Pangeran Khairul Saleh, Ingatkan Pemerintah Berhati-hati Mengambil Keputusan soal Transfer Narapidana Asing (transfer of prisoner)

 Pangeran Khairul Saleh, Ingatkan Pemerintah Berhati-hati Mengambil Keputusan soal Transfer Narapidana Asing (transfer of prisoner)

JAKARTA – Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PAN Pangeran Khairul Saleh mengingatkan Pemerintah berhati-hati  mengambil keputusan soal transfer narapidana asing (transfer of prisoner).

Komentar Pangeran itu usai keputusan Pemerintah memindahkan narapidana kasus narkoba Mary Jane Veloso ke Filipina. Kini sejumlah negara lain ikut mengajukan permintaan serupa. Salah satunya adalah Australia, yang meminta pemindahan lima warganya yang tergabung dalam kasus Bali Nine.

“Permintaan pemindahan narapidana oleh berbagai negara dapat menciptakan tantangan bagi penegakan hukum di Indonesia,” kata Pangeran kepada wartawan sesuai keterangan tertulisnya, Sabtu (14/12/2024).

Sebelumnya, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Izha Mahendra menjelaskan  draf perjanjian transfer narapidana Mary Jane Veloso telah disetujui dan akan segera ditandatangani oleh Kementerian Kehakiman Filipina. Setelah itu, terpidana mati kasus narkoba ini dapat menjalani sisa masa hukumannya di negara asalnya, Filipina.

Keputusan Pemerintah ini menuai sorotan karena Indonesia belum memiliki dasar hukum yang kuat terkait pemindahan narapidana asing. Proses transfer hanya didasarkan pada perjanjian bilateral atau pendekatan diplomasi.

Selain Filipina, Prancis dan Australia juga mengajukan permintaan serupa. Prancis meminta pemindahan Serge Atlaoui, narapidana kasus narkoba yang divonis mati sejak 2005. Sementara itu, Australia mengajukan permohonan untuk lima warganya dari kasus Bali Nine, yang ditangkap pada 2005 karena mencoba menyelundupkan 8 kilogram heroin di Bali.

Untuk itu, Pangeran menyoroti bahwa tanpa dasar hukum yang jelas, pemindahan narapidana asing dapat menimbulkan persoalan baru dalam sistem hukum Indonesia.

“Jika tidak ditangani dengan baik, hal ini berpotensi memperburuk ketimpangan dalam sistem peradilan dan mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi hukum,” tegasnya.

Pangeran juga mengingatkan bahwa Indonesia pernah menolak transfer narapidana Australia, Schapelle Corby, pada masa pemerintahan sebelumnya karena ketiadaan Undang-Undang Pemindahan Narapidana. Keputusan berbeda kali ini, menurutnya, dapat memunculkan anggapan bahwa Indonesia menerapkan standar ganda dalam penegakan hukum.

Meskipun transfer narapidana dimungkinkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, Pangeran menilai bahwa proses tersebut membutuhkan aturan turunan yang lebih rinci.

“Kami berharap Pemerintah lebih berhati-hati dalam membuat keputusan. Jangan sampai menabrak konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi,” ujarnya.

Berbagai pakar juga mempertanyakan pendekatan Pemerintah dalam transfer of prisoner. Tanpa Undang-Undang Pemindahan Narapidana, keputusan ini dianggap dapat menimbulkan diskriminasi hukum dan menciptakan preseden buruk.

Ia khawatir bahwa penerapan hukum yang tidak adil dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum, bahkan memicu peningkatan tindak kriminal dan konflik sosial.

“Penegakan hukum dengan standar ganda dapat mengakibatkan erosi kepercayaan publik dan kepatuhan terhadap hukum itu sendiri,” jelas legislator dari Daerah Pemilihan Kalimantan Selatan I ini.

Sebagai langkah ke depan, Pangeran menekankan pentingnya keadilan dalam setiap keputusan hukum. Ia meminta Pemerintah untuk bijaksana dan mempertimbangkan masukan dari para pakar sebelum memutuskan pemindahan tahanan asing.

“Indonesia perlu memiliki dasar hukum khusus terkait pemindahan narapidana asing agar keputusan ini tidak menimbulkan pertanyaan serius tentang penegakan hukum di Indonesia,” tutupnya.

Facebook Comments Box