Fikri Thalib, Sosok yang Concern terhadap Kemanusiaan dan Praxis Islam

 Fikri Thalib, Sosok yang Concern terhadap Kemanusiaan dan Praxis Islam

 

Fikri Thalib sepertinya belajar dari pengalaman hidupnya sendiri dan dari pergaulannya yang luas melintasi batas-batas suku, agama, ras dan aliran politik (SARA), dengan sendirinya menyimpulkan bahwa nilai kehidupan di dunia yang fana ini adalah seberapa jauh seseorang komit dan memberi manfaat pada penyelesaian konkret masalah kemanusiaan dan menarik kekuatan kesadaran Islam itu secara nyata sebagai energi dalam praksis kemanusiaan.

Di antara masalah kemanusiaan yang selalu muncul dalam daftar utama, misalnya kesewenang-wenangan yang mengundang konflik, diskriminasi politik, sosial dan ekonomi, penindasan, pembodohan, pemusatan kekayaan dan kekuasaan, kesenjangan dan perlakuan yang tidak setara (equal) antar sesama manusia.

Setiap daftar masalah kemanusiaan tersebut yang bila diringkas menjadi masalah ketidakadilan, selalu menjadi concern dan atensi penuh dari pemikiran dan perasaan mendiang Fikri Thalib.

Itulah sebabnya, rentang perhatiannya membentang luas, mulai dari isu buruh, isu akses difable terhadap dunia yang tidak ramah dan bias, kesempatan dan nasib anak-anak muda, konflik Israel vs Palestina, hingga peminggiran dan manipulasi aspirasi politik umat Islam di Indonesia sendiri. Pendeknya, beliau di antara segelintir tokoh nasional yang sangan sensitif bila berkaitan dengan problem kemanusiaan dan aplikasi kesadaran Islam secara konkret.

Saya duga, yang terakhir ini, kesadaran Islam dalam aplikasi kemanusiaan yang praksis, merupakan perkembangan yang tak terelakkan dari kehidupannya yang unik dan berdimensi luas. Dia berhasil melampaui batasan mentalitas diskriminatif, karena dugaan saya bahwa pengalamannya membuktikan: betapa tidak nyamannya terdiskriminasi oleh konstruksi sosial dan dalam praksis pergaulan sosial.

Menyangkut soal ini, suatu waktu di tahun 2017, saya diajak oleh almarhum ke suatu acara yang cukup ramai di belakang kantor Republika. Orang-orang sudah ramai yang hadir. Saya dan beliau tiba dengan mobilnya yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa dikendalikannya dengan kedua tangannya.

Rem dan gas, semua di dekat stir. Saya duduk di sampingnya di bagian depan. Lalu mobil dia parkirkan setiba di lokasi tersebut. Tentu saja saya buru-buru menyiapkan kursi roda listriknya yang berada di bagian belakang mobil, setelah turun dari mobil itu. Saya turunkan kursi itu dan dorong ke tempat almarhum menyetir, lalu membuka pintu, beliau berusaha sekuat tenaga untuk turun dan menempatkan badannya di kursi roda tersebut. Saya hawatir jika badan beliau tergelincir. Setelah semuanya beres, saya mendorongnya.

Saya berpikir, sepantasnya saya memuliakan beliau dengan mendorong. Tapi beliau mengisyaratkan agar membiarkan dirinya melakukan sendiri bergerak dengan kursi rodanya. Saya sudah paham bahwa pengertiannya ialah dia tidak mau diperlakukan secara berbeda (diskriminatif).

Diskriminatif, hanya dengan mendorong kursi rodanya? Ya. Dia ingin melakukan sendiri selagi hal itu mampu dilakukannya, dan dia tidak ingin dilayani untuk hal-hal remeh baginya. Rupanya, diskriminasi tidak hanya soal kurangnya akses bagi kalangan difable pada fasilitas-fasilitas publik, bahkan jika Anda memperlakukan difable dengan sikap iba, bagi almarhum hal itu juga bentuk dari sikap diskriminatif.

Cukup perlakukan kalangan difable secara wajar laiknya perlakukaan Anda kepada yang bukan difable, baik secara verbal maupun tindakan. Ini merupakan warisan pelajaran berharga yang saya kenang dari almarhum selama nyaris 8 tahun bekerjasama, berdiskusi dan bergaul dengan beliau.

Keseharian Fikri Thalib

Menyadari kesehatan dan usia tubuhnya yang makin bertambah, beliau amat suka tentang obat-obatan herbal. Karena sering bersama dengan beliau di kantornya di Jatinegara itu, banyak sekali macam-macam herbal yang saya tahu khasiat, rasa dan bentuknya akibat diperkenalkan oleh almarhum. Di kulkasnya, tersimpan banyak herbal dan juga kadang diletakkan di luar kulkas. Menunjukkan betapa concernnya almarhum tentang kesehatan. Kadangkala ditanamnya di pot-pot di parkiran kantornya.

