Netty Prasetiyani Gagas Family Enabling Policy dalam Forum UNFPA

 Netty Prasetiyani Gagas Family Enabling Policy dalam Forum UNFPA

JAKARRA — Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, menggagas pentingnya arah baru kebijakan kependudukan nasional melalui pendekatan Family Enabling Policy, yaitu paradigma pembangunan yang menempatkan keluarga sebagai pusat kesejahteraan sosial. Gagasan tersebut disampaikan dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh United Nations Population Fund (UNFPA) di Jakarta, Selasa (21/10).

UNFPA dikenal sebagai Dana Populasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berfokus pada isu-isu kependudukan, kesehatan reproduksi, dan kesetaraan gender di seluruh dunia.

Dalam paparannya, Netty menegaskan bahwa isu Keluarga Berencana (KB) harus dipahami secara komprehensif, bukan hanya sebagai upaya mengendalikan kelahiran, melainkan sebagai bagian dari sistem kesejahteraan sosial berbasis hak reproduksi.

“Isu KB bukan sekadar pengaturan kelahiran, tetapi tentang bagaimana negara memastikan setiap keluarga memiliki kemampuan dan daya dukung untuk hidup bermartabat,” ujarnya.

Netty menyoroti fenomena meningkatnya pasangan muda yang menikah tanpa perencanaan matang, tanpa visi bersama tentang keluarga, serta tanpa kesiapan menghadapi risiko kehamilan dan pengasuhan.

“Banyak pasangan yang masuk ke fase pernikahan tanpa bekal keterampilan mengasuh dan merawat anak, bahkan tanpa kesiapan ekonomi dan psikologis. Ini berdampak pada tumbuh kembang anak dan ketahanan keluarga secara keseluruhan,” ungkapnya.

Menurut Netty, kebijakan kependudukan yang ideal harus bersifat enabling, yakni menciptakan kondisi yang mendukung tumbuhnya keluarga yang berdaya, sejahtera, dan setara. Ia menekankan pentingnya reproductive agency—yakni kemampuan individu, terutama perempuan, untuk mengambil keputusan reproduktif secara sadar dan terlindungi oleh sistem sosial yang adil.

“Kita memerlukan kebijakan yang memberdayakan keluarga agar mampu menjadi aktor utama pembangunan kesejahteraan. Pendekatan ini memerlukan sinergi lintas sektor—dari kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, hingga perlindungan sosial—semuanya harus berpihak pada keluarga,” jelas politisi PKS ini.

Secara akademik, Family Enabling Policy berorientasi pada pemberdayaan keluarga (family empowerment) melalui penciptaan lingkungan struktural yang kondusif. Pendekatan ini menekankan integrasi antara kebijakan kesehatan reproduksi, perlindungan pekerja perempuan, insentif bagi keluarga muda, serta sistem care economy yang menghargai kerja domestik sebagai bagian dari produktivitas nasional.

Dalam konteks Indonesia, gagasan ini menjadi relevan untuk menjembatani ketegangan antara nilai-nilai konservatif, hak reproduksi, dan kebutuhan pembangunan manusia berkelanjutan. Nilai yang terkandung dalam Q.S. An-Nisa:9 — tentang kekhawatiran meninggalkan generasi yang lemah — sejalan dengan semangat kebijakan yang memastikan setiap keluarga memiliki ketahanan dan kemampuan membesarkan anak-anak yang sehat dan berkualitas.

Melalui forum UNFPA ini, Netty menyerukan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, BKKBN, lembaga internasional, dan masyarakat sipil dalam membangun sistem kebijakan kependudukan yang adaptif dan berkeadilan.

“Indonesia harus keluar dari paradigma kuantitas menuju kualitas. Pembangunan nasional harus berangkat dari keluarga sebagai unit terkecil, tapi paling strategis dalam membentuk kualitas manusia Indonesia,” tutup Netty.

Forum yang menjadi ruang refleksi strategis atas fenomena penurunan tingkat fertilitas (low fertility) di Indonesia—yang berimplikasi pada dinamika demografi dan pembangunan manusia—ini dihadiri oleh perwakilan UNFPA Hassan Mohtashami dan Verania Andria, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Wihaji, Pimpinan Komisi IX DPR RI Putih Sari, serta tokoh akademik dan aktivis seperti Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo, Mari Elka Pangestu, Lies Marcoes, Kepala Lembaga Demografi FEB UI I Dewa Gede Karma Wisana, Ph.D dan Bianti Djiwandono.

 

Facebook Comments Box