Pasca Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017, Ini Pandangan Lengkap IViD

 Pasca Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017, Ini Pandangan Lengkap IViD

Ketua IVID Rikson Nababan bersama Inisiator IViD Saat acara Launching bertajuk, “Pengenalan Publik, IVID untuk Pemilihan dan Pemilu Serentak” di Gedung Joeang 45, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (21/9/2017) semalam.

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan Pengujian Undang-Undang dengan nomor registrasi, 53/PUU-XV/2017 tentang uji materi dalam Pasal 173 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Inisiator yang juga Ketua Indonesia Voter Initiative for Democracy (IViD) Rikson Nababan memberikan apresiasi tinggi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas sikap profesionalitasnya yang memutuskan untuk melakanakan putusan MK tersebut.

Namun demikian, lanjut Rikson, perlu diingatkan kepada KPU keberadaan norma terkait limitasi waktu dalam UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

“Yakni pada Pasal 178, ayat (2) yang memerintahkan KPU untuk menetapkan parpol peserta pemilu 14 bulan sebelum hari pemungutan suara. Konsekuensi dari putusan MK tersebut tentunya, secara alami telah menciptakan potensi fraud yang tinggi, baik dalam hal keprofesionalitasan (verfak tidak sesuai dengan prosedur/seadanya) dalam melaksanakan verifikasi faktual, sampai dengan integritas (keberpihakan/suap) KPU beserta jajarannya yang melakukan verifikasi, beserta pengawas pemilu yang melakukan pengawasan,” jelas Rikson pada wartawan, Jakarta, Jumat (26/1/2018) malam.

“Atas hal tersebut di atas, maka sudah seyogyanya, kami mengingatkan seluruh pemangku kepentingan penyelenggara pemilu (KPU) dan jajarannya untuk memastikan tidak terlampauinya waktu, 14 bulan sebelum pemungutan suara, untuk menetapkan partai politik peserta pemilu 2019,” sambung Rikson.

Selain itu, Rikson juga menilai, dalam melaksanakan verifikasi faktual, pihak KPU wajib merujuk sesuai prosedur yang telah ditetapkan dalam PKPU 6 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu, terkait item-item persyaratan yang akan diverifikasi, terlebih persyaratan mengenai status kantor, 30% kepengurusan perempuan, dan keanggotaan 1000 atau 1/1000 dari jumlah penduduk, dan dilakukan secara terbuka, transparan, aksestabel serta akuntabel.

“Bagi Bawaslu dan jajarannya, untuk melakukan pengawasan secara melekat terkait pelaksanaan verifikasi faktual yang akan dilakukan oleh KPU. Mengingat, sampai dengan saat ini, Bawaslu belum memiliki peraturan Bawaslu terkait tahapan Pendaftaran, Verikasi dan Penetapan Peserta Pemilu,” papar Rikson.

Sehingga, lanjut Rikson, publik tidak mengetahui, bagaimana cara dan metode pengawas pemilu bekerja dalam tahapan pendaftaran dan penetapan peserta pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu. Baik dalam hal mekanisme pencegahan terjadinya potensi pelanggaran, sampai dengan menangani sengketa proses.

Bagi Rikson, perubahan undang-undang, maupun pengujian undang-undang, tentunya seharusnya menjadi salah satu potensi yang dapat mengakibatkan munculnya pelanggaran maupun sengketa.

Selain itu, ujarnya, diharapkan Bawaslu segera menyelesaikan semua tugas dan kewenangan yang diamanahkan dalam Undang-Undang pada penyelenggaraan Pemilu 2019, karena berdasarkan Laporan capaian tahunan 2017 yang dibuat Bawaslu RI, belum nampak satupun standart tata cara mengawasi (Perbawaslu) di satu tahapanpun pada pemilu 2019, kecuali sengketa proses, sehingga diharapkan, muncul kepercayaan publik bahwa Bawaslu dapat mengawasi secara baik, sistematis dan terukur.

“DKPP harus melakukan strategi jemput bola dengan melakukan penyelidikan, sebagai bagian dari pencegahan terjadinya pelanggaran kode etik akibat tindakan dan sikap tidak professional dari penyelenggara pemilu. Karena sebagaimana diketahui, salah satu tugas dari Bawaslu adalah, melakukan pemetaan terhadap semua potensi pelanggaran dan sengketa pemilu,” terangnya.

“Namun sampai dengan empat (4) bulan pelaksanaan tahapan pemilu 2019, dan Sembilan (9) bulan Bawaslu dilantik, Bawaslu belum melakukan pemetaan tersebut, sehingga tidak mengherankan, jika muncul riak-riak dan cendrung gaduh pada pelaksanaan tahapan awal pemilu 2019, akibat munculnya ketidakpuasan yang berujung pada sengketa proses pemilu.”

“Hal iini diperparah dengan lambatnya Bawaslu dalam menyiapkan perangkat aturan yang mengatur secara formal keberadaan partisipasi masyarakat dalam bentuk pemantauan. Hal ini membuat kelompok masyarakat yang ingin terlibat dalam memastikan penyelenggaraan pemilu 2019 baik, menjadi terbatasi dan belum dapat memberikan sumbangsihnya dalam penyelenggaraan pemilu 2019 ini.”

IViD juga mengusulkan kepada peserta pemilu untuk mempersiapkan secara cermat, tepat dan cepat seluruh ketentuan persyaratan yang akan difaktualkan, sehingga selain mempermudah dan memperlancar pelaksanaan verifikasi.

“Hal ini tentunya akan memunculkan kepercayaan publik atas kesiapan peserta pemilu dan penyelenggara pemilu dalam melaksanakan pemilu 2019,” tutupnya. (R3)

Facebook Comments Box