Kita Sedang di Ambang Badai Revolusi Akibat Sistem Demokrasi Berbayar

Menjelaskan hari-hari belakangan yang makin panas, berbahaya serta tak terduga, sebenarnya simpel saja. Ini hanyalah kausalitas yang sederhana. Sialnya, Prabowo dititipi oleh rezim Jokowi ranjau-ranjau yang setiap saat bisa meledak.
Jokowi memang berhasil membuat situasi saat ini subur dengan antagonisme ekstrem antara pemerintah dengan rakyat, dan menebalkan sekaligus melebarkan jurang antara kelas penduduk yang memiliki akses pada sumber ekonomi dan kekuasaan dengan kelas pendusuk yang miskin akses hingga menjadi semi budak bagi mereka yang kaya dan berkuasa. Warisan ekonomi politik yang diciptakan oleh rezim Jokowi selama berkuasa 10 tahun tersebut, hanya ditunda untuk meledak dengan suntikan-suntikan bansos bertarget. Namun setelah Prabowo mewarisi peninggalan Jokowi tersebut, Prabowo menempuh cara baru dalam pemerintahannya, yaitu efesiensi rasional guna menghindari bangkrut karena utang.
Ternyata, perintah efesiensi ini yang dikeluarkannya pada awal Januari 2025, justru memicu malapetaka bagi pemerintahannya. Pertama, elit-elit yang korup dari pusat hingga daerah yang muncul dari sistem elektoral berbayar dan transaksional, tidak siap dengan anggaran minim dan cekak untuk mengelola wilayah kekuasaannya sendiri. Lagi pula mereka terbiasa hidup enak dan mewah dengan beragam fasilitas, tapi hanya bergantung dengan sumber dana negara, misalnya Angaran Kementerian dan Lembaga dan Transfer Daerah dari Pusat untuk pemda, ketika mendadak kebiasaan itu dicabut oleh Prabowo, pemda misalnya hanya memilih solusi menaikkan PBB, pajak-pajak dan retribusi. Reaksi dibalas reaksi. Rakyat Pati pun bereaksi dengan menekan pemdanya hingga menjalar ke seluruh daerah karena problem yang sama. Rakyat memandang mereka sedang dicekik tanpa rasa malu dan belas kasihan oleh penguasanya.
Pada saat yang sama, sudah lama dipertontonkan tanpa rasa bersalah, kemewahan dan kenikmatan hidup para pejabat di tengah rakyat yang makin sengsara akibat sukitnya ekonomi dalam persaingan merebut akses yang semakin ketat dan kejam. Banyak yang terkapar dan menyerah dalam hidup, dan banyak yang mati lelah kehabisan tenaga dalam mencari nafkah. Hidup dalam penyiksaan sistem oleh manusia terhadap manusia.
Namun selama ini, bagi rezim yang dilahirkan dari demokrasi berbayar, prabayar pula, justru keadaan rakyat tersebut dimanfaatkan bagi kepentingan elektoral dan tambang suara mereka. Rakyat tidak ada pilihan ketika tiba masa pemilu, demi mempertahankan hidup dari tekanan biaya, tentu dengan tanpa ragu memilih mereka yang banyak memberi uang politik bagi rakyat. Setidaknya relaksasi dari himpitan hidup yang diciptakan elit-elit politik sendiri.
Sekarang timbul persoalan, tatkala anggaran negara dibiayai oleh utang-utang tersebut dikoreksi oleh Prabowo, maka laksana efek domino, berimbas hingga ke rakyat yang mengais tetesan rezeki dari struktur piramid yang dibangun selama ini oleh rezim sebelumnya.
