Merdeka Energi: Jalan Menuju Kedaulatan Nasional

 Merdeka Energi: Jalan Menuju Kedaulatan Nasional

Oleh: Tunjung Budi Utomo, Peneliti Institut Energi Anak Bangsa (IEAB)

“Tujuan kita merdeka, adalah untuk merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kelaparan, merdeka dari penderitaan. Negara kita harus bisa berdiri di atas kaki kita sendiri. Negara kita harus berdaulat secara ekonomi…” (Presiden RI, Prabowo Subianto, 15 Agustus 2025).

Kalimat Presiden Prabowo dalam Sidang Tahunan MPR itu menegaskan kembali arah perjalanan bangsa. Kemerdekaan politik, yang telah diproklamasikan 80 tahun lalu, belumlah cukup jika bangsa ini masih bergantung pada energi impor, masih tunduk pada permainan harga global, atau bahkan dikendalikan oleh segelintir kartel energi di dalam negeri.

Merdeka energi merupakan prasyarat bagi Indonesia untuk benar-benar berdaulat. Sebab, energi bukan hanya urusan teknis soal listrik, minyak, dan gas. Energi adalah urat nadi peradaban modern, penopang industri, penggerak transportasi, dan penghidup dapur rumah tangga. Singkatnya, tanpa energi yang mandiri dan terjangkau, kesejahteraan rakyat akan selalu rapuh.

Presiden Prabowo mengingatkan bahwa “kekuatan suatu negara terletak di bagaimana negara itu menguasai dan mengelola kekayaannya”. Pesan ini relevan ketika kita menyaksikan paradoks energi nasional.

Indonesia adalah produsen batubara terbesar kedua di dunia, salah satu pemilik cadangan nikel terbesar, dan memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah. Namun, rakyat masih kerap menghadapi harga BBM yang fluktuatif, listrik yang belum sepenuhnya merata, dan subsidi energi yang bocor.

Kondisi ini menggambarkan apa yang disebut Presiden sebagai net outflow of national wealth, kekayaan alam kita lebih banyak dinikmati pihak luar, sementara rakyat di dalam negeri hanya memperoleh sisa nilai tambah. Tanpa koreksi mendasar, bangsa ini berpotensi jatuh pada jebakan ketergantungan, kehilangan kedaulatan ekonomi, dan bahkan gagal memanfaatkan “bonus energi” untuk generasi mendatang.

Dalam pidatonya, Presiden menegaskan kembali relevansi Pasal 33 UUD 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Amanat ini seharusnya menjadi kompas moral dan konstitusional bagi seluruh kebijakan energi nasional. Namun, realitas sering jauh panggang dari api.

Distorsi kebijakan, dominasi oligarki, hingga lemahnya pengawasan membuat cabang-cabang produksi yang vital sering dikuasai oleh segelintir pihak. Akibatnya, rakyat hanya menjadi penonton di tengah limpahan sumber daya. Konsistensi menjalankan amanat Pasal 33 menjadi kunci. Energi tidak boleh dipandang semata-mata sebagai komoditas untuk diperdagangkan, melainkan hak rakyat yang wajib dijamin negara.

Sikap Presiden cukup tegas. Ia menyatakan, “Kami pastikan rakyat Indonesia tidak menjadi korban … para pengusaha yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan menipu dan mengorbankan rakyat Indonesia”. Fenomena yang beliau maksud tidak lain adalah praktik ekonomi rakus di sektor energi.

Mafia migas yang mengatur suplai dan harga, kartel batubara yang bermain ekspor tanpa kendali, hingga praktik monopoli dalam distribusi LPG dan gas industri, semua menjadi beban bagi rakyat. Negara tidak boleh absen. Negara harus hadir dengan kewenangan penuh, yakni sebagai regulator, pengawas, sekaligus pengelola strategis untuk memastikan energi dikelola bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, peran ini jangan sampai dipisahkan, harus terintegrasi dan melembaga.

Penegakan hukum terhadap perusahaan energi yang melanggar aturan, seperti langkah penertiban sawit dan tambang ilegal, menjadi preseden penting. Energi tidak boleh dijadikan arena bancakan segelintir pihak.

Namun, merdeka energi tidak bisa hanya dipahami dalam kerangka energi fosil. Dunia sedang bergerak menuju transisi energi. Indonesia yang memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, sinar matahari melimpah sepanjang tahun, serta sumber biomassa dan energi angin, seharusnya menjadi pemain utama. Sayangnya, hingga kini transisi energi masih berjalan lambat.

Investasi energi terbarukan seringkali tersendat oleh regulasi yang tumpang tindih, insentif yang minim, dan ketergantungan pada impor teknologi. Di sinilah arah baru yang ditetapkan Presiden perlu mendapat perhatian.

Kehadiran Danantara, lembaga pengelola investasi strategis dengan aset lebih dari 1 triliun dolar AS, bisa diarahkan menjadi motor penggerak pembangunan energi berkelanjutan. Jika diarahkan secara konsisten, Danantara tidak hanya menjadi mesin investasi, melainkan juga instrumen kedaulatan energi nasional.

Visi Presiden Prabowo sederhana namun mendalam, yakni “Wong cilik iso gemuyu. Itulah tujuan kemerdekaan yang sesungguhnya”. Senyum wong cilik hanya akan lahir bila kebutuhan dasar rakyat terpenuhi, termasuk akses energi yang adil.

Bayangkan, seorang petani di pelosok bisa mengolah hasil panennya karena listrik tersedia 24 jam. Nelayan dapat menyimpan hasil tangkapan dengan es dari pabrik pendingin berbasis energi surya. Anak-anak di desa belajar malam hari tanpa khawatir listrik padam. Itulah wajah merdeka energi—energi yang menghadirkan keadilan sosial, bukan ketimpangan.

Delapan puluh tahun lalu, para pendiri bangsa mengusir penjajah karena tidak rela kekayaan negeri ini terus diangkut keluar. Kini, tantangannya bukan lagi kolonialisme klasik, melainkan kolonialisme energi dalam bentuk ketergantungan impor, dominasi kartel, dan ekonomi rakus yang menyingkirkan kepentingan rakyat.

Merdeka energi bukan pilihan, melainkan keniscayaan. Tanpa energi yang berdaulat, Indonesia tidak mungkin berdiri tegak sebagai negara besar. Dengan mengacu pada amanat UUD 1945, konsistensi melawan praktik ekonomi rakus, dan keberanian melompat ke era energi terbarukan, Indonesia bisa mewujudkan cita-cita itu.

Senyum wong cilik adalah tolok ukur sejati. Dan senyum itu hanya akan hadir bila bangsa ini benar-benar merdeka, termasuk merdeka energi.

Facebook Comments Box