahu A’lam Bisshawab

Facebook Comments Box