OTAK UDANG: Pahitnya Kebodohan di Era Kemerdekaan

 OTAK UDANG: Pahitnya Kebodohan di Era Kemerdekaan

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar

Pernahkah kita duduk sendiri, dalam diam, lalu bertanya kepada hati dan nurani kita :

Mengapa bangsa yang merdeka ini sering kali tidak terasa merdeka?

Mengapa di tengah bisingnya lagu kemerdekaan, jiwa kita masih sunyi dalam kegelapan ilmu?

Mengapa di balik sorak-sorai perayaan 17 Agustus, kita masih merasakan pahitnya keterjajahan pikiran?

Apakah kemerdekaan hanya bendera yang berkibar di tiang, tetapi tidak berkibar di akal dan hati?

Dan lebih getir lagi, apakah kita sudah terlalu lama meminum racun kebodohan, hingga kita lupa rasanya air kejernihan ilmu?

Kita sering menunjuk kemiskinan sebagai biang keladi, tetapi jarang mengakui bahwa kebodohan adalah akar yang lebih tua dan lebih kuat mencengkeram.

Kita berteriak lantang menuntut keadilan, tetapi enggan mengakui bahwa kebodohanlah yang membuat kita mudah diperdaya dan dikuasai.

Kita memuja kemerdekaan politik, tetapi lupa bahwa penjajahan pikiran lebih mematikan daripada penjajahan fisik.

Pernahkah pulalah kita bertanya, mengapa setelah tujuh puluh delapan tahun merdeka, kita masih merasa terikat oleh belenggu yang tak terlihat itu ?

Pernahkah kita merenung, mengapa jalan raya kita semakin padat, tetapi jalan menuju kemajuan intelektual kita terasa semakin sempit?

Mengapa gedung-gedung pencakar langit menjulang di kota-kota, tetapi pikiran-pikiran luhur dan ide-ide besar jarang lahir dari hati rakyatnya?

Apakah kemerdekaan hanya kita artikan sebagai bebas berbicara, bebas bergerak, tetapi tidak bebas dari kebodohan yang diwariskan penjajah?

Bukankah kita sudah merdeka secara politik, tetapi masih terjajah secara mental, moral, dan intelektual?

Dan yang paling penting untuk kita pertanyakan dalam sanubari kita , apakah kita diam-diam menikmati keterjajahan itu?

Kita sering mengeluh tentang kemiskinan, tetapi jarang kita bicara tentang akar terdalamnya: kebodohan.

Kita marah pada ketidakadilan, tetapi enggan mengakui bahwa salah satu penyuburnya adalah ketertinggalan ilmu dan mentalitas otak udang yang selalu berpikir sempit dan dangkal.

Kita mengeluhkan korupsi, kemerosotan moral, hingga lemahnya daya saing bangsa, namun kita jarang bertanya, Apa yang sudah kita lakukan untuk mengubahnya dan seberapa beser kontribusi serta sumbangsih kita dalam mengatasi Pahitnya kebodohan bagi bangsa kita yang telah memproklamirkan kemerdekaannya 1945 yang sialam ?

Kebodohan: Bukan Takdir, Tetapi Pilihan

Kebodohan tidak pernah menjadi ketentuan mutlak yang tak dapat diubah. Ia bukan seperti warna kulit atau bentuk wajah yang kita warisi tanpa bisa memilih.

Kebodohan adalah buah dari kemalasan belajar, dari enggannya hati untuk menerima kebenaran, dari nyamannya kita tenggelam dalam zona aman ketidaktahuan.
Allah SWT. mengingatkan kita:
إِنَّ اللّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Artinya, jika kita memilih untuk tetap berada dalam kebodohan, maka itu adalah keputusan kita sendiri, dan kita akan memetik pahitnya buah itu.

Suara Peringatan Ulama tentang Pahitnya Kebodohan

Imam Syafi’i رحمه الله berkata:
ما حَسَدتُ أحدًا على ما أُعطِيَ من الدنيا إلا رجلًا كان عاقلًا، فإنه لا يَضُرُّهُ المال، ورجلًا كان جاهلًا، فإنه لا يَضُرُّهُ الفقر
“Aku tidak pernah iri kepada seseorang atas apa yang ia miliki di dunia, kecuali kepada orang berakal, karena harta tidak akan membahayakannya; dan orang bodoh, karena kemiskinan tidak akan merugikannya.”

