3 JEJAK EGO DALAM KATA: Ketika Lisan Menjadi Cermin Kegelapan

 3 JEJAK EGO DALAM KATA: Ketika Lisan Menjadi Cermin Kegelapan

Oleh: Munawir Kamaluddin, Guru Besar UIN Alauddin, Makassar / Direktur LAPSENUSA (Lembaga Advokasi dan Pengenbangan Sosial dan Ekonomi Nusantara)

Tulisan ini diharapkan menjadi renungan bagi kita tentang lisan, kesombongan, dan jalan pulang menuju cahaya. Dan tentu terkhusus menjadi nasehat berharga bagi penulis.

Ada kalanya sebuah hadits tidak sekadar kita baca, ia seperti mengetuk pintu hati, pelan namun tegas, seolah berkata: “Kembalilah. Lihatlah dirimu.”.Hadits ini adalah salah satunya.

Rasulullah SAW. bersabda:
وَإِنَّ مِنْ أَبْغَضِكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدِكُمْ مِنِّي يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ

“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat adalah:
(1) orang yang banyak bicara,
(2) orang yang meninggikan diri dengan ucapannya,
(3) orang yang sombong dalam lisannya.” (HR. at-Tirmidzi)

Hadits ini seperti cermin yang jernih, ia tidak menyudutkan, tetapi menunjukkan. Ia tidak menghardik, tetapi mengingatkan. Dan yang terutama, ia memanggil kita untuk kembali kepada keindahan akhlak.

Tiga sifat itu: tsartsarun, mutasyaddiqun, mutafaiqihun, bukan sekadar istilah. Mereka adalah bayangan halus dalam diri manusia, yang bisa tumbuh tanpa kita sadari, seperti debu yang menempel perlahan pada cermin hati.

Dan renungan ini adalah upaya kecil untuk mengibaskan debu itu agar hati kembali bersinar.

1. TSARTSARUN: Mereka yang Bicara Terlalu Banyak hingga Tidak Ada Lagi Ruang untuk Orang Lain

Ada orang-orang yang lisannya mengalir deras seperti sungai di musim hujan.

Mereka bicara panjang, dalam, dan tanpa jeda, seakan dunia akan runtuh jika mereka berhenti satu detik saja.

Mereka tidak bermasalah pada banyaknya kata, tetapi pada besarnya ego.

Mereka berbicara bukan untuk memberi manfaat, tetapi untuk memastikan dirinya terdengar, dipahami, dianggap penting dan hebat.

Lisan mereka bergerak, tapi hatinya diam.Padahal Allah telah mengajarkan keindahan adab:
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
“Rendahkanlah suaramu…”
(QS. Luqmān: 19)

Dan Imam Syafi’i memberi nasihat yang tak lekang:
لَا يَنْبُغِي لِمَنْ لَا يَسْمَعُ أَنْ يَقُولَ
“Tak layak seseorang berbicara bila ia tidak mampu mendengar.”

Suara orang yang bijak selalu lahir dari kedalaman hati, sedangkan suara tsartsarun lahir dari keinginan untuk menang.

Akar masalahnya bukan pada kata-kata, tetapi pada rasa ingin menguasai ruang pembicaraan.

2. MUATASYADDIQUN; Mereka yang Menghias Kata-kata demi Menaikkan Diri.

Kelompok kedua adalah mereka yang memperindah kata demi memamerkan kemampuannya. Mereka menciptakan kalimat rumit yang membuat orang lain berkerut kening, bukan karena pesan yang mendalam, tetapi karena ingin menunjukkan “aku lebih pintar.”

Mereka tidak sadar bahwa kalimat yang paling indah adalah yang paling memudahkan, bukan yang membingunkan dengan maksud mendapat kekaguman.

Ilmu bagi mereka bukan lagi cahaya dan penuntun, tetapi mahkota untuk di sombongkan. Padahal Allah menegaskan hakikat kerasulan Nabi:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Kami mengutusmu hanya sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiyā’: 107)

Jika Nabi saja memilih kesederhanaan bahasa, mengapa kita justru berlindung di balik bahasa rumit?
Ibnu Mas’ud berkata:
إِنَّ الْعِلْمَ … هُوَ الْخَشْيَةُ
“Hakikat ilmu adalah rasa takut kepada Allah.”

Ilmu mestinya merendahkan, bukan meninggikan.Menerangi, bukan membutakan. Tetapi mutasyaddiqun menjadikan kata sebagai panggung,
dan dirinya sebagai aktor yang ingin disorot terus menerus.

