PAHLAWAN DAN KORUPSI MORAL: Saat Negeri Butuh Keberanian, Bukan Sekadar Peringatan

 PAHLAWAN DAN KORUPSI MORAL: Saat Negeri Butuh Keberanian, Bukan Sekadar Peringatan

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin, Makassar / Direktur LAPSENUSA (Lembaga Advokasi dan Pengenbangan Sosial dan Ekonomi Nusantara)

Sampai kapan kita memperingati Hari Pahlawan hanya dengan karangan bunga dan pidato kosong?

Apakah arti kepahlawanan masih hidup di antara bangsa yang sibuk memuja jabatan dan kemewahan, tetapi abai pada nurani dan moralitas?

Apakah makna kemerdekaan masih relevan jika keadilan hanya berpihak pada yang berduit, sementara yang miskin terus berjuang tanpa ruang?

Dan apakah kita masih pantas menyebut diri sebagai pewaris pahlawan jika kita justru menggadaikan idealisme mereka demi kenyamanan pribadi?

Apakah pahlawan hanya akan hidup dalam potret hitam putih di dinding kantor , kampus dan sekolah, atau masih bernafas dalam keberanian yang menuntut perubahan?

Apakah keberanian itu kini tinggal legenda, sementara bangsa terperangkap dalam jebakan kepalsuan moral yang semakin menua?

Dan jika sebuah bangsa memuja pahlawannya setiap tanggal 10 November, tetapi membiarkan korupsi dan kemunafikan menjarah nurani, bukankah itu bentuk pengkhianatan paling halus terhadap nilai yang mereka wariskan?

Ada masa ketika darah dan air mata menjadi harga sebuah kemerdekaan. Namun kini, ketika bangsa ini merdeka dari penjajahan fisik, kita justru dijajah oleh bentuk perbudakan baru: korupsi moral.

Ia bukan lagi tentang uang atau kekuasaan semata, tetapi tentang kebisuan kolektif terhadap keburukan yang dibiarkan tumbuh.

Judul ini, Pahlawan dan Korupsi Moral, bukan sekadar peringatan tahunan, ia adalah renungan tentang keberanian yang kian langka, tentang idealisme yang perlahan ditukar dengan kompromi, dan tentang bagaimana negeri ini lebih sering merayakan kepahlawanan dengan seremonial ketimbang meneladani esensinya.

Pahlawan sejati tidak lahir dari panggung, tetapi dari pergulatan batin yang menolak tunduk pada ketidakadilan.

Mereka bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan nyala yang menuntut keberlanjutan moral di masa kini.

Ketika keadilan dinistakan dan hukum diperdagangkan, maka setiap orang yang berani bersuara, yang melawan ketakutan, dan yang menolak tunduk kepada kezaliman, adalah pahlawan dalam pengertian sejatinya.

Pertanyaan-pertanyaan diatas menggema di tengah bangsa yang tengah kehilangan arah moral.

Negeri ini, yang dahulu ditegakkan oleh darah dan air mata para pahlawan, kini terguncang oleh apa yang disebut “korupsi moral” , yakni penyakit jiwa sosial yang lebih berbahaya dari sekadar korupsi uang. Ia menggerogoti nurani, mematikan empati, dan memupus rasa malu.

*Dari Pahlawan yang Mengorbankan, Menuju Generasi yang Memanfaatkan*

Dulu, para pahlawan berjuang dengan darah dan air mata. Kini, sebagian pejabat berjuang dengan proposal dan tanda tangan.

Dulu, mereka mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan. Kini, sebagian orang mempertaruhkan integritas demi proyek dan kekuasaan.

Padahal, pahlawan sejati tidak dilahirkan dari jabatan, tapi dari keberanian moral. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Ankabut (29:2):
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji?”

Ayat ini mengingatkan bahwa nilai sejati bukan pada pengakuan, tetapi pada ujian moral.

Pahlawan diuji dalam kesulitan, sementara para koruptor moral gagal dalam kemudahan.

Ujian itulah yang membedakan antara mereka yang benar-benar beriman dan mereka yang hanya berpura-pura.

*Korupsi Moral: Wajah Baru Penjajahan*

Korupsi moral adalah penjajahan modern. Ia tidak lagi datang dari bangsa asing, melainkan dari dalam hati anak negeri sendiri.

Korupsi moral tidak hanya mencuri uang negara, tetapi juga mencuri kepercayaan rakyat, mencuri masa depan anak-anak, bahkan mencuri makna kejujuran.

Rasulullah SAW.bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah datangnya kiamat.”
(HR. Bukhari)

Hadis ini bukan sekadar ancaman metafisik, tetapi realitas sosial.
Ketika amanah dikhianati, sistem hancur, kepercayaan hilang, dan bangsa pun menuju kehancuran moral.

Lihatlah di sekeliling kita, dari sekolah yang kehilangan idealisme, hingga parlemen yang kehilangan rasa malu.

Kita hidup di zaman di mana integritas menjadi langka, dan kebohongan menjadi seni berpolitik.
Padahal, bangsa yang kehilangan moral sama dengan tubuh tanpa ruh yang berjalan, tetapi mati di dalam.

*Keberanian Moral: Esensi Kepahlawanan yang Hilang*

Pahlawan sejati tidak selalu mengangkat senjata. Kadang, ia mengangkat suara ketika yang lain memilih diam.

Keberanian moral adalah bentuk jihad modern, melawan ketidakadilan, kemunafikan, dan keserakahan. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa (4:135):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri.”

Inilah inti dari kepahlawanan,keberanian menegakkan kebenaran walau melawan arus.

