Pilkada: Persaingan Merebut Kekuasaan, Apa Mungkin Tidak Konflik?
foto ilustrasi
Oleh: Musni Umar, Sosiolog, Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
Tahun 2018 sekarang adalah pemilihan kepala daerah di 171 daerah secara serentak, dan tahun 2019 adalah pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan pemilihan anggota parlemen dan anggota DPD RI, sehingga sering disebut sebagai tahun politik.
Di pulau Jawa yang merupakan penduduk terpadat di Indonesia akan melaksanakan pemilihan gubernur di 3 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di luar pulau Jawa, provinsi yang jumlah penduduknya tergolong besar seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, juga melaksanakan pemilihan Gubernur.
Pemilihan kepala daerah dengan akronim pilkada adalah persaingan merebut kekuasaan. Maka para pasangan calon yang bersaing, setidaknya harus memiliki tiga prasyarat untuk memenangkan pertarungan dalam pemilihan kepala daerah. Pertama, pasangan calon yang bertanding dalam pilkada baik Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati maupun Walikota-Wakil Walikota harus public figure yang sudah dikenal luas oleh masyarakat di daerahnya.
Kedua, pasangan calon harus memiliki dukungan dana yang cukup. Untuk melaksanakan kampanye, tidak mungkin dengan hanya bermodalkan semangat dan doa. Semangat, tekad dan doa sangat penting untuk memenangkan suatu pertarungan, tapi tanpa dukungan dana, sulit untuk memenangkan pertarungan dalam pemilihan kepala daerah yang penuh dengan persaingan.
Ketiga, pasangan calon harus didukung partai politik, tim sukses dan relawan. Seorang bakal calon kepala daerah akan menjadi calon kepala daerah kalau dicalonkan oleh partai politik yang biasanya merupakan gabungan beberapa partai politik. Ada juga yang jadi calon kepala daerah melalui jalur independen, tetapi jumlahnya sangat sedikit karena persyaratannya berat.
Untuk memenangkan pertarungan dalam pilkada, harus didukung tim sukses dan relawan yang militan dan solid. Semakin banyak tim sukses dan relawan, semakin baik. Untuk menggerakkan tim sukses dan relawan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Selain itu dukungan ulama, tokoh masyarakat, media dan media sosial sangat penting untuk merebut suara di akar rumput (grass root).
Perebutan Kekuasaan
Pemilihan kepala daerah adalah suatu event politik untuk merebut kekuasaan.
Pasangan calon dalam pilkada adalah para pesaing yang bertarung untuk merebut kekuasaan dengan berupaya sekuat-kuatnya untuk memperoleh dukungan dari rakyat.
Dalam upaya mendapatkan dukungan dari rakyat, maka segala cara dilakukan. Pada sisi inilah sering terjadi konflik antar pendukung.
Pengalaman Pilpres 2014
Pada Pilpres 2014 saya menjadi relawan dan barisan yang mendukung Jokowi-JK dalam pemilihan Presiden-Wakil Presiden.
Untuk mewujudkan dukungan secara nyata, saya turun ke berbagai kawasan di DKI Jakarta dan Jawa Barat untuk melakukan sosialisasi untuk mengkampanyekan Jokowi-JK.
Selain itu, saya menulis dua buku. Buku pertama diberi judul “Jokowi Satrio Piningit Indonesia”. Buku kedua, “Takdir Tuhan Jokowi RI 1 JK RI 2 Lagi”.
Akibat saya mendukung Jokowi-JK, seorang teman yang bergelar Doktor membenci saya luar biasa. Dengan tulisan di facebook dan pembicaraan langsung dia menyampaikan kemarahan dan ketidaksukaannya kepada saya. Sampai dia meninggal dunia tidak pernah meminta maaf. Walaupun saya sudah memaafkan.
Tadinya kami bersahabat, gara-gara Pilpres dia memusuhi dan konflik dengan saya. Ini contoh kalau dikalangan yang terdidik saja bisa terjadi pertentangan, percekcokan dan perselisihan. Apatah lagi dikalangan masyarakat bawah, dampak dari Pilpres atau Pilkada sulit dielakkkan tidak terjadi konflik.
Di Maluku Utara, Abdul Hamid Souwakil menceritakan kepada saya terjadinya konflik yang dahsyat di kampung halamannya gara-gara pilkada, sehingga harus mengungsi ke kampung lain. Terjadi konflik dan bakar-bakaran karena beda pilihan dalam Pilkada, Pilpres dan Pileg. Jadi benar kata Aa Gym santai saja dalam pilkada tidak usah tegang.
Atasi Konflik
Dalam pilkada yang penuh dengan persaingan, sebaiknya dihindari hal-hal yang bisa memancing konflik misalnya menjelek-jelekkan calon lain, menista, mencaci maki, dan segala perkataan dan tindakan yang bisa mengundang kemarahan pihak lain.
Jika terjadi konflik, maka segera dilakukan mediasi dan negosiasi dengan mengedepankan musyawarah. Kalau sudah diusahakan belum bisa diwujudkan perdamaian, maka undang pihak ketiga untuk menjadi mediator perdamaian.
Kalau gagal upaya perdamaian, baru di bawa ke ranah hukum untuk diselesaikan melalui proses hukum.
Jadi jika ada fenomena yang menjurus konflik, maka tokoh agama, tokoh masyarakat bersama aparat harus segera turun tangan untuk mendamaikan mereka yang konflik. Jangan membiarkan konflik membesar, karena kalau sudah membesar dan meluas sulit mengakhirinya.
Allahu a’lam bisshawab