Tokoh Malari 1974 M.S. Soelaeman: Soeharto Layak Diangkat Jadi Pahlawan Nasional

 Tokoh Malari 1974 M.S. Soelaeman: Soeharto Layak Diangkat Jadi Pahlawan Nasional

JAKARTA – Tokoh pergerakan mahasiswa era Orde Baru, M.S. Soelaeman, menilai Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Penilaian tersebut ia sampaikan berdasarkan pengalaman langsungnya sebagai pelaku sejarah peristiwa Malari 1974 dan gerakan Kampus Kuning 1977–1978.

Dalam forum diskusi bertema “Soeharto dan Pahlawan Nasional”, Minggu (9/11), Soelaeman mengisahkan perjalanan panjangnya sebagai aktivis mahasiswa hingga dosen yang beberapa kali berhadapan dengan tekanan rezim. Ia juga mengajak publik menilai sosok Soeharto secara proporsional, tidak semata dari sisi kelamnya, tetapi juga dari jasa besar yang pernah diberikannya bagi bangsa.

“Saya tidak menutup mata terhadap pelanggaran HAM di masa itu. Tapi kita juga harus jujur, banyak hal baik yang diwariskan Soeharto bagi pembangunan dan stabilitas bangsa,” ujar Soelaeman.

Sebagai salah satu saksi hidup peristiwa Malari 15 Januari 1974, Soelaeman menceritakan kembali kronologi demonstrasi mahasiswa yang berujung kerusuhan besar di Jakarta. Ia menegaskan bahwa aksi mahasiswa saat itu berlangsung damai dan tidak bertujuan merusak fasilitas publik.

“Mahasiswa tidak membakar dan tidak menjarah. Kami turun ke jalan karena kepedulian terhadap nasib bangsa, bukan untuk membuat kekacauan,” ujarnya.

Menurut Soelaeman yang dikenal dengan panggilan akrab Kang Soel menyebutkan, kerusuhan terjadi akibat kehadiran kelompok lain yang memprovokasi massa di lapangan. Ia menduga peristiwa itu bukan spontan, melainkan bagian dari dinamika politik internal yang sedang memanas di lingkar kekuasaan.

“Kerusuhan Malari saya yakini bukan murni gerakan mahasiswa. Ada pihak-pihak yang memanfaatkan momentum politik saat itu,” katanya.

Pasca peristiwa tersebut, Soelaeman termasuk di antara sekitar 800 mahasiswa yang ditangkap. Ia kemudian kembali ditahan pada 1977 karena dianggap memprovokasi mahasiswa dalam gerakan Kampus Kuning.

“Saya sempat dituduh menghasut mahasiswa menolak hasil Pemilu 1977. Padahal saya hanya menyuarakan tanggung jawab moral terhadap demokrasi,” ujarnya.

Dalam paparannya, Soelaeman mengurai dua sisi besar kepemimpinan Soeharto yang ia sebut sebagai “dosa dan jasa.”
Menurutnya, dosa Soeharto antara lain pelanggaran HAM di berbagai peristiwa, seperti tragedi 1965, Tanjung Priok, Talangsari, Marsinah, dan Trisakti, serta praktik KKN dan pembatasan politik rakyat. Namun, di sisi lain, jasa Soeharto juga besar dari pembubaran PKI, keberhasilan swasembada pangan, pertumbuhan ekonomi stabil selama dua dekade, dan program keluarga berencana yang diakui dunia.

“Soeharto memang punya sisi kelam, tapi juga punya peran besar dalam membangun fondasi ekonomi nasional. Kita tidak bisa menilai sejarah hanya dari satu warna,” ucapnya.

Soelaeman menilai Soeharto berhasil menjaga stabilitas nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ia menyebut, selama Orde Baru, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai 7 persen, inflasi terkendali, dan kebutuhan pokok relatif terjangkau.

“Rakyat hidup tenang, kesempatan kerja terbuka luas, dan Indonesia dikenal di dunia sebagai negara yang stabil,” katanya.

Meski pernah menjadi korban dari kekuasaan Orde Baru, Soelaeman mengaku tidak menyimpan dendam pribadi terhadap Soeharto. Ia justru berpendapat bahwa bangsa ini perlu bersikap adil dalam menilai sejarah.

“Kalau Soekarno dengan segala kesalahannya bisa diangkat menjadi pahlawan nasional, maka Soeharto pun berhak atas penghormatan yang sama,” ujarnya.

Bagi Soelaeman yang saat ini aktif sebagai Penasehat Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI), menyebutkan ketidaksetaraan dalam menilai dua tokoh besar itu adalah bentuk ketidakadilan sejarah. Ia menegaskan bahwa memahami sejarah bukan berarti menutupi kesalahan masa lalu, tetapi menempatkan setiap peristiwa dalam konteksnya secara utuh.

“Kepemimpinan Soeharto adalah cermin kompleksitas bangsa. Ada represi, tapi ada juga keberhasilan besar. Penilaian terhadap beliau tidak bisa hitam putih,” katanya.

Soelaeman berpesan kepada generasi muda agar memandang sejarah dengan hati jernih, tanpa fanatisme dan kebencian.

“Sejarah harus dibaca dengan nalar, bukan emosi. Dari keberhasilan dan kegagalan masa lalu, kita belajar bagaimana membangun masa depan yang lebih adil dan berkeadaban,” pungkasnya.

Facebook Comments Box