Umat Islam dan Ketidakadilan Ekonomi

 Umat Islam dan Ketidakadilan Ekonomi

Oleh: Musni Umar, Sosiolog dan Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

Tulisan ini tidak  mempunyai maksud dan tujuan untuk menciptakan pertentangan yang mengandung unsur SARA, tetapi semata-mata sebagai respon seorang sosiolog setelah menyaksikan keadaan bangsa  Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi sangat tidak adil  terhadap mereka dalam bidang ekonomi.

Saya berpendapat bahwa Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim, tidak akan pernah maju dalam arti yang sesungguhnya, jika umat Islam tidak memperoleh kue dalam pembangunan ekonomi secara adil dan proporsional.

Kapan dan Mengapa Terjadi?

Indonesia mulai melaksanakan  pembangunan ekonomi di era Orde Baru, dengan fokus pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu trilogi dari pembangunan.

Untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang tinggi, rezim Orde Baru menggandeng para pengusaha Cina yang secara turun-temurun melakoni bisnis, sehingga mereka lebih terlatih dan piawai berbisnis  ketimbang kaum pribumi.

Peluang yang diberikan oleh rezim Orde Baru kepada  para pengusaha Cina, semula tujuannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setelah ekonomi bertumbuh dan maju baru dilakukan pemerataan.

Pemerataan yang  dicanangkan Presiden Soaharto dalam trilogi pembangunan tidak pernah menjadi kenyataan.  Bahkan  tanpa disadari dampaknya telah menciptakan banyak persoalan, mulai dari  kesenjangan sosial ekonomi, kemiskinan struktural dan ketidakadilan dalam bidang ekonomi,  sampai lahir para konglomerat yang sangat kaya dan  menguasai ekonomi Indonesia.

Menjelang runtuhnya rezim Orde Baru tahun 1998, etnis Cina menjadi sasaran kemarahan publik Indonesia. Untuk menyelamatkan diri dan harta yang dimiliki, mereka lari keluar negeri dengan membawa kekayaan mereka.

Setelah rezim Orde Baru tumbang,  lahir rezim baru yang disebut rezim Orde Reformasi.  Rezim ini   kemudian melakukan stabilisasi di bidang keamanan. Pada saat yang sama melakukan pemulihan ekonomi.

Untuk  mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia,  pemerintahan Orde Reformasi kemudian mengundang investor dalam dan luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia.

Para pengusaha Cina yang lari keluar negeri kembali memanfaatkan peluang untuk berinvestasi dengan menggunakan bendera asing dan kebijakan penanaman modal asing (PMA).

Bersamaan dengan semakin membaiknya keamanan di Indonesia,   mereka kembali ke Indonesia dan peran yang dimainkan tidak lagi terbatas di bidang ekonomi, tetapi merambah ke dalam dunia politik dengan menjadi cukong yang mendanai para calon pemimpin Indonesia,  mulai dari calon Presiden, calon Gubernur, calon Bupati, calon Walikota, dan bahkan calon anggota parlemen yang  sangat memerlukan topangan dana dalam bertanding di  pemilihan umum.

Rezim Orde Reformasi yang sudah silih berganti meneruskan kerjasama dengan para pengusaha Cina sebagaimana halnya rezim Orde Baru yang telah ditumbangkan.

Dampaknya di era Orde Reformasi, porsi terbesar yang menikmati  pembangunan ekonomi adalah mereka, karena era pasar bebas mereka manfaatkan untuk semakin melakukan akumulasi kekayaan.

Selain itu, para  pemimpin yang dicukongi, setelah memenangkan pertarungan dalam pilkada atau pemilu, memberi balas jasa kepada mereka.

Maka sinyalemen yang mengatakan bahwa rezim yang berkuasa di era Orde Reformasi, lebih banyak mengabdi kepada para cukong ketimbang kepada bangsa Indonesia mungkin tidak sepenuhnya salah.  Itulah sebabnya kesenjangan ekonomi begitu lebar di negeri ini.

Saatnya Berbagi

Ketidakadilan ekonomi merupakan musibah terbesar yang sekarang dialami bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, masalah ketidakadilan ekonomi harus segera diatasi.  Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari.

Pertama, alasan teologis. Dalam Islam,  ketidakadilan ekonomi bertentangan dengan prinsip keadilan (al ‘adalah) yang sangat dijunjung tinggi, sehingga Allah mewajibkan  untuk mewujudkan keadilan karena keadilan merupakan refleksi dari ketaqwaan (I’diluu wua aqrabu littaqwaa).

Kedua, alasan ideologis.  Bangsa Indonesia telah bersepakat bahwa ideologi bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila.  Sila kedua dan kelima dari Pancasila memerintahkan untuk diwujudkan keadilan.

Dalam kenyataan, Pancasila ada kecenderungan dimanfaatkan  sebagai alat untuk menekan mereka yang tidak sejalan dengan rezim yang berkuasa.  Mereka yang protes tentang ketidakadilan ekonomi ditekan dan diberi label radikal, anti toleransi, anti kebhinekaan dan bahkan disebut anti Pancasila.

Oleh karena yang banyak protes adalah umat Islam, maka mereka dilabeli dengan berbagai macam sebutan diatas.  Pada saat yang sama tidak ada political will dan political courage yang berkuasa untuk mewujudkan keadilan ekonomi.

Umat Islam terutama para cendekiawannya, dengan berpegang kepada Pancasila khususnya sila kedua dan lima, sudah saatnya berjihad (berjuang) untuk memperjuangkan tegaknya keadilan ekonomi di Indonesia.

Ketiga, secara sosiologis, kaum Muslim  yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia telah berjuang berabad-abad lamanya  untuk mewujudkan kemerdekaan, justeru mereka tidak ikut menikmati hasil kemerdekaan. Pada hal para kakek, nenek dan orang tua mereka telah berjuang mewujudkan dan mempertahankan kemeredekaan NKRI.

Kondisi yang dialami bangsa Indonesia tidak boleh dibiarkan. Para cendekiawan sebagai khaira ummah (sebaik-baik umat) dan pewaris para Nabi, sudah saatnya bangkit bersama umat lain untuk mengatasi masalah ketidakadilan ekonomi yang jika dibiarkan akan melahirkan masalah besar di Indonesia.  Negeri ini tidak mustahil pecah karena cepat atau lambat rakyat akan marah jika  mayoritas bangsa Indonesia terus termarjinalisasi, miskin, dan bodoh karena mengalami perlakuan tidak adil.

Ada batas kesabaran umat Islam.  Mereka bisa marah dan bangkit melawan kaum borjuis yang berkolaborasi dengan penguasa yang tidak mewujudkan keadilan.  Ini tidak boleh terjadi.  Untuk mencegah hal itu, para cendekiawan Muslim harus speak up dan bersama seluruh kekuatan bangsa mengingatkan mereka yang sedang berkuasa untuk mewujudkan sila kedua dan kelima dari Pancasila demi menyelamatkan Indonesia dari bahaya perpecahan karena kita tidak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Allahu a’lam bisshawab

Facebook Comments Box