3 MARTABAT INSAN BERILMU: Mengapa Banyak yang Pintar, tetapi Sedikit yang Sadar?

 3 MARTABAT INSAN BERILMU: Mengapa Banyak yang Pintar, tetapi Sedikit yang Sadar?

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin Makassar

Pernahkah kita merasa, semakin banyak kita membaca dan mempelajari ilmu, semakin banyak pula kegelisahan menetap di dada?

Semakin banyak teori kita kuasai, justru semakin jauh hati dari rasa tunduk dan tenang?

Bukankah seharusnya ilmu menuntun jiwa untuk lebih merunduk, bukan meninggi?

Lebih bersabar, bukan mudah tersinggung? Lebih takut kepada Allah, bukan makin merasa hebat di hadapan manusia?

Inilah ironi zaman kita, sebuah era yang memuliakan kepintaran, tetapi kian melupakan kesadaran.

Informasi datang bertumpuk, tetapi keteduhan batin semakin langka. Kita hidup di tengah masyarakat yang bangga atas orang yang lihai berbicara, padahal Allah lebih mencintai mereka yang mampu menundukkan hati.

Maka marilah bertanya secara jujur kepada diri sendiri, Apakah ilmu kita benar-benar hidup dalam diri, atau hanya sekadar menjadi hiasan akal dan lisan?

Sebab manusia yang paling merugi bukanlah yang tidak pernah menuntut ilmu, melainkan mereka yang menuntut ilmu tetapi tidak berubah karenanya.

Betapa tepat kata-kata Sufyan bin ʿUyainah رحمه الله:

أجهل الناس من ترك ما يعلم، وأعلم الناس من عمل بما يعلم، وأفضل الناس أخشعهم لله
“Manusia paling bodoh adalah yang meninggalkan ilmu yang ia ketahui.
Manusia paling berilmu adalah yang mengamalkan ilmunya.
Dan manusia terbaik adalah yang paling khusyu‘ kepada Allah.”

Di sinilah tersingkap tiga martabat perjalanan jiwa seorang penuntut ilmu: mengetahui, kemudian mengamalkan, lalu tenggelam dalam khusyu‘ sebagai puncak tertinggi kesadaran.

Ilmu bukan sekadar koleksi wawasan, ia adalah perjalanan panjang menuju Allah, dari kepala, turun ke hati, kemudian terpantul pada perilaku.

Allah mengecam keras mereka yang menjadikan ilmu hanya sebagai slogan moral:
أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ
“Apakah kalian menyeru manusia kepada kebaikan, tetapi kalian melupakan diri kalian?”
(QS. al-Baqarah: 44)

Ilmu yang tidak pernah berubah menjadi amal sejatinya bukan cahaya, melainkan bayangan yang menipu.

Betapa pahit kenyataannya ketika ilmu hanya berhenti di lidah, sementara hati tetap kering dari kekhusyukan, rumah tangga tak lebih baik, akhlak tak lebih lembut, dan kesabaran tak lebih kuat.

Nabi SAW. memberi peringatan yang mengguncang:
أشد الناس عذابًا يوم القيامة عالم لم ينفعه علمه
“Manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak mengambil manfaat dari ilmunya.”
(HR. al-Ṭabarānī)

Sungguh menggetarkan. Ilmu yang seharusnya menjadi syafaat bahkan dapat berubah menjadi bumerang jika ia menjadi sekadar koleksi intelektual yang tidak menyentuh batin.

Tidak sedikit dari kita yang pandai berbicara tentang sabar, tetapi mudah tersulut. Lihai menjelaskan keutamaan tawadhu‘, namun hati masih mencintai tepuk tangan manusia. Bisa menafsirkan ayat, ancak gagal menafsirkan penyakit hatinya sendiri.

Inilah bentuk kehinaan ilmu bila ia tidak menurunkan ego, tetapi justru mempertinggi sombong yang tersembunyi.

Sementara ilmu yang benar-benar hidup dalam tubuh seorang hamba, ia melahirkan kerendahan hati dan kehalusan akhlak. Imam al-Ghazali رحمه الله mengingatkan:
العِلْمُ يَهْدِي، وَالعَمَلُ يُوصِلُ
“Ilmu itu menunjukkan jalan, dan amal-lah yang mengantarkan.”