Namun hari ini, banyak orang justru takut menyuarakan kebenaran karena khawatir kehilangan jabatan, kenyamanan, atau bahkan popularitas.

Dalam konteks ini, peringatan Hari Pahlawan seharusnya bukan hanya seremoni, tapi momen refleksi, apakah kita masih punya keberanian untuk jujur, adil, dan berintegritas?

*Dari Heroisme ke Hipokrisi*

Ironisnya, banyak di antara kita mengagungkan para pahlawan, tetapi menolak meneladani nilai mereka.

Kita menghormati nama besar mereka di tugu-tugu, namun mengkhianati cita-cita mereka di meja-meja kekuasaan.

Sebagaimana dikatakan Sayyidina Umar bin Khattab رضي الله عنه:
إِنَّا قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ فَمَهْمَا ابْتَغَيْنَا الْعِزَّةَ بِغَيْرِهِ أَذَلَّنَا اللَّهُ
“Sesungguhnya kami adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Maka jika kami mencari kemuliaan selain dengannya, Allah akan menghinakan kami.”
(HR. Hakim)

Kahlifah Umar RA. menegaskan bahwa kemuliaan bukan pada pangkat atau harta, melainkan pada kejujuran iman dan moralitas.

Kini, bangsa ini terjebak pada paradoks: kita ingin dihormati dunia, tetapi tidak mau menghormati nilai-nilai luhur sendiri.

*Spirit Kepahlawanan dalam Perspektif Islam*

Dalam pandangan Islam, pahlawan sejati (asy-syuhada) adalah mereka yang berjuang demi kebenaran dan keadilan, bukan demi pamrih duniawi. Rasulullah SAW.bersabda:
أفضل الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zalim.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

Hadis ini mengajarkan bahwa pahlawan sejati tidak selalu menumpahkan darah, tetapi berani berkata benar ketika kebenaran terancam.

Maka, peringatan Hari Pahlawan bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi menghidupkan keberanian moral di masa kini.

*Krisis Moral dan Tanggung Jawab Sosial*

Korupsi moral tidak bisa dilawan dengan pidato. Ia hanya bisa ditumpas dengan keteladanan.
Ketika pemimpin hidup dalam kemewahan yang berlebihan, rakyat kehilangan arah panutan.Ketika pejabat sibuk memperkaya diri, rakyat kehilangan harapan. Allah memperingatkan dalam Surah Al-Baqarah (2:188):
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil.”

Ayat ini bukan hanya soal korupsi finansial, tetapi juga korupsi nilai.
Setiap kali seseorang mengkhianati amanah, memanipulasi kebenaran, atau menipu publik, di situlah terjadi pengkhianatan spiritual terhadap bangsa dan agama.

*Saat Negeri Butuh Keberanian, Bukan Sekadar Peringatan*

Bangsa ini tidak kekurangan upacara peringatan, tetapi kekurangan teladan keberanian. Tidak kekurangan pidato tentang integritas, tetapi kekurangan tindakan nyata.

Kita terlalu sering memuja pahlawan masa lalu, tetapi lupa mencetak pahlawan masa kini.Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ … وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba di hari kiamat sebelum ditanya tentang empat hal… dan tentang hartanya, dari mana diperoleh dan untuk apa dibelanjakan.”(HR. Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan bahwa tanggung jawab moral melekat pada setiap manusia, bukan hanya pejabat.

Setiap dari kita memegang peran, sebagai guru, pemimpin, orang tua, atau warga negara ,semuanya pahlawan jika berani menjaga nilai kebenaran.

*Solusi: Membangun Ekosistem Kepahlawanan Moral*

Maka, solusi atas krisis moral bukan hanya penegakan hukum, tapi revolusi nurani. Bangsa ini perlu menanamkan kembali nilai amanah, kejujuran, keberanian, dan tanggung jawab sosial dalam setiap lapisan masyarakat.

1. Pendidikan karakter harus menjadi jantung sistem pendidikan, bukan sekadar mata pelajaran tambahan.

2. Keteladanan moral pemimpin harus menjadi syarat utama, bukan pelengkap kampanye.

3. Media dan lembaga keagamaan harus menjadi mercusuar kebenaran, bukan corong kepentingan.

4. Keluarga harus kembali menjadi sekolah pertama nilai-nilai kepahlawanan, di mana anak-anak belajar makna “malu berbuat curang” sebelum diajari rumus dan teori.

*Menjadi Pahlawan di Zaman yang Sinis*

Menjadi pahlawan di zaman ini tidak mudah. Ketika kejujuran dianggap naif, dan keberanian disebut gila, maka mempertahankan integritas adalah bentuk jihad terbesar. Namun justru di tengah kegelapan itulah, cahaya moral paling dibutuhkan. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surah Ali Imran (3:110):
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.”

Bangsa ini akan kembali besar jika berani memegang amanah itu.
Bukan karena kekuatan senjata atau kemajuan teknologi, tetapi karena keberanian moral untuk berkata benar, berbuat adil, dan menolak kezaliman.

Maka, Hari Pahlawan seharusnya menjadi seruan jiwa, bukan sekadar seremoni. Karena yang dibutuhkan negeri ini bukan lagi pahlawan berseragam, tetapi pahlawan berhati bersih, yang berani melawan korupsi moral dengan keteladanan.

Apakah kita siap menjadi salah satunya?. Karena sejarah tidak menunggu , ia hanya mencatat siapa yang berani menjaga kebenaran saat yang lain memilih diam.

#Wallahu A’lam Bis-Shawab🙏*MK*

*SEMOGA BERMANFAAT*
*Al-Fakir. munawir Kamaluddin*

Facebook Comments Box