Tidak Ada Istilah Kata-kita, yang Ada Istilah Kami

Dalam pergulatan pikiran dan tindakan memperjuangkan rakyat yang tersingkir, diabaikan dan dijadikan hanya diperlakukan sebagai objek eksploitasi politik dan ekonomi, seseorang yang memcurahkan pikiran dan mentalnya untuk rakyat tersebut haruslah mencontoh ketegasan sikap dan posisi para pejuang kemerdekaan di masa lalu. Mereka jelas saat berhadapan dengan penjajah Belanda, menempatkan diri berhadap-hadapan secara mental, pikiran dan aksi dengan menggunakan kata “kami” dan kalian, sebagai pencerminan posisi yang tidak abu-abu dan sekaligus sebagai juru bicara dari rakyat yang mereka perjuangkan. Kesalahan para pejuang rakyat di masa sekarang, tidak dapat secara tegas memposisikan dirinya dalam pertarungan kepentingan antara yang menindas rakyat dan yang tertindas. Masih saja dengan naif menggunakan kata “kita” saat berbicara soal kepentingan nasional, seolah para penindas yang senantiasa menjadi objek perhatian dan analisa mereka, dianggap memiliki empati dan ketulusan dalam soal penderitaan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini suatu masalah yang membuat perkembangan perjuangan kerakyatan menjadi tidak akumulatif, malahan menjadi lumer dan akhirnya buyar akibat orientasi yang tidak terukur. Para pejuang kemerdekaan di masa lalu, jelas terukur yaitu sampai tercapai Indonesia merdeka dan posisinya juga jelas, tidak ragu berhadapan diametral dengan golongan penjajah.
Sekarang, jika kita lihat sejarah perjuangan kerakyatan selepas Indonesia merdeka, tidak terukur secara jelas, penindas tetap saja bercokol dalam struktur sosial ekonomi yang menguntungkan. Contohnya, ketika Belanda telah terdepak, kedudukan menguntungkan tersebut langsung diisi oleh pihak lain dan melanjutkan aktivitas penindasan dan pengisapan pada rakyat yang belum teremansipasi akibat kolonialisme yang akut. Sekelompok elit yang kolaboratif, alih-alih menghilangkan praktik eksploitasi, justru melembagakan dan mengembangkan eksploitasi rakyat yang jauh lebih buruk dan kejam atas nama hak sesama bangsa. Edisi dominasi militer dan konglomerat sampai hari ini pun tetap beroperasi dalam politik dan ekonomi.
Para pejuang kerakyatan gagap menghadapi tantangan ini. Karena memang, perbedaan aktor tidak sekontral pada masa penjajahan. Padahal hakikat operasinya, tidak berbeda, malahan lebih buruk dan kejam.
Para pejuang kerakyatan mengalami ambigu dalam menghadapi hal ini. Apalagi, para penindas ini, karena sama-sama sejenis dan sebangsa, dapat lebih leluasa mencengkeramkan pengaruhnya kepada kekuatan-kekuatan massa rakyat secara langsung tanpa perantara kelas bangsawan atau Timur Asing seperti yang dilakukan Belanda di masa lalu. Padahal, eksploitasi dan kekerasan yang ditimbulkan oleh pola hubungan penjajahan pribumi atas pribumi ini, sama jahat dan kejamnya dengan penjajahan di masa lalu, kalau bukan lebih brutal.
Seharusnya hal ini menyadarkan para pejuang kerakyatan dan tegas mengambil sikap dan posisi tidak abu-abu, sehingga dapat menghindari penggunaan kata kita saat berhadapan dengan para penindas yang sudah jelas juntrungannya tersebut.
Harus berani menyatakan kata kami saat berhadapan politik dengan para penindas yang luar biasa serakahnya tersebut. Tidak bisa secara abu-abu meletakkan diri berada di antara kepentingan rakyat yang menerus diisap dan pinggirkan dengan para penjajah yang pesta pora melalap kekayaan bumi dan penduduk Indonesia.
Saat ini, rakyat yang miskin terus dijaga populasinya agar tetap menguntungkan secara politik dan ekonomi bagi penjajah yang mengaku pribumi tersebut, jika perlu terus dicekoki dogma melalui serentetan pendidikan agar tetap bodoh dan hilang keberanian untuk mandiri dari pengaruh yang mencekoki akal merdeka mereka. Kadangkala instrumen agama digunakan tanpa rasa malu oleh para penjajah yang kolaboratif ini demi kelangsungan penjajahan tersebut.