Setiap ilmu sejatinya adalah seruan, dan setiap seruan menuntut jawaban. Maka para sahabat ketika menerima satu ayat, mereka tidak terburu-buru mempelajari ayat berikutnya sebelum menghidupkan ayat yang pertama dalam kehidupan mereka.

Umar bin al-Khattab رضي الله عنه berpesan:
تعلّموا العلم وتعلّموا له الوقار والحلم
“Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah bersamanya wibawa dan kelembutan.”

Ilmu bukan hanya menambah kecerdasan, tetapi membentuk adab.

Bila ilmu kita bertambah tetapi kesantunan, ketawadhuan, dan kesabaran tidak tumbuh, maka kita telah menyimpang dari jalur para ulama salaf.

Namun perjalanan ilmu tidak berhenti di amal. Ia terus naik sampai menembus ruang terdalam jiwa, melahirkan khusyu‘, yakni keadaan ketika seorang hamba hidup dalam kehadiran Allah, dalam syahwat, dalam langkah, dalam kerinduan dan takutnya. Maka Allah berfirman:
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُا۟
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-Nya adalah para ulama.”
(QS. Fāṭir: 28)

Ibn al-Qayyim رحمه الله menegaskan:
العلمُ يورث الخشية، والجهلُ يورث الجرأة
“Ilmu melahirkan rasa takut, sementara kebodohan melahirkan keberanian berbuat dosa.”

Pada maqam inilah seorang alim menjadi kekasih Allah, bukan karena banyaknya hafalan, tetapi karena beningnya hati.

Ia menangis bukan semata-mata karena takut neraka, tetapi karena rindu dan malu pada Rabb yang begitu banyak memberi, sementara dirinya minim membalas.

Namun hari ini, manusia lebih mengejar prestise intelektual daripada kejernihan jiwa.

Kita membangun gedung universitas setinggi langit, tetapi membiarkan hati kita runtuh oleh ambisi dunia.

Kita berlomba menjadi orator, tetapi tidak berlomba menjadi hamba. Allah berfirman memberi teguran keras:
كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفۡعَلُونَ “Sangat besar murka Allah, bila kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.”
(QS. al-Ṣaff: 3)

Maka jalan kembali itu sederhana namun berat, memperbaiki apa yang sudah kita tahu, sebelum mengejar apa yang belum kita pahami.

Sebab sedikit ilmu yang diamalkan lebih mulia daripada gunung ilmu yang hanya menjadi hiasan intelektual.

Mulailah dengan melunakkan hati, mendidik nafsu, dan menata niat. Hadiri majelis yang menghidupkan ruh, bukan sekadar mengasah argumentasi. Tempatkan ilmu bukan pada panggung pujian, tetapi pada ruang tersembunyi penghambaan.

Bisikkan pada jiwa kita:
“Aku belajar untuk merendah, bukan meninggi. Aku beramal untuk dekat kepada-Nya, bukan untuk terlihat manusia. Aku berkhusyu‘ karena cinta, bukan karena takut semata.”

Dan di situlah martabat tertinggi seorang berilmu tampak, bukan pada gelarnya, bukan pada jamaahnya, bukan pada retorikanya, tetapi pada kejernihan hatinya dan kelembutan akhlaknya.

Ketika ilmu telah mengantarkan jiwa kembali kepada Tuhannya dengan hati yang tunduk, malu, dan cinta. Di sinilah hakikat ilmu yang sejati.

*Doa dan Pesan Moral dari Hikmah Sufyan bin ʿUyainah*

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ.
“Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak Engkau dengar.”

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَسْمَعُ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُ أَحْسَنَهُ، وَمِمَّنْ يَخْشَاكَ فِي السِّرِّ وَالْعَلَنِيَّةِ، وَيَعْمَلُ بِالْعِلْمِ قَبْلَ أَنْ يُعَلِّمَهُ النَّاسَ.
“Ya Allah, jadikan kami termasuk orang yang mendengar nasihat engikuti yang terbaik darinya, yang takut kepada-Mu dalam sepi dan di tengah keramaian, dan yang mengamalkan ilmu sebelum mengajarkannya kepada orang lain.”

#Wallahu ‘Alam Bis-Shawab

Facebook Comments Box