Fadli Zon: Ketimbang Ajak Australia Masuk ASEAN, Presiden Mestinya Evaluasi Manfaat ASEAN

 Fadli Zon: Ketimbang Ajak Australia Masuk ASEAN, Presiden Mestinya Evaluasi Manfaat ASEAN

Wakil Ketua DPR RI dan Ketua Umum HKTI Fadli Zon

JAKARTA – Pernyataan basa-basi Presiden Joko Widodo yang mendukung Australia untuk menjadi anggota ASEAN pada acara pertemuan puncak khusus ASEAN-Australia mendapat tanggapan dari Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon.

Menurut Fadli, daripada melontarkan basa-basi diplomatik yang tak bermanfaat semacam itu, Presiden seharusnya perlu segera mengevaluasi manfaat ASEAN bagi Indonesia. Mengingat, Indonesia kini sebenarnya banyak dirugikan oleh keberadaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Menurut Fadli malah perlu dipikirkan langkah Indonesia Exit (Inxit) atau keluar dari ASEAN.

“Saya kira itu basa-basi yang tak perlu. Australia sebenarnya lebih senang dianggap sebagai bagian dari masyarakat Eropa ketimbang Asia, apalagi di bawah pemerintahan konservatif yang berkuasa sekarang ini. Selain itu, di luar faktor perbedaan kultur dan politik, secara geografis Australia juga juga bukan bagian dari Asia Tenggara. ASEAN kan organisasi regional. Bagaimana bisa kita menawari keanggotaan pada negara yang berasal dari region berbeda?” jelas Fadli seperti keterangan tertulisnya, Senin (19/3/2018).

Fadli menyampaikan, jika ingin membuka diri terhadap perluasan keanggotaan, ada negara lain sekawasan yang sebenarnya sudah lama antri menjadi anggota ASEAN, yaitu Timor Leste, ataupun Papua Nugini yang telah menjadi pengamat sejak 1976. Itupun kita masih belum sepenuhnya membuka diri. Kita tak bisa menerima Papua Nugini, misalnya, karena terikat pada perjanjian tahun 1983 yang membatasi keanggotaan ASEAN hanya untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara saja,” sambungnya.

“Menurut saya, Presiden seharusnya justru perlu mengevaluasi manfaat ASEAN bagi kepentingan nasional Indonesia. Saya memperhatikan bahwa MEA sebenarnya lebih banyak merugikan kita. Dengan MEA negara tetangga yang semula hanya punya pasar 5,5 juta penduduknya, kini jadi punya pasar tambahan sebesar 262 juta penduduk Indonesia.”

Bagi negara yang kompetitif, lanjut Fadli, MEA sangat menguntungkan. Tapi bagi Indonesia, kita kini harus membagi pasar buat orang lain, di mana hal sebaliknya tak terjadi. Kita lihat, misalnya, sesudah ada MEA, kini Vietnam malah berusaha blokade ekspor otomotif kita. Jadi, di mana pasar bersamanya?!”

Ia menjabarkan, data-data yang dirilis oleh Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia), misalnya. Tahun 2017 lalu, tingkat ekspor kendaraan bermotor kita dalam kondisi utuh (CBU) hanya menyentuh angka 214.971 unit. Sementara, Thailand mampu mengekspor CBU di kisaran 1,2 juta unit selama 2017. Malaysia bisa ekspor di angka 600 ribu unit, dan Vietnam juga angka ekspornya lebih besar dari kita, yaitu hampir 300 ribu unit. Ini kan memprihatinkan.”

“Jadi, ini yang saya lihat, secara bodoh kita terus-menerus membuka pasar kita bagi orang lain, sementara pada saat bersamaan orang lain sebenarnya sangat serius menjaga dan memproteksi pasar dan industri dalam negerinya. Tentu saja, hari ini orang hanya bisa melakukan proteksi non-tarif untuk melindungi pasar dan industri dalam negerinya. Itu yang tak banyak dilakukan pemerintah Indonesia,” paparnya.

