Anggota Komisi XI DPR RI Amin Ak Ingatkan Stabilitas Ekonomi dan Mitigasi Risiko Jadi Prasyarat Redenominasi Rupiah
JAKARTA – Menanggapi wacana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait rencana kebijakan redenominasi Rupiah, Anggota Komisi XI DPR RI, Amin Ak berpandangan bahwa langkah ini perlu ditempatkan sebagai agenda teknis-strategis jangka menengah.
Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi sistem keuangan nasional, memperkuat kredibilitas mata uang, serta menyederhanakan transaksi ekonomi di masa mendatang.
Namun demikian, Ia menegaskan bahwa redenominasi bukan sekadar penghapusan digit nol, melainkan kebijakan struktural yang menuntut kesiapan prasyarat makroekonomi, tata kelola transisi, dan mitigasi dampak sosial-ekonomi secara komprehensif.
“Kemenkeu harus berkoordinasi intens dengan Bank Indonesia agar kebijakan ini terukur dan mampu meminimalisir risiko sosial ekonomi di masyarakat,” ungkapnya.
Karena itu, Amin menekankan beberapa hal pokok. Pertama,
Pemerintah dan Bank Indonesia harus memastikan inflasi terkendali, stabilitas moneter terjaga, serta kondisi fiskal sehat sebelum kebijakan ini diimplementasikan.
Kedua, wajib ada kajian dampak yang bersifat menyeluruh dan transparan. Dampak terhadap sektor perbankan, UMKM, pasar tradisional, sistem pembayaran digital, kontrak utang-piutang, upah, pensiun, hingga penyesuaian sistem perpajakan.
Ketiga, diperlukan masa transisi bertahap dan edukasi publik secara masif.
Masyarakat tidak boleh menjadi korban kebingungan harga, pembulatan nilai, atau praktik manipulasi akibat literasi yang tidak merata.
“Pemerintah wajib memimpin edukasi publik secara intensif hingga ke daerah bahkan hingga ke desa dan kelurahan,” tegasnya.
Keempat, harus disadari bahwa redenominasi tidak otomatis menghapus nilai ekonomi aset ilegal. Oleh karena itu pemberantasan korupsi tetap harus dilakukan melalui penegakan hukum, penguatan rezim anti–pencucian uang (AML), pemeriksaan aset, dan transparansi keuangan.
“Saya mendorong agar rencana implementasinya berbasis data. Harus dipastikan bahwa kebijakan ini tidak menciptakan beban baru bagi rakyat, terutama UMKM dan kelompok rentan, serta tidak memicu ekspektasi inflasi atau spekulasi harga di lapangan,” tambahnya.
Ia pun mendorong dilakukannya kajian dengan prinsip kehati-hatian (prudential approach) dalam implementasinya. Kebijakan ini harus dipastikan menjadi instrumen efisiensi dan modernisasi ekonomi, bukan menimbulkan kerentanan baru.
“Penting untuk dikaji dampak, skema transisi, serta mitigasi risikonya untuk dibahas lebih lanjut bersama Bank Indonesia sesuai mekanisme konstitusional,” pungkasnya.