Urgensi Pengawasan Pemutakhiran Data Pemilih

 Urgensi Pengawasan Pemutakhiran Data Pemilih

Burhanuddin, Ketua Panwaslu Jakarta Pusat Pemilu 2014 / Tim Asistensi Bawaslu DKI Jakarta 2015-2017

Oleh : BurhanuddinKetua Panwaslu Jakarta Pusat Pemilu 2014 / Tim Asistensi Bawaslu DKI Jakarta 2015-2017

Dalam suatu negara demokrasi, pelaksanaan pemilu merupakan momentum yang sangat penting bagi keberlangsungan pemerintahan dan penyelenggaraan negara. Pemilu, selain merupakan mekanisme bagi rakyat untuk memilih para wakilnya atau pemimpinnnya dan juga sebagai proses evaluasi dan pembentukan kembali kontrak sosial.

Pemilu merupakan pranata wajib dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat dan konstitusi memberikan arah dan mengatur tentang prinsip-prinsip dasar pemilu yang akan dilaksanakan.

Saat ini tahapan pemilu 2019 sudah memasuki tahapan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, Komisi Pemilihan Umum ( KPU) sedang melaksanakan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih Pemilu 2019 secara serentak pada tanggal 17 April hingga 17 Mei 2018, baik bagi pemilih di dalam negeri maupun di luar negeri. Gerakan Coklit Serentak yang dilakukan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) untuk dalam negeri akan dilaksanakan di 133 kabupaten/kota dari 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia. 133 kabupaten/kota tersebut berada di 17 provinsi diluar 17 provinsi yang melaksanakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Masalah yang sering muncul dalam pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih dari pemilu ke pemilu selalu menjadi persoalan yang serius walaupun klasik karena tidak pernah usai dan masalahnya selalu terulang dari pemilu ke pemilu, sehingga selalu menjadi polemik dan bahkan menjadi materi gugatan di Mahkamah Konstitusi.

Selama saya terlibat dalam penyelenggaraan pemilu dan aktif dalam forum diskusi tentang isu-isu demokrasi, ada beberapa catatan permasalahan yang sering mengemuka ketika bicara soal pendataan pemilih. Pertama, petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) tidak melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) atau pencoklitan dilakukan oleh oknum lain yang tidak tercantum dalam surat keputusan KPU.

Kedua, petugas pemuktahiran data pemilih tidak mencoret pemilih yang sudah tidak memenuhi syarat dan tidak mencatat pemilih yang memenuhi syarat untuk terdaftar di DPT. Sehingga timbul masalah dikemudian hari pada saat penetapan daftar pemilih sementara, misalnya munculnya orang meninggal di daftar pemilih sementara, TNI/Polri, anak dibawah umur.

Ketiga, Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih), sistem ini masih mengalami beberapa masalah, terbukti pada pemilu sebelumnya masih ditemukan beberapa pemilih tidak memenuhi syarat dan sudah dicoret oleh PPDP.

Namun, pada saat penetapan data pemilih sementara (DPS), data itu muncul kembali untuk dilakukan perbaikan. Persoalan tersebut tentunya menjadi salah satu tantangan cukup berat pada pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu 2019.

Keempat, di wilayah perkotaan, permasalahan daftar pemilih masih berkisar pada sulitnya untuk melakukan pendataan di apartemen, grey area, rumah susun, lapas, rutan dan panti jompo. Hal ini terjadi karena terkendala oleh akses untuk melakukan pendataan, tidak adanya RT/RW, e-ktp penghuni masih domisili lama, penghuni yang selalu berganti-ganti/keluar masuk, tidak adanya identitas bagi penghuni panti.

Persoalan daftar pemilih ternyata memiliki implikasi yang cukup besar, tidak hanya terkait dengan penentuan jumlah tempat pemungutan suara dan pemenuhan jumlah surat suara, tetapi terkait dengan hak konstitusional warga negara. Konstitusi Indonesia mengakui bahwa keberadaaan hak tersebut sebagai statutory right dengan mengaturnya dalam Undang-Undang. Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 dan Nomor 102/PUU-VII/2009, menegaskan bahwa hak pilih merupakan hak konstitusional.

Sanksi Pelanggaran Pemutakhiran Data Pemilih
Dalam pemutakhiran data pemilih, terdapat sanksi pelanggaran sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 488, bahwa setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, mengenai diri sendiri atau orang lain tentang sesuatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana dengan pidana kurungan 1 (satu ) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal ini berlaku bagi setiap orang yang memberikan keterangan palsu pada proses pemuktahiran daftar pemilih, baik itu masyarakat, penyelenggra pemilu, ataupun pasangan calon.

Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 489 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bahwa setiap anggota PPS atau PPLN yang dengan sengaja tidak mengumumkan dan/atau memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan/atau Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada Pasal 206, Pasal 207, dan Pasal 213, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Gerakan Pengawasan Pemilu Partisipatif
Pengawas pemilu menitikberatkan fokus pengawasan pada pemutakhiran data pemilih, yakni dengan melakukan pemetaan daerah / TPS rawan, melakukan pencermatan dokumen / data, pemeriksaan akurasi, penilaian kepatuhan prosedur dan keterlibatan stakeholder.

Menjawab beberapa permasalahan dan titik rawan pada pemuktahiran daftar pemilih, Badan Pengawas Pemilihan Umum sudah meluncurkan Gerakan Awasi Coklit, di mana seluruh pihak dapat terlibat untuk melakukan pengawasan pada tahapan pencocokan dan penelitian. Hal ini dilakukan agar warga negara yang sudah memenuhi syarat tercatat di daftar pemilih tetap (DPT).

Seluruh elemen masyarakat diharapkan terlibat sebagai pengawas partisipatif, paling tidak memastikan bahwa dirinya terdaftar di daftar pemilih tetap ( DPT) serta melaporkan jika ada petugas yang tidak benar dalam melakukan tugas coklit di lapangan.

Pengawasan pemutakhiran daftar pemilih terkadang dicederai dengan ketidakterbukaan KPU dan jajarannya terhadap data pemilih yang akan dicoklit, sehingga jajaran pengawas pemilu mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap data pemilih yang akan dicoklit.

Ketidakterbukaan tersebut menjadi persoalan tersendiri dalam mengawasi dan memastikan akurasi data pemilih yang dicoklit. Apabila itu terus terjadi, maka bukan tidak mungkin daftar pemilih tetap pemilu 2019 akan muncul kembali istilah daftar pemilih tetap ( DPT ) kuburan, DPT bayi, DPT TNI/Polri atau istilah yang paling ekstrem adalah daftar pemilih tetap ( DPT ) siluman. []

 

 

Facebook Comments Box