Ledakan Protes Massa Akhir Agustus 2025 dan Kemelut Intelijen

Memang sangat mengejutkan, mengapa eskalasi kerusuhan yang menunggangi aksi massa itu terjadi demikian cepat dan massif tanpa bisa diantisipasi oleh institusi intelijen dengan memadai, terutama oleh polisi. Terbukti jatuhnya banyak korban dan skala kerugian yang diakibatkannya berupa pembakaran fasilitas-fasilitas umum seperti halte, kantor-kantor milik negara, seperti kantor polisi, DPRD, kendaraan dan lain-lain.
Pertanyaannya: apakah informasi potensi chaos yang masuk pada polisi di luar estimasi, atau ada unsur dadakan dan tenaga massa di luar kemampuan dan perhitungan polisi untuk menghadapinya, atau justru ada pembiaraan.
Hari-hari pasca kerusuhan by design yang terjadi akhir bulan yang lalu itu, kini terus menggelinding dan masih belum jelas target dan muaranya kemana. Silang pendapat dan mungkin potensi curiga satu sama lain antar institusi dan elit politik, kenyataannya tak bisa terelakkan. Siapa yang menguasai dan mengeksploitasi jalannya alur penanganan pasca peristiwa yang nyaris meruntuhkan kewibawaan presiden tersebut, itulah yang sepatutnya diawasi dan diwaspadai.
Sejauh ini, Presiden bukanlah sasaran dari aksi tersebut. Tetapi implikasinya berupa gerogotan terhadap kewibawaan dan reputasi Presiden, tak bisa disangkal telah terjadi. Yang patut dipersalahkan yaitu pihak yang menyusup ke dalam massa secara tidak bertanggungjawab dan bertindak membelokkan dan menjerumuskan aksi massa menjadi kerusuhan dengan target yang aneh: pembakaran markas-markas polisi, kantor DPRD dan fasilitas umum. Yang paling tidak habis pikir ialah, mengapa demikian berani menargetkan markas polisi? Tidak mungkin massa buruh, ojol dan mahasiswa dapat seberani itu. Dari sinilah harusnya dapat menjadi landasan teori untuk mengejar siapa sebenarnya unsur penyusup dan penghasut tersebut. Kemudian, mengapa targetnya spesifik kantor milik negara, dan bukan gedung-gedung swasta yang mudah dijangkau. Kalau mau bikin kerusuhan dan kepanikan, tentu sasarannya tidak sespesifik itu? Seperti ada pesan dan target khusus.
Dengan karakteristik sejelas itu, tentunya pihak yang berwajib tidak boleh salah sasaran untuk mengejar pelaku utamanya. Dengan karakteristik peristiwa seterang itu, yang digaruk harusnya bukan para mahasiswa, kritikus, aktivis atau pihak yang ikut-ikutan, tapi pelaku yang sepertinya dipandu oleh suatu komando terarah. Itulah yang harus dikejar oleh pemerintah guna mengungkap motif dan dalangnya.
Dengan terlanjur terjadinya peristiwa yang hampir saja menjerumuskan pemerintah kepada kepanikan dan tindakan berisiko panjang, yaitu darurat militer, timbul pertanyaan: mengapa intelijen “gagal” mengantisipasinya? Seberapa kuat pihak yang bermain manipulasi dan eksploitasi terhadap emosi rakyat yang telah tersulut sebelumnya oleh perilaku tidak menyejukkan dari para pejabat, mulai dari kasus bupati Pati, joget DPR, dan sebelum-sebelumnya juga dari berbagai pihak.
Saya kira, keadaan sekarang telah berada dalam kontrol dan pengawasan seksama Presiden dan konsesi-konsesi atas tuntutan aksi yang dipandang rasional akan dipenuhi secara terukur oleh Presiden.
Massa aksi tentu akan tidak secepatnya dan sepenuhnya puas. Tapi sebagaimana Presiden, massa aksi, khususnya mahasiswa harus juga waspada terhadap gelagat eksploitator yang tidak akan menunjukkan diri untuk memperpanjang durasi kemelut. Gelagatnya sudah tampak, dengan adanya demo di luar negeri untuk memperluas lanskap aktor peristiwa. Yang di luar negeri, tidak punya alasan yang masuk akal, tiba-tiba ikut-ikutan. Seolah mereka mencoba menginternasionalisasikan peristiwa. Hal ini harus ditangani oleh pemerintah dengan secerdas-cerdasnya. Sebab, hal ini mengindikasikan banyaknya layer/lapisan aktor yang bermain secara simultan. Tentu subtansi protes adalah tidak perlu ditolak, selama sesuai dengan kenyataan.
Oleh: Bhre Wira, Pengamat Gerakan Massa