Berikut Tanggapan Fadli Zon:

Menurut data INDEF tahun 2017, kita hanya memiliki hambatan nontarif sebanyak 272 poin. Padahal, Malaysia dan Thailand saja, masing-masing punya hambatan nontarif sebanyak 313 poin dan 990 poin. Kecilnya jumlah hambatan nontarif di Indonesia menunjukkan buruknya komitmen kita dalam melindungi industri dan pasar dalam negeri. Pemerintah seharusnya serius melindungi pasar dan industri dalam negeri, karena itu mewakili kepentingan nasional kita.

Pemerintah kita mestinya memahami bahwa tidak pernah ada perdagangan bebas yang benar-benar bebas. Setiap negara pasti punya hambatan nontarif demi melindungi kepentingan nasionalnya. Itu sebabnya jor-joran membuka pasar domestik untuk orang luar bukanlah keputusan yang cerdas.

Lahirnya regulasi impor yang dikeluarkan Vietnam melalui Decree No. 116/2017/ND-CP tentang Decree on Requirements for Manufacturing, Assembly and Import of Motor Vehicles and Trade in Motor Vehicle Warranty and Maintenance Services pada Januari 2018 kemarin merupakan cara Vietnam melindungi industri otomotifnya. Demi kepentingan nasionalnya mereka memang harus merilis aturan semacam itu. Tapi, dari sisi kepentingan Indonesia, kebijakan itu perlu kita protes.

Kebijakan Vietnam tersebut berpotensi membuat ekspor mobil kita ke Vietnam terancam terhenti. Potensi ekspor yang hilang diperkirakan mencapai US$85 juta sejak periode Desember 2017 hingga Maret 2018 ini. Padahal, sebelum ini Vietnam merupakan pasar ekspor otomotif yang sangat menjanjikan bagi Indonesia.

Kasus hambatan nontarif ekspor mobil ke Vietnam ini sebenarnya bisa dijadikan catatan bagi pemerintah kita, bahwa sekali lagi tidak ada perdagangan bebas yang benar-benar bebas. Meminjam Joan Robinson, guru besar ekonomi Universitas Cambridge, ‘the very nature of economics is rooted in nationalism’. Jadi, semua urusan dagang sebenarnya berpangkal pada kepentingan nasional tiap-tiap negara.

Jadi, daripada berbasa-basi mengajak Australia masuk menjadi anggota ASEAN, saya sebenarnya sangat ingin mendengar Presiden melontarkan pernyataan bahwa Indonesia akan keluar dari ASEAN jika kepentingan dagang Indonesia dihambat oleh negara-negara ASEAN lain. Inggris saja keluar dari Uni Eropa saat organisasi kawasan itu dinilai tak menguntungkan kepentingan nasionalnya. Kenapa kita tak bisa melakukan hal yang sama di ASEAN?! Kita adalah negara terbesar di ASEAN.”

Inxit. Indonesia exit dari ASEAN. Itu seharusnya yang menjadi bahasa diplomasi Presiden, demi membela kepentingan ekonomi dan politik kita di tengah pasar bersama ASEAN yang merugikan. Jadi, tidak seharusnya Presiden kita berkampanye membela kepentingan negara lain di ASEAN, ketika kita sendiri sedang berhadapan dengan kepentingan tetangga-tetangga di ASEAN yang merugikan kepentingan ekonomi kita.

ASEAN sebagai organisasi kerjasama kebudayaan mungkin bisa terus kita pertahankan. Namun, jika kepentingan ekonomi kita dirugikan atas nama ASEAN, kita memang perlu serius mempertimbangkan untuk keluar saja. Kerjasama ekonomi sebaiknya dilakukan secara bilateral atau multilateral, tidak harus secara regional.

Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Wakil Ketua DPR RI, Wakil Ketua DPP Partai Gerindra

Facebook Comments Box