Sementara jika tidak dikoreksi dan dihemat alokasi anggaran negara oleh Prabowo, bisa-bisa memuncak menjadi kebangkrutan negara, di tengah kebutuhan anggaran sektor lain, seperti pertahanan, keamanan, kesehatan dan pendidikan. Biaya yang paling menyedot dana ialah anggaran pegawai dengan macam-macam kebutuhannya, dari gaji, gaji tambahan (gaji ke – 13), THR, tunjangan, fasilitas, perjalanan dinas, ATK, mobil dinas, dsb. Sebagian telah dipangkas. Selain itu, utang yang secara periodik senantiasa membebani ruang gerak anggaran negara. Utang ini, seolah ada mafia yang menjaga dan memastikan agar tetap dan selalu menjadi elemen mutlak dari struktur APBN dari rezim ke rezim. Macam-macam teori dan alasan yang dibuat untuk melanggengkan dan melogiskan unsur utang sebagai pengeluaran negara.
Tapi sebenarnya yang menjebak situasi menjadi ke dalam kemelut yang berbahaya ini ialah sistem demokrasi berbayar itu sendiri. Analoginya seperti betikut:
Untuk meraih sebagai anggota legislatif, presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota, bupati dan wakil bupati, hingga kepala desa, seseorang mutlak mengeluarkan ongkos, dari yang legal prosedural hingga ilegal dan konspiratif. Bahkan amplop harus disebarkan ke rakyat pemilik suara melalui tim sukses. Tradisi korup ini sudah berlangsung lama dan berkembang massif.
Merasa suara dukungan sebenarnya diperoleh dengan transaksi dan dibeli, maka si politisi tidak merasa ada tanggung jawab moral dan amanat yang melekat pada kedudukannya. Wong dibeli, kok. Sementara itu, rakyat juga merasa tidak memiliki dorongan moral untuk bertindak mengoreksi manakala yang mereka pilih itu menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya dan memperkaya dirinya. Akibatnya, mereka yang terpilih itu merasa leluasa untuk korupsi dan memperkaya diri secara singkat lewat perdagangan akses, wewenang dan pengaruh. Hingga puncaknya, mereka lupa daratan dan melebarlah jarak antara mereka dengan rakyat pemilih yang tetap miskin, sementara mereka mendadak makin kaya dan kuat. Konsentrasi kesejahteraan menumpuk pada elit-elit yang menguasai politik dan ekonomi. Mereka makin tak terkendali, karena rakyat pemilih juga pada kenyataannya dapat dibeli oleh mereka.
Masalahnya, rakyat pemilih tidak tiap waktu dapat menikmati tetesan sisa-sisa rezeki orang-orang berkuasa dan kaya ini. Bansos yang tidak jelas periodik pengucurannya juga tidak cukup menopang biaya hidup rakyat yang makin sempit, akibat kompetisi hidup sesama rakyat sendiri terhadap akses ekonomi, ditambah harga-harga kebutuhan pokok seperti BBM, token listrik, pulsa, beras, minyak goreng, lauk pauk, hingga jajan sekolah anak. Bayangkan jika Anda menyandarkan hidup dengan pekerjaan ojek online, rumah kontrakan dengan token listrik bayar sendiri, anak 4 istri satu, anak ada yang SMA hingga TK, istri hanya ibu rumah tangga, kalau Anda tidak pusing membayangkan bagaimana bertahan hidup dengan situasi semacam itu, berarti mungkin Anda bukan manusia. Jadi wajar jika Ojol memberontak dan akan terus tampaknya memberontak jika struktur ekonomi dan lapangan pekerjaan baru yang terbuka bagi kompetensi Ojol tidak cepat-cepat dihamparkan oleh pemerintah.
Walhasil, situasi ini akibat langsung dari sistem demokrasi dan pemilihan berbayar yang menghasilkan pemimpin-pemimpin dan wakil rakyat yang tidak akuntabel dan kredibel. Oleh karena itu, sistem demokrasi berbayar yang menimbulkan korupsi dan manipulasi sejak pra pemilihan hingga penghitungan suara, harus dihentikan dan diganti dengan sistem yang akuntabel. Jika tidak, pemberontakan akibat kesenjangan ekonomi yang makin parah yang ditimbulkan dan dilegitimasi oleh pemilu selama ini, akan meledak lebih berbahaya lagi.
Oleh, Bhre Wira, Pengamat Aksi Massa