3. MUTAFAIQIHUN: Mereka yang Menjadikan Lisan Sebagai Arena Pamer dan Dominasi

Golongan ketiga lebih halus namun lebih berbahaya. Mereka tidak memakai kata rumit, tetapi memakai cerita tentang diri sendiri: tentang apa yang mereka punya, siapa yang mereka kenal,apa yang mereka capai.

Bukan sebagai syukur, tetapi sebagai pesan tersembunyi:”Lihatlah, aku berada di atasmu.”. Mereka adalah para pemilik kalimat manis yang menyakitkan.

Pamer itu tidak selalu muncul dalam bentuk sombong mencolok.Kadang ia dibalut dalam cerita biasa, tetapi nadanya meninggi.

Padahal Rasulullah SAW.bersabda:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Siapa yang merendah karena Allah, Allah akan meninggikannya.”

Dan Allah mengingatkan dalam firman-Nya yang lembut namun menusuk:
لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ
“Janganlah suatu kaum merendahkan kaum lain…”(QS. Al-Hujurāt: 11)

Kesombongan adalah awal dari kehancuran,dan mutafaiqihun adalah mereka yang menaburkannya lewat lisan.

Ketiga sifat ini bisa muncul pada siapa saja.Pada orang awam, orang pintar, pejabat, orang kaya, ustaz, ilmuan , akademisi , mahasiswa, dan bahkan semua orang dan siapa saja. Karena penyakit ini bukan penyakit ilmu, tetapi penyakit hati.

Dan Rasulullah SAW. telah memberikan obat sederhana:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”

Diam kadang lebih mulia daripada kata yang memecah. Dan kata yang lembut kadang lebih kuat daripada seribu argumen.

Bayangkan dunia di mana setiap orang memilih kata yang jujur,
menata suaranya dengan rendah hati,dan menjaga lisannya dengan penuh kesadaran.

Itulah dunia yang dekat dengan Rasulullah SAW. Dunia yang disebut Allah sebagai:
أُمَّةً وَسَطًا
“Umat yang seimbang, teduh, dan memuliakan.”

Maka sebelum kita berbicara,
mari bertanya pada hati, Apakah kata ini cahaya… atau bayangan?

Sebab setiap kata adalah benih,
dan kita kelak memanen apa yang kita ucapakan.

Pada akhirnya, renungan tentang tiga sifat yang dibenci Rasulullah SAW. bukanlah sekadar kajian tentang lisan, melainkan perjalanan menuju kejernihan jiwa.

Setiap kata yang kita ucapkan membawa jejak dari apa yang kita sembunyikan di dalam hati.

Jika hati dipenuhi cahaya, maka lisan pun akan lembut, menenangkan, dan menguatkan. Namun jika hati penuh bayangan, maka kata menjadi alat untuk meninggikan diri,merendahkan orang lain, dan menutup pintu rahmat.

Hadits Nabi SAW. datang bukan untuk menghakimi, tetapi untuk membimbing. Ia mengajak kita menundukkan ego, merawat kesederhanaan, dan belajar kembali seni mendengar sebelum berbicara.

Sebab kemuliaan manusia bukan diukur dari banyaknya kata, tetapi dari ketulusan hatinya.

Ketiga sifat atau kebiasaan buruk diatas, adalah peringatan halus bahwa lisan bisa menjadi jembatan menuju surga, atau menjadi penghalang menuju Rasulullah SAW. di hari yang paling kita butuhkan syafaatnya. Karena itu, setiap kata yang keluar hendaknya dipilih, disaring, dan ditimbang dengan hati yang rendah, agar ia menjadi cahaya yang menuntun, bukan bayangan yang menyesatkan.

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang memilih diam ketika harus diam, memilih kata yang lembut ketika berbicara, dan memilih keikhlasan ketika ilmu dan kemampuan diberikan pada kita.

Semoga setiap suara yang keluar dari lisan kita menjadi sebab semakin dekatnya kita dengan Rasulullah SAW. bukan sebab jauhnya kita darinya pada hari di mana tidak ada kedekatan yang lebih berharga daripada kedekatan itu.

Pada akhirnya, mari kita senanyiasa berdoa dan memohon petunjuk Allah Rabbil Jalil agar kita terus dalam lindungan-Nya.

اللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا، وَزَكِّ أَنْفُسَنَا، وَأَصْلِحْ أَلْسِنَتَنَا، وَاجْعَلْ كَلَامَنَا نُورًا وَهُدًى، وَقَرِّبْنَا مِنْ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ ﷺ.

“Ya Allah, sucikan hati kami, beningkan jiwa kami, perbaikilah lisan kami,dan jadikan setiap kata kami sebagai cahaya dan petunjuk.
Dekatkanlah kami kepada Nabi-Mu Muhammad SAW.”

#Wallahu A’lam Bis-Shawab

Facebook Comments Box