Opini: Catatan Politik Golkar hingga UU Pilkada JPPR

 Opini: Catatan Politik Golkar hingga UU Pilkada JPPR

Oleh Masykuruddin Hafidz JPPR*

TEMA I: Pekerjaan Rumah Pertama Golkar; Konsolidasi Pilkada 2017.

Akibat dualisme kepengurusan Golkar, jumlah pasangan calon yang diajukan Golkar turun drastis dari Pilkada sebelumnya. Jika pada saat pelaksanaan Pilkada hampir seluruh daerah Golkar mengajukan dukungan tetapi di Pilkada serentak 2015 hanya 30 persen.

Dualisme kepengurusan nyata-nyata telah menurunkan partisipasi Golkar dalam pencalonan di Pilkada. Para kader Golkar lebih memilih mendapatkan dukungan partai lain atau menempuh jalur independen.

Sebagai contoh nyata; dari 13 pasangan calon perseorangan yang memenangi Pilkada serentak, 8 diantaranya adalah kader aktif Golkar. Apa yang terjadi ditingkat pusat, berpengaruh langsung terhadap seleksi kepemimpinan daerah di tubuh partai tersebut.

Oleh karena, tantangan utama Setyo Novanto bersama jajaran kepengurusan baru adalah konsolidasi partai Golkar secepat mungkin. Bukti keberhasilan konsolidasi adalah kembalinya Golkar untuk bersatu padu dalam membagi kesempatan bagi seluruh kader untuk mengikuti Pilkada 2017.

Bagaimana kekuatan Golkar dapat benar-benar dimanfaatkan untuk membangun kembali soliditas internal partai dan meraih simpati pemilih.

TEMA II: Partai Baru, Jangan Buru-Buru Berpikir Ikut Pemilu.

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) membuka pendaftaran bagi partai politik untuk mendapatkan sertifikat berbadan hukum. Seluruh dokumen administrasi dan kepengurusan ditingkat pusat dan daerah akan diverifikasi di setiap tingkatan.

Keberadaan partai politik tidak hanya ditandai dengan adanya dokumen administrasi dan kelengkapan kepengurusan, tetapi juga para kader militan sebagai ujung tombak penyerap aspirasi dan speaker gagasan program kepartaian. Penataan pasukan yang riil ada di lapangan dengan standar pengetahuan politik kebijakan yang baik menjadi syarat utama bagi partai politik baru.

Memang untuk menuju kearah sana, bukan hal mudah. Banyaknya jumlah daerah kepengurusan menjadikan partai politik harus bekerja keras untuk melakukan konsolidasi hingga disebut partai nasional.

Bagi partai-partai baru yang nantinya diloloskan oleh Kemenkumham, fokuslah membangun barisan kader-kader partai dengan melakukan rekruitmen dan mendidik kader yang berintegritas.

Buktikan bahwa kantor-kantor partai didaerah tidak pernah sepi dari perbincangan menyusun strategi dan menjadi pusat pergerakan antara pengurus, kader dan masyarakat sekitar.

Kebesaran partai harus dibangun dari daerah. Oleh karena itu, kepada partai-partai baru, tidak perlu berpikiran instan langsung mengambil keuntungan jangka pendek dengan tujuan utama mengikuti Pemilu. Kalau tidak siap, justru hasilnya akan merugikan dan mati sebelum berkembang.

Buktikan terlebih dahulu partai baru terkonsolidasi di seluruh daerah dengan pintu kantor yang selalu terbuka buat masyarakat, pengurus yang menyerap aspirasi dengan baik dan kader-kader militan yang handal.

TEMA III: Apa Kabar UU Pilkada ?

Tahapan Pilkada Serentak 2017 sudah di depan mata. Merujuk pada Peraturan KPU No. 3 Tahun 2016 tanggal 22 Mei tahapan pilkada dimulai dengan penetapan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu sebelumnya sebagai ambang batas pencalonan bagi calon kepala daerah perseorangan yang akan mencalonkan sebagai kepala daerah.

Namun demikian, sampai dengan hari ini payung hukum penyelenggaran pilkada berada di ambang ketidakpastian karena formulasi revisi UU 8/2015 tentang pilkada masih berlangsung di Komisi II DPR RI.  Sehingga PKPU yang dibuat oleh KPU masih merujuk pada UU sebelumnya.

Revisi UU 8/2015 menjadi sebuah keniscayaan untuk dilakukan. Berkaca pada penyelenggaran pilkada serentak gelombang pertama di tahun 2015 lalu, terdapat beberapa persoalan mendasar yang bersumber dari regulasi yang ada.

Masih terjadinya praktek politik uang di Pilkada 2015, salah satunya disebabkan oleh tidak adanya pasal yang secara spesifik mengenai sanksi politik uang. Meskipun UU 8/2015 mengatur larangan bagi setiap peserta pilkada untuk melakukan politik uang.

Tidak diaturnya pilkada dengan satu pasangan calon (calon tunggal); masih terjadinya mahar politik dalam proses pencalonan; proses sengeketa pencalonan yang berkepanjangan dan berujung pada penundaan pilkada di lima daerah;  dan persoalan-persoalan lainnya yang terjadi selama tahapan pilkada serentak berlangsung.

Berangkat dari hal tersebut, revisi UU 8/2015 yang sedang berlangsung sejatinya harus mampu menjawab sekaligus menyelesaikan permasalahan yang ada. Karena sudah menjadi hakikat dasar dari kehadiran kebijakan publik sebagai respon negara untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan kata lain,  pemerintahan dan Komisi II pada hari ini ditantang untuk melakukan revisi UU 8/2015 secara komperhensif ditengah keterbatasan waktu yang ada karena tahapan pilkada yang akan dimulai.

Akan tetapi yang menjadi catatan kemudian, mekanisme pembahasan revisi UU 8/2015 dilakukan secara tertutup sehingga publik memiliki sedikit informasi tentang sejauh mana muatan substansi revisi UU Pilkada yang ada apakah sudah mampu menjawab catatan evaluasi Pilkada 2015. Untuk itu paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh pemangku kebijakan dalam formulasi revisi UU 8/2015:

1.     Tanpa mengurangi esensi dan substansi dasar dari revisi UU 8/2015 untuk memperbaiki jalannya penyelenggaran pilkada serentak, alangkah lebih baik pemerintah dan Komisi II DPR RI sedikit meredam perbedaan gagasan agar payung hukum penyelenggaran pilkada dapat segera diselesaikan, sehingga tidak menganggu tahapan Pilkada 2017 dan mampu memberikan kepastian aturan main bagi para stakeholder yang akan terlibat Pilkada 2017.

2.     Pembahasan revisi UU 8/2015, sebaiknya dilakukan secara terbuka agar masyarakat seperti pemilih, partai politik, kandidat, sampai dengan penyelenggara pemilu dapat mencermati aspek-aspek apa saja yang kelak akan berubah dalam aturan yang baru sehingga dapat mempersipakan diri menejalang penyelenggaran Pilkada 2017.

*Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz

 

Berita Terkait