Sejarah Penjegalan Kebangkitan Umat Islam di Indonesia: Bagamana Membaca Ulangnya?

 Sejarah Penjegalan Kebangkitan Umat Islam di Indonesia: Bagamana Membaca Ulangnya?

Perrtama yang harus diketahui, dunia Barat dan Indonesia sudah lama terhubung melalui kolonialisme dan imperialisme. Barat menyadari, elemen paling sulit ditaklukkan ialah Islam, yang selalu secara potensial menjadi penggerak gerakan massa dan perusak rencana manipulasi, eksploitasi dan kolonialisasi.

Untuk hal itu, harus dijalankan suatu metode domestifikasi (penjinakan), pertentangan internal di kalangan umat Islam yang digiring menjadi pelemahan, dan pengurungan interaksi global sesama umat Islam guna mencegah solidaritas dan inspirasi.

Dalam kasus Indonesia, kendatipun sudah mendeklarasikan kemerdekaan nasionalnya pada 1945, tetapi kenyataannya baru 1949 terjadi transfer kekuasaan oleh Belanda, dan itu pun dalam bentuk plot negara federal yang pimpinan puncaknya berada di tangan kerajaan Belanda. Namun melalui manuver politik yang genius dari Muhammad Natsir dan segenap jaringan politiknya pada 1950, plot negara federal Republik Indonesia Serikat itu berakhir dan bubar, berganti menjadi negara kesatuan republik Indonesia. Ganjaran dari gerakan genius pemimpin Partai Masyumi ini, tentu saja jabatan Perdana Menteri. Sejak tahun itu, Indonesia masih terus diuji dengan pergolakan dan perpecahan, mulai dari DI/TII, PRRI, Permesta, G30S/PKI dan seterusnya.

Namun yang akan kita soroti ialah bahwa dari seluruh perjalanan sejarah umat Islam di Indonesia, sebenarnya telah berulangkali terjadi penjegalan dan pencegahan bagi bangkit dan kuatnya umat Islam. Kita hanya bisa memahami dan mengakui gejala ini, apabila kita menganalisanya tanpa melewatkan faktor kepentingan imperialisme dan kolonialisme dalam jubah yang telah berganti. Kepentingan imperialisme jelas bahwa tak menginginkan Indonesia berada dalam aturan dan kepemimpinan Islam, karena hanya akan merugikan kepentingan dan pegaruh negara-negara sponsor imperialisme. Karena itu, mutlak Islam harus dinetralisir dan disubversi sehingga lebih cocok dan selaras dengan dikte imperialisme. Dari logika itulah, penjegalan demi penjegalan terhadap kebangkitan Islam terus dilancarkan bersekutu dengan aktor-aktor lokal perpanjangan tangan mereka. Tidakkah kita sadar akan hal ini?

Aksi penjegalan pertama mereka ialah 18 Agustus 1945, padahal Soekarno dan M. Yamin sendiri sudah menyatakan bahwa pencapaian persetujuan jentelmen yang memuaskan sudah dicapai, kompromi dan konsesi politik sudah diterima di bawah perlindungan Jepang saat itu. Namun, melalui tangan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta gentlement agreement itu dirobek dan perwakilan kepemimpinan umat Islam yang masih seirama dipaksa menghadapi kenyataan itu dengan suati janji manis yang akan mereka dapatkan di kemudian hari jika revolusi sudah mereda dan negara telah stabil dan terkonsolidasi.

Sejak itu, permainan petak umpet dan tarik tambang politik antara umat Islam dan penguasa selalu tak habis-habisnya. Dan jebakan permainan petak umpet dan tarik tambang itu memang itulah kartunya dalam menjinakkan dinamika politik umat Islam.

Umat Islam membaca masalah aspirasi rasional dan elementer mereka tersebut tidak terkait dengan kepentingan imperialisme. Mereka hanya mengira bahwa hal tersebut semata-mata bersifat lokal. Padahal nyatanya tidak. Terbukti kemudian saat Revolusi Iran meledak dan membawa Islam dan pemuka agama sebagai pemain utama kepemimpinan negara, cermin yang dirasakan oleh Iran tersebut harusnya dapat menyadarkan umat Islam di Indonesia.

Pada 1952, konsentrasi politik umat Islam dalam Masyumi, pecah dengan berdirinya secara terpisah Partai NU. Lalu pada 1960, melalui jebakan emosional terhadap para pemimpin Masyumi sehingga terlibat dalam PRRI, mengaibatkan Partai Masyumi dibubarkan pada 1960. Ketika Orde Baru baru berdiri halmana andil orang-orang Masyumi baik secara langsung maupun melalui jaringannya untuk menegakkan rezim baru pasca Soekarno diakui secara signifikan dengan harapan kompensasi dapat didirikannya kembali Partai Masyumi, ternyata ekspektasi itu melesat dan tidak diizinkan oleh Jenderal Soeharto sebagai penguasa baru yang tergantung nyaris absolut kepada Barat. Sayang, para pemimpin Masyumi saat itu belum juga menyadari bahwa kehadiran Islam secara signifikan di Indonesia tidak akan pernah diizinkan Barat karena hanya merugikan operasi imperialisme politik dan ekonomi mereka.

Setelah, pola dan geraknya terus sama: bagaimana menjegal dan mendomestifikasi Islam pada tingkat yang dapat dikendalikan secara mutlak oleh Barat dan agen-agen lokalnya.

Ketika Revolusi Islam Iran menyukut semangat baru terhadap dunia Islam, tidak terkecuali di Indonesia, maka Barat dan agen-agen lokal mereka di Indonesia berusaha memitigasi dan bila perlu memancing semangat tersebut untuk dijebak dan kemudian dicekik dan ditindas. Operasi Woyla dalam rangka mematikan gerakan komando jihad yang mungkin sejak awal telah termanipulasi hendaknya dibaca dalam sudut pandang ini. Selanjutnya, demikian terus terjadi hingga zaman isu terorisme, radikalisme dan entah apalagi nomenklatur yang mereka kreasikan dalam rangka menekuklutut kebangkitan umat Islam yang tiada lelah-lelahnya.

Tantangan umat Islam di Indonesia sebenarnya berporos pada kepentingan Barat terhadap penguasaan planet ini. Jika Barat meredup dan goyak akibat tantangan China, Rusia dan negara-negara pesaing mereka, di situ Islam akan diuntungkan untuk leluasa bangkit. Atau bisa saja secara internal, rakyat yang masih sehat akal di Barat seperti Amerika dan Inggris mulai secara sistematis mengoreksi imperialisme negara-negara mereka terhadap dunia ketiga dan memilih menarik mundur negara-negara mereka ke jalan damai ketimbang jalan perang dan konflik. Akar kesengsaraan yang menimpa umat Islam ialah kedengkian dan keserakahan Barat yang tidak mau berbagi kesempatan, status, kekayaan dan masa depan.

Oleh: Bhre Wira, Pemerhati Dunia Islam

Facebook Comments Box