Andaikan Aku Seorang Palestina-Jalur Gaza

 Andaikan Aku Seorang Palestina-Jalur Gaza

Selama 2 tahun lebih kurang, perang di Jalur Gaza antara Hamas, Jihad Islam versus tentara Israel, telah menghancurkan pemukiman di Jalur Gaza. Gedung-gedung hancur, jalanan tertimbun rongsokan. Nyaris tidak ada kehidupan lagi di tempat-tempat strategis seperti sebelum perang.

Kini, dunia internasional mencoba memaksa menghentikan perang tersebut. Israel karena dipaksa oleh Amerika Serikat melalui Presiden Donald Trump, akhirnya bersedia berhenti mengepung Gaza dan mengejar pejuang Hamas. Tapi mungkin hanya sementara. Itu pun karena tekanan masyarakat internasional.yang begitu deras dan sengit. Posisi Israel sampai terakhir sebelum dicapai kesepakatan penghentian perang, telah begitu buruk dan tersudut secara internasional. Tampaknya Amerika Serikat mencoba menyelamatkan Israel agar tidak makin remuk dihujani rasa kebencian dunia yang bisa-bisa mengakhiri eksistensi negara Yahudi tersebut.

Pada saat yang sama, jika perang terus tanpa reda, Jalur Gaza juga mungkin akan lenyap dari tangan Palestina. Dan itu tampaknya yang ingin dicapai oleh Israel, walaupun tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena terus dihalangi oleh serangan pejuang Hamas, Jihad Islam, Hauthi Yaman, dan Iran satu-saunya negara yang tanpa ragu mengambil posisi sebagai tulang belakang dari setiap entitas pertahanan agar Gaza tidak jatuh total ke tangan Israel.

Kini untuk sementara perang di Jalur Gaza jeda dan warga Palestina yang tadinya mengungsi kini secara deras mengalir kembali ke rumah-rumah mereka yang sudah luluh lantak. Mesin-mesin perang Israel mundur dari Jalur Gaza, walaupun tetap siap sedia untuk menyerang kembali. Yang penting, biar pun Jalur Gaza telah hancur demikian parah, namun warga Palestina dapat kembali ke tanah mereka semula, sehingga wilayah sekerat yang sempit tersebut, tidak jatuh secara kepemilikan ke tangan Israel. Artinya, wilayah itu tetap dapat dipertahankan oleh Palestina. Bahwa kemudian intervensi internasional terpaksa masuk dalam menata masa depan Jalur Gaza, bagi Hamas tampaknya tidak keberatan, selama hak mereka untuk mempertahankan diri tidak dibunuh.

Tapi apa yang penting bagi kita untuk dicermati dari peristiwa kemanusiaan yang pilu sekaligus mengagumkan ini, bahwa orang-orang Palestina di Jalur Gaza bukanlah tipe manusia pada umumnya. Mereka tampaknya telah terbentuk sedemikian rupa menjadi manusia-manusia tiada tara dalam menghadapi bencana, penderitaan, penindasan, kehancuran, kemiskinan, penghinaan hingga pengusiran secara sistematis melalui serangkaian pengalaman panjang, tapi uniknya mereka tiada lelah, tiada putus asa, tiada ide untuk menyerah dan terus bersemangat untuk berjuang sampai titik darah penghabisan, bahkan sampai kiamat pun mereka tidak ada keraguan sedikit pun. Justru yang lelah dan terpapar rasa putus asa adalah publik internasional yang menyoroti tragedi Palestina itu.

Bila dibandingkan dengan penderitaan kita di Indonesia yang dimiskinkan oleh aliansi oligarki dan pejabat tamak, tak ada sekuku pun taranya dengan penderitaan yang ditimbulkan oleh Israel terhadap bangsa Palestina di Jalur Gaza. Bila dibandingkan dengan kekejaman, kebrutalan dan kerakusan yang tiada malu yang dilakukan oleh Israel terhadap hak hidup dan hak akan tanah air Palestina, tidak sekelumit pun bandingannya dengan kerakusan dan keacuhan yang dibuat oleh oligarki bersekutu dengan elit-elit pejabat negara di Indonesia.

Rakyat di Indonesia masih bisa memiliki peluang untuk melangsungkan hidup di sekujur pulau-pulau Indonesia yang luas, kalau dibandingkan hidup di Jalur Gaza yang demikian miskin secara sumber daya hidup. Tapi kenapa orang-orang Palestina demikian gigih dan pantang menyerah dengan tantangan yang dibuat oleh kejahatan Israel? Mengapa mereka demikian tabah dan kuat?

Rupanya dalam suatu penyelidikan oleh seorang mantan agen intelijen CIA yang penasaran dengan daya survive orang-orang Palestina di Jalur Gaza tersebut, berkaitan dengan keyakinan mereka yang teguh terhadap agamanya, Islam. Mereka selalu membaca Alquran, kitab suci mereka, sebagai penawar duka lara sekaligus pemompa motivasi untuk tetap teguh dan hanya menyerah pada Allah. Dan itu, kebiasaan lazim dan bukan barang mewah dalam keluarga-keluarga Palestina di Jalur Gaza.

Sekarang bila kita coba kontraskan ke rakyat Muslim Indonesia, tampak sekali Indonesia begitu rapuh dalam menghadapi cobaan hidup. Begitu banyak yang mengakhiri hidup hanya karena masalah kemiskinan. Begitu lemahnya semangat dan keberanian untuk bertindak melawan kejahatan yang diciptakan oligarki yang bersekutu dengan pejabat-pejabat korup yang memperdaya rakyat dan merampas hak-hak hidupnya yang seharusnya sejahtera.

Mungkin kita perlu lebih dalam lagi mempelajari rahasia ketahanan hidup orang-orang Palestina di Jalur Gaza.

 

Facebook Comments Box