Ketika saya berada di ruangannya, banyak sekali orang dari beragam kalangan datang selalu menemuinya, baik untuk diskusi, ajakan kerjasama, hingga minta bantuan dana. Mulai dari orang-orang terkenal hingga rakyat lemah yang butuh uluran tangan. Di ruangan pojok dari deretan ruko itu pula saya kerap bertemu dengan Bang Indera Nababan. Bang Indera Nababan, tampaknya bestie (sohib) benar dengan almarhum Bang Fikri Thalib.

Bang Indera Nababan ini sebenarnya tokoh Kristen Protestan (HKBP), tapi memiliki kesamaan kimiawi dengan Fikri Thalib. Mereka cocok satu sama lain terkait isu pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan politik rakyat. Agaknya bang Indera Nababan bukanlah tokoh agama, melainkan aktivis kemanusiaan belaka. Bang Indera Nababan kadangkala membawa beberapa orang dan kadang datang sendiri dengan gayanya yang sederhana, santai dan lugas.

Indera Nababan merupakan adik dari pendeta SAE Nababan, ephorus yang disegani di masanya dan sekaligus abang dari Panda Nababan, wartawan kawakan. Rupanya Bang Indera sudah pulang sebulan lebih dulu ke alam baka pada Minggu 20 Juli 2025 dini hari, pukul 01.30 di Rumah Sakit Aliyah Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Harapan Yang Masih Menggantung

Almarhum Fikri Thalib masih menyimpan asa terkait pengembangan masyarakat, khususnya kaum muda. Beliau sadar betul, masa depan kehidupan berada pada kehidupan kaum muda. Saya sudah diamanatkannya untuk mengembangkan ide-ide yang tanpa bosan dibicarakannya kepada saya.

Pendeknya, kemandirian, kreativitas, inovasi dan kesadaran religius anak-anak muda, harus menjadi unsur yang mengisi masyarakat dalam menjawab perkembangan masa depan yang dirasakannya mencemaskan dan sulit diprediksi. Saya pun berusaha mewujudkannya, tapi memang hal itu membutuhkan dukungan yang tidak kecil. Saya telah sempat dua kali membuat lingkaran untuk menyuburkan ide almarhum tersebut di rumah seorang kawan yang mengapresiasi dengan baik niat tulus Bang Fikri, yaitu Andi Riswandi.

Saya sadar, ide almarhum tersebut membutuhkan effort yang besar dan konsisten.

Religiusitas Fikri Thalib

Biar pun dalam keadaan terbatas secara fisik, Fikri Thalib selalu menunaikan sholat di atas kursi rodanya. Dia biasa mengambil air wudlu di dalam kamar mandi di ruang kerjanya yang sederhana. Setelah itu, dia tampak khusu’ malakukan “komunikasi ghaib” atau sholat dengan rabb-nya. Saya perhatikan, dari takbiratul ihram hingga sebelum ruku’, dia melakukannya demikian lama dan intens. Serasa konsentrasi penuh. Tidak terlihat kesan tergesa-gesa. Tumakninahnya sempurna. Ini teladan yang sangat baik untuk dikenang.

Kadangkala ketika tamu-tamunya masih larut dengan kegembiraan diskusi sesama di ruangan beliau, menyadari waktu sholat sudah lewat, dia tanpa ragu minta izin untuk menunaikan shalat.

Suatu ketika, sahabat-sahabat beliau dari yang beragama Kristen mau masuk, walaupun dia menyadari kedatangan mereka melalui suara-suara mereka, dia tetap dengan tenang menunaikan shalat. Tentu saja para tamu itu sudah biasa dan maklum menyaksikan cara shalat almarhum. Dan setelah shalat, dengan wajah cerah dan ramah, beliau menyilahkan masuk dan duduk di sofa kuning yang empuk di hadapannya. Lalu seperti biasa, Uki yang sangat setia (pembantu beliau), membawakan kopi yang mengepul menggoda.

Minum kopi dengan diskusi yang selalu menyenangkan dan penuh gagasan positif dengan almarhum inilah yang agak sulit dilupakan bila saya tiba di Jatinegara. Seorang aktivis pasti tahu, kesepian akibat hilangnya teman berbagi gagasan dan dukungan moril dan meteril, merupakan kehilangan yang cukup pahit dan menyiksa.

Semoga almarhum Bang Fikri Thalib mendapatkan pahala di alam baqa atas kebaikan-kebaikannya yang tak terkira kepada sesama manusia selama hidupnya di alam fana ini.

Oleh: Syahrul Efendi Dasopang, Mantan Ketum PB HMI 2007 – 2009

Facebook Comments Box