LENTERA SANTRI DIPERSIMPANGAN ZAMAN: Dari Tradisi ke Transformasi”

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alaudin, Makassar, Sulsel
Pernahkah kita berhenti sejenak , di antara riuhnya dunia digital, hiruk pikuk politik, dan gemuruh perdebatan agama , lalu bertanya dengan jujur kepada diri sendiri:
ke manakah arah jiwa bangsa ini hendak menuju?.
Apakah kita masih menapak jalan yang dirintis para ulama dan santri yang mengorbankan hidupnya demi kemerdekaan dan kehormatan negeri ini?
Ataukah kita perlahan terperangkap dalam gemerlap dunia maya yang memudarkan nilai, menceraikan kita dari akar spiritualitas, dan mengikis semangat kebangsaan yang dulu menyala di dada para pejuang pesantren?
Pertanyaan ini bukan sekadar refleksi, tetapi juga peringatan halus agar kita tidak kehilangan arah di tengah derasnya arus zaman.
Momentum Hari Santri Nasional seharusnya menjadi cermin bagi kita , bukan hanya untuk mengenang masa lalu, melainkan untuk menghidupkan kembali jiwa perjuangan dan semangat kebangsaan yang berpijak pada nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil-‘alamin.
Sebab, di tangan santri, ulama, dan para pemimpin bangsa, tersimpan tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan antara keimanan dan kebangsaan, antara spiritualitas dan kemajuan peradaban.
Santri bukan sekadar sosok bersarung yang menimba ilmu di pesantren, melainkan penjaga moral bangsa, penafsir hikmah zaman, dan pelanjut estafet perjuangan para ulama yang telah menorehkan sejarah.
Dalam getar doa mereka, tersimpan energi ketulusan yang tak pernah padam. Di balik kesederhanaannya, ada kebijaksanaan yang mendalam, karena sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bukhari).
Maka santri sejati bukan hanya yang pandai beribadah, tetapi juga yang menebarkan akhlak mulia di tengah masyarakat, menjadi cahaya di antara gelapnya disorientasi moral yang kini melanda.
Namun, realitas kekinian menunjukkan tantangan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar perang melawan penjajah fisik.
Kini, santri, ulama, dan seluruh anak bangsa menghadapi bentuk penjajahan baru , penjajahan yang halus, kasat mata, tapi amat kuat mencengkeram, penjajahan pikiran, budaya, dan teknologi. Kita hidup di masa ketika dunia digital mengatur ritme kehidupan manusia, informasi berlimpah namun kebijaksanaan langka, pengetahuan mudah diakses tapi kebenaran sering diselewengkan.
Inilah tantangan generasi santri masa kini, bagaimana tetap menjadi hamba Allah yang tawadhu’ di tengah dunia yang menjadikan popularitas sebagai ukuran nilai?
Bagaimana menjadi pribadi yang berkarakter di tengah budaya instan dan narsistik yang melanda media sosial?
Bagaimana memanfaatkan teknologi sebagai wasilah dakwah, bukan menjadi budak dari algoritma yang mempersempit pandangan dan menjerumuskan pada radikalisme digital?
Di sinilah pentingnya semangat moderasi beragama dan inklusifisme yang telah lama hidup di pesantren.
Moderasi bukan berarti melemahkan iman, tapi menegakkan keseimbangan antara akal dan wahyu, antara tradisi dan inovasi, antara cinta Tanah Air dan cinta Ilahi.
Sebab Islam tidak datang untuk meniadakan keragaman, tetapi untuk menuntun manusia agar hidup damai di dalamnya. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”
Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan bukan ancaman, tetapi peluang untuk saling mengenal, memahami, dan memperkaya.
Di sinilah akar inklusifisme Islam tumbuh ,dan santri, dengan tradisi pesantrennya yang lentur terhadap budaya lokal, sejatinya adalah penjaga nilai ini.
Mereka belajar dari kitab klasik, namun berpikir global, mereka hormat pada guru, namun tak menutup diri pada pengetahuan baru; mereka berakar pada bumi Nusantara, namun bercita-cita menembus cakrawala dunia.
