Ichsan Firdaus: Saya Miris Melihat Kondisi Tata Kelola Perikanan Indonesia
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Golkar Ichsan Firdaus
JAKARTA, Lintasparlemen.Com – Anggota komisi IV DPR RI Ichsan Firdaus mengaku miris melihat kondisi tata kelola sumber perikanan Indonesia. Karena sebanyak 5.329 kapal ukuran di atas 30 gross ton (GT) dan 4.000 kapal milik perusahaan Indonesia sementara 1.300 adalah kapal eks asing yang dialihkan kepemilikannya ke swasta nasional.
Menurut Ichsan, ada 70% dari itu tidak memiliki NPWP dan 40 persen perusahaannya tidak terdaftar. Mereka melakukan pelanggaran seperti penyelundupan Bahan Bakar Minyak (BBM), narkoba dan semacamnya.
“Persoalan atas Kemunculan PermenKP No.56/2014 ini tidak ada kajian akademik sebelumnya, uji publik dan tidak melibatkan pelaku usaha perikanan dan nelayan. Ini terkesan mendadak dan tidak mempunyai perencanaan yang matang khususnya terkait dampaknya,” ujar Ichsan di acara Seminar Nasional yang diselenggarakan KMI, “Ilegal Fishing dan Kedaulatan Laut Indonesia Menuju Poros Maritim Indonesia di Hotel Centrury Park selasa (22/3/2017) kemarin.
“Setelah izin diberhentikannya kapal penangkap ikan dan kapal angkut keluar untuk melakukan aktivitas melautnya. Padahal, masih ada kapal yang izinnya masih hidup izinnya dan menunggu gilirannya untuk diperiksa pemberlakuan secara general,” lanjut Ichsan.
Politisi Golkar ini menambahkan, untuk menegakan hukum kedaulatan laut sebagai upaya ocean grabbing atau perampasan ruang laut dan SDI sebagai peningkatkan kapasitas produksi dalam jangka panjang produksi di 12 Pelabuhan basis kapal asing menurun 482 rb ton pada tahun 2014 dan 289 ribu ton pada tahun 2015.
Namun, ujar Ichsan, produksi di 10 pelabuhan basis kapal lokal meningkat 83.000 ton di tahun 2014. Sementara 146.000 ton pada tahun 2015. Itu mengurangi kerugian ekonomi akibat praktek illegal fishing yang diperkirakan mencapai Rp 300 triliun per tahun.
Menurut Ichsan, sesuai data BPS yang diolah oleh Ditjen PDSPKP 2016 bahwa ekpor ikan terus menurun dikarenakan total eskpor turun 15 % dari 4,64 miliar dolar pada 2014 menjadi 3,94 miliar dolar AS.
Di tahun 2015 terus menurun hingga Juni 2016 yang baru mencapai 1, 9 juta dolar AS. Dan akhir tahun 2016, ekspor perikanan mengalami kenaikan sebesar 4,96%.
“Di Bitung kebutuhan per hari bahan baku ikan mencapai 100 ton, tetapi saat ini hanya bisa dipenuhi sekitar 20 ton. Produksi Januari-Februari 2016 hanya 7% dari kapasitas terpasang. Jumlah tangkapan ikan sepanjang 2015 anjlok 59,38%. Jumlah pendaratan ikan pada 2014 mencapai 111.315,53 ton, sedangkan pada tahun 2015 hanya 45.208,52 ton. Karena 1.430 buah kapal yang ada di Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung tidak melaut,” paparnya.
Sedangkan di Ambon produksi hanya 30% dari kapasitas. Di Tual produksi berhenti sama sekali. Sehingga Total kapasitas produksi industri pengolahan ikan dalam negeri mencapai 360.000 ton.
Sementara produksi pada tahun 2015 hanya mencapai 145.000 ton per tahun. Utilitas industri pengolahan ikan hanya tersisa 40 persen.
Ia menjelaskan, dengan ertambahnya pengangguran akibat ditutupnya industri pengolahan perikanan di Sulawesi Utara, ada 3.200 anak buah kapal (ABK) dirumahkan dan sebanyak 10.800 karyawan menganggur akibat matinya industri pengolahan ikan. Sehingga angkat pengangguran terbuka di Provinsi Sulawesi Utara meningkat hampir mencapai 2 persen.
Di daerah Maluku terdapat 10.800 orang atau 84 persen yang dirumahkan (PHK) dari total 12.848 orang yang terdata sebagai pekerja di industri pengolahan ikan pada 2014.
“Begitu juga pada tingkat pengangguran terbuka Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara, meningkat 2%, sedangkan tingkat kemiskinan di kedua Kabupaten naik 1 persen,” pungkasnya. (JODIRA)