LPSK dan Komisi XIII DPR RI Perkuat Hak Korban dan Saksi: Banyumas Jadi Titik Strategis

BANYUMAS ~ Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersama Komisi XIII DPR RI melaksanakan kegiatan sosialisasi bertajuk Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Kegiatan ini merupakan bagian dari ikhtiar nasional dalam menjamin hak konstitusional setiap warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum yang adil, manusiawi, dan berkeadilan.
Kegiatan dibuka oleh Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, kemudian diisi dengan diskusi publik yang menghadirkan narasumber Wakil Ketua LPSK, Sri Suparyati dan Anggota Komisi XIII DPR RI, Yanuar Arif Wibowo. Mereka membedah tantangan dan solusi strategis dalam penguatan sistem perlindungan bagi saksi dan korban, khususnya di tingkat lokal.
LPSK secara aktif membuka ruang dialog dengan masyarakat Banyumas sebagai upaya menjaring masukan dan aspirasi. Hadir dalam diskusi para advokat, akademisi, organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, hingga komunitas pemuda. Forum ini dirancang untuk menjadi jembatan antara negara dan rakyat dalam membangun kesadaran hukum dan pemberdayaan korban.
Diskusi berjalan interaktif, menghasilkan berbagai gagasan konkret yang akan dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan kebijakan. Sosialisasi ini juga menjadi momentum penting mempererat sinergi antara LPSK, Komisi XIII DPR RI, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, serta pemangku kepentingan lainnya dalam menjamin perlindungan menyeluruh bagi korban dan saksi tindak pidana.
Sepanjang Januari hingga September 2025, LPSK menerima 10 permohonan perlindungan dari Kabupaten Banyumas, dengan 6 di antaranya terkait Tindak Pidana Pencucian Uang. Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, menilai angka ini masih rendah dan menandakan adanya celah besar dalam pemahaman publik tentang peran dan layanan LPSK.
“Sosialisasi ini menjadi medium edukatif untuk memperluas literasi hukum masyarakat terkait hak-hak saksi dan korban, alur permohonan perlindungan, dan pentingnya kolaborasi multipihak dalam menciptakan sistem perlindungan yang kuat,” jelas Susilaningtias.
Dalam paparannya, Sri Suparyati menegaskan bahwa LPSK bertanggung jawab memberikan perlindungan dari ancaman, intimidasi, hingga stigma terhadap saksi dan korban, sekaligus memfasilitasi pemenuhan hak-hak mereka seperti restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang telah diperbarui melalui UU No. 31 Tahun 2014.
Sri juga memperkenalkan operasional Kantor Perwakilan LPSK Jawa Tengah yang mulai aktif pada tahun 2025. Kantor ini akan memperkuat kehadiran negara dalam menjamin akses yang cepat dan terintegrasi terhadap layanan perlindungan. Aparat penegak hukum dan pendamping korban di Banyumas diharapkan memanfaatkan keberadaan kantor ini secara optimal.
Secara nasional, permohonan perlindungan terus meningkat. Sepanjang tahun 2025, LPSK mencatat total 11.148 permohonan, dengan Jawa Tengah menempati urutan keempat terbanyak yakni 836 permohonan. Data ini menunjukkan semakin tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perlindungan negara.
Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PKS Dapil Jawa Tengah VIII, Yanuar Arif Wibowo, menyampaikan bahwa perlindungan terhadap saksi dan korban merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya keadilan dalam proses peradilan pidana. Tanpa keberanian saksi dan pemulihan korban, proses hukum terancam stagnan dan tidak tuntas. Ungkapnya, Sabtu (27/9/2025).
Ia juga menekankan urgensi perlindungan khusus terhadap korban kekerasan seksual. “Korban harus merasa aman untuk bersuara. Negara wajib hadir dengan pendekatan korban-sentris, regulasi yang kokoh, kapasitas kelembagaan yang kuat, dan kolaborasi antar institusi,” tutup Yanuar, merujuk pada amanat konstitusi Pasal 28G UUD 1945 serta prinsip-prinsip dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Melalui kegiatan ini, LPSK dan DPR RI menegaskan komitmennya dalam mengarusutamakan perlindungan saksi dan korban sebagai bagian dari reformasi sistem peradilan pidana Indonesia yang lebih humanis, responsif, dan berbasis hak asasi manusia.
(CP/red)