Manusia Dalam Lintasan Tuhan (Bag. I)

 Manusia Dalam Lintasan Tuhan (Bag. I)

saifuddin al mughniy*

Mungkin diantara kita banyak hal diluar nalar pikiran manusia untuk mendiskusikan tentang Tuhan bukan Ketuhanan, sebab perspektif ketuhanan tentu sangat jauh berbeda dengan konsep Tuhan yang dipahami baik secara tekstual maupun secara kontekstual.

Karenanya, kita juga tidak berada pada pertentangan Tuhan itu “Ada atau tiada”, tetapi kita mencoba melihat pada sebuah proses eksistensi alam manusia baik secara lahiriah maupun secara zhohir.

Nah, maka untuk mendiskusikan problematic Tuhan dalam lintasan sejarah, maka tidak salah kiranya kita membuka sedikit referensi “sejarah Tuhan” yang di tulis oleh Karen Amstrong yang diterbitkan sekitar tahun 1993 tepatnya 23 tahun yang lalu.

Tentu kalau kita membandingkan antara terbitnya buku ini dengan proses penciptaan alam dan manusia, maka sangat sulit mengukur obyektifitas dari buku tersebut tetapi, sebagai bentuk pengetahuan maka sangat menarik untuk kita cermati.

Sebab, tema dalam buku ini sangat menarik. Karena membahas tentang tema sakral menyangkut pokok asal-usul Tuhan yang tetap relevan sampai dalam era kita sekarang. Dalam buku ini Karen Armstrong tidak menceritakan tentang bagaimana Tuhan itu terlahir dan ada, karena hal tersebut mustahil untuk dikaji, tapi lebih menitikberatkan pada sejarah konsepsi manusia tentang Tuhan.

Yaitu bagaimana awal manusia menemukan Tuhan sesaat manusia berhubungan dengan hal yang gaib pada masa awal-awal peradaban manusia. Juga campur tangan Tuhan terhadap peradaban manusia sehingga mempengaruhi kebudayaan dan teologi mereka, baik dalam interaksinya dengan alam sekitarnya.

Perdebatan dan perbincangan filosofis seputar ketuhanan di tiga agama monoteis terbesar di Dunia Islam, Kristen dan Yahudi juga disinggung lebih mendalam dan diperbandingkan. Meskipun mempunyai porsi yang sedikit, agama Hindu dan Budha pun mendapat kajian menarik tentang bagaimana kebudayaan agama itu terlahir, yang ternyata mempunyai konsep pandangan yang hampir mirip dengan tiga agama monoteis besar yang hidup dan berkembang hingga saat ini.

Bermula di awal dengan tema kemunculan Tuhan, sesaat manusia mengenal yang gaib, untuk menikmati setiap mitos kuno tentang dewa di Yunani kuno saat itu, interaksi dan filosofi hubungannya dengan manusia, dan tata cara penyembahan manusia kepada Dewa.

Kemudian mengenal Tuhan Yang Satu, transformasi dan pergulatan transisi manusia dalam mengenal Tuhan mereka. Sampai kepada kelahiran fundamentalisme dan gerakan pembaruan agama serta peran dan pengaruh sains dan teknologi terhadap melemahnya peran agama yang menumbuhkan bibit sekulerisme dan ateisme di dalam masyarakat modern.

Apakah Tuhan itu?”: “Tuhan adalah Ruh Mahatinggi, Dia ada dengan sendirinya dan Dia sempuma tanpa batas.”

Tidak mengherankan jika konsep itu kurang bermakna buat kaum liberalis maupun kapitalis yang cendrung melihat segala sesuatu dengan analisis materialism. Dan mungkin kita harus sepakat bahwa Tuhan tak mungkin terdeteksi dengan hitungan secara matematis maupun secara ekonomis.

Tetapi dalam pandangan Islam, tindakan kebajikan bias bernilai secara matematis, contoh misalnya kalau membaca quran satu ayat pahalanya bisa bernilai 27 kali lipat, beribadah di bulan ramadhan dan mendapati malam lailatul qadr (satu malam) sama dengan beribadah 83 tahun lamanya, bahkan melebihi umur manusia yang rata-rata 63 tahun masa hidupnya.

Namun, tak kalah benarnya jika dinyatakan bahwa humanisme liberal Barat bukanlah sesuatu yang secara alamiah datang kepada kita; sebagaimana apresiasi atas seni puisi, prosa, lirik dan legenda lainnya, paling tidak ia harus ditumbuhkan. Humanisme itu sendiri merupakan sebuah agama tanpa Tuhan.

Dan tidak semua agama, tentunya, bersifat teistik, dimana cita-cita etika sekularisme (pemisahan sebuah kehidupan) kita mempunyai disiplin pikiran dan hatinya sendiri dan menyediakan bagi manusia sarana untuk menemukan keyakinan pada makna tertinggi kehidupan manusia seperti yang pernah disediakan oleh agama-agama konvensional dimasa lalu sebagimana yang terangkan dalam buku sejarah agama-agama dunia.

Akan tetapi terlepas dari sifat nonduniawi misalnya, agama sesungguhnya bersifat pragmatik. Kita akan menyaksikan bahwa sebuah ide tentang Tuhan tidak harus bersifat logis atau ilmiah, yang penting bisa diterima.

Ketika ide itu sudah tidak efektif lagi, ia akan diganti, terkadang dengan ide lain yang berbeda secara radikal dan revolusioner Hal ini tidak dipusingkan oleh kebanyakan kaum monoteis sebelum era kita sekarang karena mereka tahu bahwa gagasan mereka tentang Tuhan tidaklah sakral, melainkan pasti akan mengalami perubahan.

Bagi saya, mungkin hal ini kita tolak kalau kemudian Tuhan dianggap bias berubah sesuai persepsi kita, ketika gagasan-gagasan kita tidak lagi mampu menjawab realitas dan harus diganti dengan yang lain.

Sementara dalam pendekatan ketuhanan, yang tunggal tak akan mungkin diganti dengan yang genap atau mencukupkan sesuatu menjadi satu.

Adalah salah satu karakteristik pikiran manusia yang mengagumkan untuk mampu menciptakan konsep-konsep yang menjangkau jauh seperti itu. Apa pun tafsiran kita atas hal itu, pengalaman manusia tentang yang transenden ini telah menjadi sebuah fakta kehidupan.

Tetapi pikiran manusia tidak akan mampu menggeser posisi Tuhan dalam sejarahnya maupun keyakinannya secara transendental. Bahkan kita dapat menemukan kemiripan telak dalam gagasan tentang Tuhan di kalangan orang Yahudi, Kristen, dan Islam.

Meskipun orang Yahudi maupun Islam memandang doktrin Trinitas dan Inkarnasi sebagai suatu kekeliruan, mereka juga mempunyai teologi-teologi kontroversial versi mereka sendiri. Setiap ekspresi yang amat bervariasi tentang tema-tema universal ini memperlihatkan kecerdasan dan kreativitas imajinasi manusia ketika mencoba mengekspresikan pemahamannya tentang “Tuhan”, tetapi tidak dalam proses mendefenisikan tentang Tuhan, sebab itu sudah diluar nalar manusia. ***(Edisi Pertama), Moga bermanfaat.

 

 

Facebook Comments Box