Pusaka Sebut Penunjukan Influencer sebagai Pejabat Publik Jadi Anomali Politik
JAKARTA – Ketua Pusat Studi Kekayaan Alam (Pusaka), Ronny Setiawan, menyoroti fenomena influencer yang mulai banyak dipercaya menduduki jabatan publik. Ia menyebut tren tersebut sebagai anomali dalam tata kelola pemerintahan modern karena menggeser ukuran kelayakan pejabat dari aspek kompetensi menjadi sekadar soal popularitas digital.
“Jabatan publik adalah mandat konstitusional yang menuntut kecakapan teknis, etika pelayanan publik, serta pemahaman mendalam terkait regulasi dan pengelolaan sumber daya negara”, katanya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (28/12/2025).
Ia menilai popularitas di media sosial tidak dapat dijadikan parameter tunggal dalam menentukan kualitas seorang pejabat.
“Influencer memang memiliki kemampuan komunikasi dan kedekatan dengan publik, namun jabatan publik tidak hanya berkaitan dengan pencitraan. Ada aspek perumusan kebijakan, pengelolaan anggaran, hingga tanggung jawab politik yang membutuhkan kompetensi tersendiri,” ujar Ronny.
Ia tidak menampik bahwa keterlibatan figur kreatif dapat menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan generasi muda. Meski demikian, menurutnya perlu ada standar kelayakan yang jelas agar penempatan influencer di pemerintahan tidak menimbulkan persepsi bahwa jabatan negara hanya sebatas panggung personal branding.
“Risikonya adalah publik bisa melihat jabatan publik sebagai peluang menaikkan citra, bukan ruang pengabdian. Ketika popularitas menjadi syarat utama, maka meritokrasi melemah,” tutur Ronny.
Ronny juga menyoroti potensi konflik kepentingan, mengingat sebagian influencer kerap terlibat dalam kerja sama komersial dan promosi produk. Tanpa pedoman etik yang ketat, ia menilai akan muncul pertanyaan mengenai objektivitas keputusan ketika pejabat publik memiliki latar belakang endorsement dan relasi bisnis.
“Negara tidak dapat dijalankan berdasarkan logika konten viral. Kebijakan publik harus lahir dari proses kajian yang matang, bukan tren algoritma,” katanya.
Karena itu, Pusaka mendorong agar pemerintah maupun partai politik tetap mengedepankan rekam jejak, pemahaman kebijakan, serta integritas dalam menentukan pejabat publik. Ronny menegaskan bahwa keterbukaan terhadap kalangan muda dan kreatif tetap diperlukan, namun harus ditempatkan pada mekanisme yang terukur dan profesional.
“Kita tidak menolak influencer terlibat dalam pemerintahan. Namun perlu ada pelatihan, peningkatan kapasitas, dan standar etik agar peran tersebut berjalan sesuai kepentingan publik,” pungkas Ronny.