Beliau juga berkata tentang pahitnya kebodohan:
وجدتُ الجهلَ في الناسِ موتًا قبلَ موتِهمُ، وأجسامُهمْ قبلَ القبورِ قبورُ
“Aku dapati kebodohan pada manusia itu seperti kematian sebelum mati, dan jasad mereka adalah kuburan sebelum mereka masuk kubur.”

Adapun Imam Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه pernah berpesan:

كفى بالعلم شرفًا أن يدّعيه من لا يحسنه، ويفرح به إذا نُسب إليه، وكفى بالجهل ذمًّا أن يتبرأ منه من هو فيه
“Cukuplah ilmu itu menjadi kemuliaan ketika orang yang tidak memilikinya mengaku memilikinya, dan merasa senang jika disandarkan kepadanya. Dan cukuplah kebodohan itu menjadi kehinaan ketika orang yang berada di dalamnya berusaha berlepas diri darinya.”

Dan beliau juga berkata:
لا عدوّ أضرّ من الجهل
“Tidak ada musuh yang lebih berbahaya daripada kebodohan.”

Warisan Pahit Penjajahan

Kita sering membanggakan bahwa kita telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Namun penjajahan yang paling lihai adalah yang membuat kita merasa bebas, padahal akal kita masih terikat.

Penjajah telah pergi, tetapi jejaknya tertinggal dalam bentuk kemalasan berpikir, ketergantungan pada pihak luar, dan rasa rendah diri sebagai bangsa.

Dulu mereka mengikat tangan kita dengan rantai besi; kini kita sendiri yang mengikat pikiran kita dengan rantai kebodohan.

Ciri-Ciri “Otak Udang” di Era Kemerdekaan

Otak udang adalah metafora bagi mereka yang berpikir pendek, sempit, dan dangkal.

Mereka hanya melihat hari ini tanpa memikirkan esok, hanya menikmati hiburan tanpa memikirkan kemajuan.

Mereka mudah diperdaya oleh penampilan, mudah diadu domba, dan malas menelusuri kebenaran.
Rasulullah SAW. telah bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Siapa yang menolak menempuh jalan ini, sesungguhnya sedang memilih jalan yang menjerumuskan.

Mengisi Kemerdekaan dengan Pencerahan

Kemerdekaan sejati adalah ketika kita memerdekakan pikiran dari kebodohan, membebaskan hati dari kesombongan, dan mengikat jiwa dengan kebenaran. Untuk itu, kita memerlukan antara lain:

1. Ilmu yang menjadi kewajiban, bukan sekadar hobi.

2. Karakter kritis yang berani bertanya dan mencari jawaban.

3. Semangat gotong royong intelektual untuk membangun bangsa bersama.

4. Iman yang menjadi pengarah setiap langkah ilmu.

Imam Syafi’i رحمه الله berkata:
من أراد الدنيا فعليه بالعلم، ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم، ومن أرادهما معًا فعليه بالعلم
“Barang siapa menginginkan dunia, hendaklah ia memiliki ilmu. Barang siapa menginginkan akhirat, hendaklah ia memiliki ilmu. Dan barang siapa menginginkan keduanya, hendaklah ia memiliki ilmu.”

Doa agar meraih kemerdekaan sejati dan lepas dari pahitnya kebodohan

اللَّهُمَّ نَوِّرْ عُقُولَنَا بِنُورِ الْعِلْمِ، وَأَطْلِقْ قُلُوبَنَا مِنْ قُيُودِ الْجَهْلِ، وَأَعِذْنَا مِنْ ذُلِّ الكَسَلِ وَالْغَفْلَةِ، وَاجْعَلْنَا مِنْ قَوْمٍ تَحَرَّرُوا بِالْحَقِّ وَالعِلْمِ وَالإِيمَانِ، وَانْزِعْ عَنَّا رِبْقَةَ الجَهْلِ الَّذِي يَمْنَعُ الكَرَامَةَ وَالحُرِّيَّةَ.

“Ya Allah, terangilah akal kami dengan cahaya ilmu, bebaskan hati kami dari belenggu kebodohan, lindungilah kami dari kehinaan malas dan lalai. Jadikan kami bagian dari kaum yang merdeka dengan kebenaran, ilmu, dan iman. Cabutlah dari kami jerat kebodohan yang menghalangi kemuliaan dan kebebasan.”

#Wallahu A’lam Bis-Sawab

Facebook Comments Box