Namun, bila kita jujur, masih banyak yang harus dikoreksi secara konstruktif. Ada pesantren yang terjebak dalam formalitas, kehilangan semangat keilmuan kritis, ada santri yang lebih sibuk dengan simbol religius daripada substansi moral; bahkan tak jarang ada yang terseret dalam arus eksklusifisme keagamaan.
Padahal Islam datang membawa kasih sayang, bukan kebencian, membawa kesejukan, bukan kekerasan; sebagaimana firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyā’: 107).
Ayat ini menegaskan misi universal Islam, menghadirkan rahmat di setiap ruang kehidupan.
Maka radikalisme dan ekstremisme, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun ujaran kebencian digital, adalah antitesis dari nilai santri dan pesantren sejati.
Kini, di tengah derasnya arus globalisasi, santri ditantang untuk membuktikan bahwa mereka bukan generasi yang tertinggal. Justru, mereka harus menjadi penafsir zaman yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai klasik dengan realitas modern.
Mereka harus menjadikan teknologi sebagai minbar dakwah, bukan jebakan yang melalaikan. Media sosial bukan musuh, tapi ladang pahala bila dikelola dengan hikmah dan akhlak. Dalam sabda Nabi :
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad).
Maka santri abad ini harus menjadi insan yang membawa manfaat dalam bentuk baru, tidak hanya lewat kitab dan mimbar, tapi juga lewat ide, inovasi, dan teknologi.
Refleksi Hari Santri harus menumbuhkan kesadaran baru bahwa cinta Tanah Air bukan slogan, tapi bentuk nyata dari pengabdian kepada Allah.
Karena menjaga bangsa, menegakkan keadilan sosial, melawan kebodohan dan kemiskinan, serta membangun peradaban adalah bagian dari ibadah yang luhur.
Para ulama pendiri bangsa ini telah menegaskan bahwa jihad mempertahankan kemerdekaan adalah kewajiban agama.
Maka di masa kini, jihad itu bukan lagi dengan bambu runcing, tetapi dengan pena, dengan literasi, dengan teknologi, dan dengan akhlak yang mempersatukan.
Kita memerlukan revolusi karakter santri, bukan untuk melawan, tetapi untuk membangun. Santri yang tak hanya pandai membaca kitab, tetapi juga membaca dunia. Santri yang mampu berdialog dengan perubahan tanpa kehilangan jati diri. Santri yang menebar kedamaian, bukan kebencian. Santri yang menguasai teknologi, namun tak kehilangan spiritualitas. Santri yang rendah hati tapi tinggi kontribusi, yang menjaga bumi sekaligus memakmurkan langit hatinya.
Sebagaimana ungkapan para ulama:
العلم بلا عمل كالزرع بلا ماء
“Ilmu tanpa amal bagaikan tanaman tanpa air.”
Dan mungkin kita perlu menambahkan, teknologi tanpa nilai adalah kekuatan tanpa arah, kemajuan tanpa nurani.
Maka refleksi Hari Santri bukan hanya nostalgia, tapi panggilan moral untuk bangkit. Santri, ulama, dan pemimpin bangsa harus berkolaborasi membangun peradaban yang berakar pada iman dan berorientasi pada kemanusiaan.
Di tengah dunia yang penuh fragmentasi, mereka harus menjadi jembatan, bukan tembok; menjadi penenang, bukan pemecah; menjadi inspirasi, bukan provokasi.
Hari Santri Nasional bukan sekadar hari untuk mengenang jasa, tapi hari untuk memperbarui niat, bahwa setiap santri adalah pejuang, setiap ulama adalah penuntun, dan setiap pemimpin adalah pelayan kebenaran.
Di tangan merekalah terletak masa depan bangsa, bangsa yang beriman, berilmu, berakhlak, dan berperadaban.
Dan ketika malam turun perlahan di atas menara pesantren, di antara gema shalawat dan bisik doa santri, semoga Tuhan berkenan menjaga negeri ini dengan cahaya ilmu, kasih sayang, dan kedamaian. Sebab seperti firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11).
Dan semoga perubahan itu dimulai dari jiwa-jiwa santri, jiwa yang tenang, cerdas, terbuka, dan penuh cinta , yang siap menulis bab baru dalam sejarah bangsa dengan tinta ilmu, akhlak, dan iman.
#Wallahu A’lam Bis-sawab#🙏